Kamis, 24 Mei 2012

Selasa, 22 Mei 2012

Review Catatan Harisan tentang PING

Minggu, 20 Mei 2012






#SaveOrangUtan

Sungguh, saya penasaran dengan buku ini. Bagaimana tidak penasaran? Buku ini adalah Juara 1 Lomba 30 Hari 30 Buku Bentang Belia. Naskah duet antara Mbak Riawani Elyta dan Mbak Shabrina WS ini berhasil menyisihkan ratusan pesaing lainnya.

Sampai akhirnya, satu minggu yang lalu saya kesampaian dapat buku ini. Dikirim langsung dari salah satu penulisnya dan mendapat bonus tanda tangan beserta salam dari orang utan. Keren.

Secara presentasi, sampul bukunya sangat menarik. Ilustrasi orang utan di dalam bukunya juga unyu. Ciri khas goresan tangan Kak Itsna Hidayatun. Saya selalu jatuh cinta dengan karya beliau. Dan yang menjadi trademark Bentang Belia lainnya adalah pembatas bukunya yang didesain secara unik. Tidak melulu pembatas buku itu berbentuk persegi panjang. Kadang yang bentuknya kayak sendal malah keren.

Mengenai ceritanya, saya rasa memang tidak biasa. Karena yang berbeda memang yang dicari. Bayangkan, dua penulis bergotong-royong membuat satu cerita secara estafet. Setiap ganti bab, langsung ganti penulis dan ganti sudut pandang. Tapi ketika membacanya, saya tidak merasakan keanjlokan gaya tulisan dari dua kepala. Keduanya saling melengkapi dengan halus. Mbak Shabrina begitu khusyu memainkan peran sebagai orang utan. Begitu juga Mbak Riawani yang lihai merangkai kata sebagai remaja yang anti-pacaran.

Kepiawaian keduanya dalam menulis tidak perlu diperdebatkan lagi. Mereka sudah berpengalaman menulis beberapa novel sebelumnya. Jadi, marilah kita fokus ke pesan yang ingin mereka sampaikan. Isi dari a message from Borneo itu sendiri.

Dari tulisan mereka yang telah saya baca, pesan yang coba mereka sampaikan begitu dalam. Semacam, "Sayangilah orang utan seperti engkau menyayangi saudaramu sendiri karena mereka mirip manusia." Ya, 90% lebih DNA orang utan sama dengan manusia. Jadi, orang utan juga bisa stress, frustasi dan trauma. Saya kira manusia sama sapi aja yang bisa gila. Mungkin kalau orang utan dikasih BlackBerry, mereka bakal broadcast-broadcast minta diselamatkan. Inilah kenapa orang utan yang jadi tokoh utama di buku ini dikasih nama Ping.

Kita harus peduli dengan orang utan yang semakin langka karena perburuan liar. Mereka ada yang dibunuh, dijual bahkan dipenggal. Begitu miris. Coba bayangkan perasaan anak orang utan yang ditinggal pergi orang tuanya. Mereka melihat secara langsung ibu mereka dibantai oleh manusia tak bermoral. Betapa tragisnya hidup mereka.

Salah satu hal yang patut kita contoh dari buku ini adalah kekuatan pesannya. Sebuah buku bisa "hidup" karena ada "ruh" berupa pesan yang terkandung di dalamnya. Sebelum menulis, alangkah baiknya kita memikirkan pesan apa yang ingin disampaikan. Seperti kasusnya Mbak Shabrina yang ingin mengajak orang lain peduli orang utan, maka menulislah ia tentang fabel bertema orang utan. Mbak Riawani yang ingin menggalakkan anti pacaran sebelum nikah, maka menulislah ia tentang kisah Molly.

Moral of the day: Orang utan itu takarannya seperti setengah manusia. Kalau kita membunuh dua orang utan berarti kita sama saja membunuh manusia. Karena setengah tambah setengah sama dengan satu.

Hikmah: Bagian yang paling saya suka dari buku ini adalah halaman belakangnya. Karena di situ ada iklan Date Note.

*kopas dari note Haris :)


Senin, 21 Mei 2012

[review] Penasaran! PING A Message from Borneo


Tadi nyari bahan untuk tulisan eh, seneng banget ketemu catatn untuk PING di sini




Penasaran!


Yup, saya selalu saja dibuat penasaran dengan novel yang merupakan juara lomba. Pengin tahu seperti apa sih novel yang berhasil menarik hati para juri, trus apa saya sependapat juga dengan para juri kalau novel itu layak buat jadi juara? Hellooo… siapa sih yanti? Sok banget nih anak. Hihihihi….


Begitu pun dengan Ping!  a message from Borneo buah karya dari Riawani Elyta dan Shabrina WS yang merupakan juara 1 dari lomba novel 30 hari 30 bukunya Bentang Belia. Dan rasa penasaran saya semakin menjadi-jadi karena novel itu dikerjakan oleh dua penulis, yah.. pengin lihat gimana sih 2 penulis bersatu dalam satu karya. Penasaran…



Ping! A message from Borneo bercerita tentang Molly, yang dia sayaang banget sama binatang. Pada suatu ketika, seorang teman bule si Molly yang bernama Nick mengajak Molly buat menyusul si Nick ke Kalimantan. Buat apa? Buat meneliti  orang utan yang ada di Kalimantan. Dan Molly pun setuju, menyusul Nick ke Kalimantan. Iiih… si Molly kok mau sih diajak2 bule gitu? Tenang sodara-sodara… ada Andrea kok yang bersama mereka. Jadi ga dua-duaan dunk.


Di Kalimantan, pulau saya terdjintah itu, Molly bertemu dengan Archi, sahabatnya sewaktu SMA yang merupakan anak dari seorang pengusaha sawit di Kalimantan. Bukan pertemuan tak direncanakan kok, karena mereka sebelumnya sudah janjian di facebook.


Di sisi lain juga ada cerita tentang Ping. Seorang anak orang utan yang ibunya tewas di depan matanya sendiri. Pengalaman mengerikan yang membuat Ping sangat terluka. Tapi kemudian Ping menjadi terhibur dengan kehadiran Jong dan ibunya, yang menganggap Ping sebagai anaknya sendiri begitu pula dengan Ping yang sudah merasa Ibunya Jong adalah Ibunya sendiri. Namun, sebuah kejadian kembali dihadapi Ping.


Mengangkat tema yang tak biasa. Yah, inilah yang menjadi nilai lebih dari novel ini. Tema Orang Utan yang beberapa waktu belakangan ramai diperbincangkan diangkat menjadi tema utama novel ini oleh dua penulisnya. Cerita tentang Ping, Jong dan ibunya membuat saya lebih mengenal Orang Utan itu, kebiasaan mereka, bagaimana mereka membuat sarang, tentang orang utan jantan, bagaimana mereka bertahan hidup di hutan, dll.


Saya bukanlah seorang penyuka fabel, tapi cerita Ping digarap dengan sangat manis hingga saya tak bosan membacanya. Sy malah sangat menikmati cerita tentang Ping dan rasanya pengin menatap si Ping dari dekat. Hadeh, walau tinggal di Kalimantan, saya lupa apa selama saya hidup pernah menatap Orang Utan atau belum ya? Kalau bekantan sih pernah, terpesona dengan hidungnya yang mancung. Xixixixi….


Walaupun begitu.. saya merasa novel ini konfliknya tidak terlalu tajam. Huks.. sok bener deh saya bilang begitu. Eh, beneran.. saya awalnya mengira kalau bakal ada semacam 'baku hantam' atau semacam penyelidikan terhadap kasus pembantaian orang utan dan kemudian si Molly cs dapat ancaman gitu dari yang membantai orang utan. Tapi ternyata tidak, konflik berasa datar. 


Untuk cover buku, saya juga agak menyayangkan pilihan huruf yang dipilih untuk tulisan a message from Borneo, tulisannya agak kurang jelas. Yang membuat teman saya kesulitan mencari buku ini karena kemarin saya nitip sama dia. Tapi endors dari Dee di cover depannya oke banget. Seorang Dee yang ngasih endors. Wow! 


Trus saya juga dibalut penasaran tentang nasi kuning dengan ikan haruan dan sambal bacan. Indonesia memang kaya dengan aneka kuliner, hingga saya yang sama-sama di Kalimantan dengan setting cerita tak mengenal apa itu sambal bacan, begitupun dengan yang namanya bikang, yang katanya campuran dari telur, gula dan santan dengan takaran yang sama. Apa maksudnya bingka ya? Mungkin hanya beda nama aja kali yaa di kaltim dengan di kalsel… 


Pada epilog, penulisnya mencoba menyelipkan bahasa banjar dalam dialog. Wuiih… keren juga bahasa daerah saya bisa nampang di novel ini. Tapi punteeen… saya kok merasa dialognya rada sedikit kurang pas tentang pemakaian kata ikam dan ulun. Kalau ikam diganti dengan pian, nah itu baru pas. Tapiiii… mengingat setting lokasinya di kaltim, bukan di kalsel, mungkin memang beda ya bahasa yang dipakai di sana.


Dan saya suka banget dengan kata-kata ini
"Kita memang tidak tinggal di masa lalu, tapi ada harta terindah yang kita bawa dari sana, yang bisa kita ceritakan berulang-ulang sepanjang ruas jalan kita."

Minggu, 20 Mei 2012

[review] Sebuah Catatan untuk "PING! MESSAGE FROM BORNEO"

Ini review dari Mbak Anjar Oktaviani penulis Curcol Kantor :)




Ah, diriku tak pandai meresensi sebuah buku. Belum pernah malah. Jadi, jangan sebut ini sebuah resensi. Tapi anggap saja ini sebuah kesan yang tergores dari seorang pembaca kepada buku yang baru saja selesai dibacanya.... (Ini kenapa jadi serius begini? Gak asyik ah.. hehe..)

Jadi, ketika buku berjudul "PING! MESSAGE FROM BORNEO" yang bertanda tangan asli sang penulis sampai ke tangan, tanpa menunggu lama-lama, kusikat halaman per halamannya.

Dan... ooohh... tidaaaakkkk.... aaaaaaahhhhhh....!!!! Ketika membuka halaman awal, diriku seperti berkaca... karena ternyata ada gambar monyet disana... #eeehhh??? haha.. Kemudian lanjut ke halaman ucapan terima kasih, ah nggak seru.. karena nggak ada namaku... (ya eyalaahh... sapa elo???)

Memasuki bab pertama, terjadi hening yang cukup lama... Kalimat demi kalimatnya membuatku terpaku. "Kita memang tidak tinggal di masa lalu, tapi ada harta terindah yang kita bawa dari sana, yang bisa kita ceritakan berulang-ulang sepanjang ruas jalan kita."

Duh... meleleh ga sih baca kalimat kaya gitu? Gak cukup sekali dibacanya. Makin bolak-balik diresapin kata-katanya, makin bikin merinding.Tapi itu belum selesai. Sebagai penutup di bab I, ada kalimat lagi yang bikin mata mirror-mirror alias berkaca-kaca:

"Ini sangat menyakitkan...," gumam ibuku sambil mengusap matanya yang basah. Aku mengagguk, sepakat dengan ucapan Ibu, saat kurasakan kepedihan yang sama, menggores jejak yang sama dalamnya di rongga batinku. Meski belum sepenuhnya kupahami, aku mengerti bagaimana harus menamai jejak-jejak itu: luka.

Owkeh, itu baru bab I yang ternyata si penulis "menjelma" menjadi orang utan. Bab selanjutnya, si penulis kali ini kembali ke kodrat asal yaitu sebagai manusia. Nah, yang unik, ternyata buku ini ditulis oleh dua orang yang sama sekali belum pernah saling bertemu. Hanya berkenalan lewat jejaring sosial dan kemudian berkolaborasi merangkai kalimat demi kalimat. Hebatnya, meski dari dua kepala yang berbeda tapi mereka berhasil "mengawinkan" ide dan gaya bahasa sehingga perpindahan cerita dari Mbak Shabrina yang "menjadi" orang utan dan Mbak Riawani yang "menjelma" menjadi remaja nggak terasa. Keren kan!!! Makanya nggak heran novel ini menjadi pemenang 1 dari lomba novel 30 hari 30 buku yang diadain Bentang Belia, mengalahkan lebih dari 500 naskah lainnya!!

Selain itu, Mbak Riawani secara ciamik bisa menceritakan tentang kisah persahabatan dan masalah hati khas remaja yang mungkin telah puluhan tahun ditinggalkannya... #eeehh?? Maaappp... hehe... Jadi, hal yang membuat aku suka dengan novel ini adalah nggak melulu tentang cinta-cintaan... nggak pakai acara galau-galauan... tapi disini mengedepankan masalah edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan dan peduli pada satwa yang kini mulai langka. Tapi kerennya, pembaca nggak dibikin bosan atau merasa digurui. Semuanya mengalir begitu saja seperti tanpa disengaja. Apik.

Tapi sayangnya, menurutku endingnya terlalu cepat. Mungkin karena waktu penulisan terbentur dengan waktu deadline yang mepet. Ah... kesimpulannya, meski ringan, tapi ada "isi" yang berat yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Sebuah pesan, bahwa nasib keberlangsungan lingkungan hidup ada di tangan kita.

So, jangan ragu kalau lihat buku ini nangkring di rak toko buku. Ambil langsung dan bagikan ceritanya kepada orang di samping kanan-kiri kita. :D
Copas tadi dari sini:


[foto] PING foto dari Mbak Jazim

MBak Jazim lagi belanja bukua katanya. Makasih banget Mbak...udah membawa Ping ke kasir dan di bawa pulang :)


[foto] PING di Malaysia

Mbak Anazkia pesen pas temennya mau ke Malaysia...seminggu kemudian udah sampai di sana deh...:)
Makasih Mbak Anaz...:)

[review] PING, Pesan Bening dari Borneo


Review dari Pemuda Kereta eh maksudnya Amerul Rizki… :)


Jejak itu dia namai: luka.

Saya gak tahu harus mulai darimana. Gak seperti biasanya, selesai membaca buku, tangan saya pasti gatel pengen ngetik review-nya. Tapi kali ini, saya blank. Bukan karena buku yang saya baca ini jelek, ataupun gak menarik. Melainkan lebih karena saya speechless setelah membaca buku hijau yang satu ini. Sebuah buku yang hadir dengan bahasa yang bening dan jujur.

Berapa banyak buku bertema lingkungan, ataupun buku fabel dewasa yang pernah saya baca? Baru sedikit. Dihitung dengan lima jari saja tidak lengkap. Yang paling berkesan mungkin adalah Black Beauty, biarpun sampe sekarang belum kelar juga bacanya. Hehe… Dan sekarang, sebuah buku bersampul hijau dengan gambar empat orang dan seekor orang utan telah menyita perhatian saya seharian kemarin.


Ping! A Message from Borneo. Begitu judul yang dipilih sama kedua penulisnya, si Mpok Riawani Elyta dan Mbak Shabrina W.S. Dua mbak-mbak saya yang sangat produktif, inspiratif dan keren banget. :D

Buku ini bercerita dengan dua sudut pandang berbeda, dengan gaya tutur yang sangat berbeda pula. Tokoh Ping dihadirkan Mbak Shabrina dengan kebeningan gaya berceritanya. Dan Molly dibawakan oleh Mpok Ria dengan kerealistisan dan intelektualitasnya.

Berkisah tentang Ping, seekor anak orang utan yang harus terpisah dari ibunya. Tapi ia segera mendapatkan keluarga baru, Jong dan ibunya yang juga Ping panggil dengan ‘Ibu’. Dari Ibu dan Jong lah Ping kembali merasakan arti bahagia. Ibu mengasihi Ping dan Jong tanpa membeda-bedakan. Ibu mengajari mereka tentang hidup, tentang hutan yang Tuhan berikan. Saya seperti menonton film-film animasi Hollywood melalui tokoh orang utan ini.

Tapi sayang, kebahagiaan Ping harus kembali terenggut saat ia terpisah dari Ibu dan Jong. Yang pada akhirnya ia justru mendapati kenyataan mengerikan itu untuk kedua kalinya.

Di sisi lain, ada Molly, seorang gadis pecinta satwa. Ia langsung menyetujui ajakan Nick, teman bulenya, untuk pergi ke Samboja, Kalimantan, bersama dengan Andy, adik Nick. Di Kalimantan, Molly bertemu kembali dengan Archie, sahabat lamanya sewaktu di SMA, yang menurut Molly sudah jauh berubah.

Cerita bergulir. Ada sisipan kisah asmara Archie yang menginginkan Molly menjadi pacarnya, tapi ditolak mentah-mentah oleh Molly. Ada sisipan kisah background kehidupan Molly yang bercita-cita menjadi penulis seperti ayahnya, namun sedikit tersandung karena ibunya, meski pada akhirnya ia bisa membuktikan pada ibunya bahwa mimpinya bisa diwujudkan.

Awalnya, saya mulai gemes dengan alur yang dibentuk oleh penulis. Ganti bab, ganti tokoh. Begitu seterusnya. Tapi kok belum ketemu juga keterkaitan antara Ping dengan Molly. Hingga akhirnya di bab-bab tengah menjelang akhir, bertemulah Molly dengan seekor anak orang utan yang terlihat depresi di konservasi, bernama Karro. Di situ saya sudah bisa menebak, siapa Karro yang dimaksud. Dan tebakan saya benar lho! xD *biasa aja kaleeee!

Jujur, beberapa kali saya trenyuh saat menyaksikan adegan-adegan Ping, Jong dan ibunya yang penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan. Begitulah hutan mengajarkan pada mereka untuk bahagia. Lalu berubah jadi sedih dan pengen nangis saat Ping kembali menemukan sesuatu yang ia sebut luka, untuk kesekian kalinya.

Beberapa kali saya juga merasa geram dengan pernyataan-pernyataan manusia yang tak bertanggung jawab. Saya geram dengan Archie yang sama sekali gak punya perikehewanan. Mentang-mentang anak pengusaha kelapa sawit yang sukses, dia melupakan bagaimana seharusnya mencintai hutan dan penghuninya. Saya marah pada mereka-mereka yang menangkap Ping dan orang utan-orang utan lain untuk dibunuh, dan dijual dengan harga murah. Andaikan ini film Hollywood, mungkin akan ada penyerbuan balas dendam besar-besaran oleh orang utan. (ngaco!)

Biasanya nih, saya suka banget ngritik-ngritik sebuah buku. Tapi di sini, saya gak menemukan satu celah pun yang bisa saya kritisi. Ahhh… kedua penulisnya seperti sudah mengantisipasi ini dengan menutup celah-celah yang kira-kira bisa saya masukin kritik. Hehe… Keren bener dah! :D

Gak salah deh, kalau naskah ini berhasil lolos dan bertengger dengan anteng sebagai Juara 1 dari Lomba Novel 30 Hari 30 Buku yang diadakan sama Bentang Belia tempo hari. Bahasanya bener-bener ringan dan gak ada yang berkesan sok menggurui. Semuanya mengalir begitu saja. Membuat kita sebagai pembaca ikut nimbrung bersama Ping, merasakan apa yang dia rasakan sebagai orang utan. Membuat kita sebagai pembaca ikut berpetualang bersama Molly, mendengar dengan kuping dan melihat dengan mata kepala sendiri tentang realita mengerikan yang sudah dibiarkan terjadi selama puluhan tahun.

Mbak Shabrina beneran berhasil membuat saya ketularan tokohnya. Ya, beneran ketularan. Saya jadi pengen menjadi orang utan! xD

Oh iya, ada bagian dalam sebuah paragraf yang saya suka banget. Yaitu saat Molly meng-update status Facebooknya dengan “Yes! Alhamdulillah, novel perdanaku terbit!” Tulisannya begini:

Status yang dalam beberapa detik saja langsng menuai puluhan komentar. Ada yang mengucapkan selamat. Tak sedikit pula yang langsung menodong traktiran dan novel gratis.

Saya langsung #JLEB! Nyindir, Mpok??? (_ _”)

Overall, sekali lagi saya katakan, naskah ini memang layak banget jadi juara 1, dan akhirnya menjadi sebuah buku novel yang diantar Pak Pos ke saya kemarin. Kasih bintang berapa ya? Empat bintang kayaknya gak berlebihan deh. Karena dari sinilah saya belajar memahami kehidupan orang utan dalam dunia hutannya. Dari sinilah saya tahu begitu banyak manusia-manusia tak bermoral, tak bertanggung jawab, tak berperikehewanan, yang dengan sadis membantai orang utan, menebang paru-paru dunia, hanya demi uang yang tak seberapa. Selama ini saya hampir menangis saat mendapati foto-foto maupun video orang utan yang mati mengenaskan. Dan dalam buku ini, semuanya memang diceritakan apa adanya. Semuanya tentang luka mereka. Luka kita juga sebagai oknum yang seharusnya memberi mereka rasa aman tinggal dalam rumah mereka sendiri.

Btw, pengen dong kapan-kapan bisa lihat secara langsung ke konservasi, ketemu orang utan, atau… jadi orang tua asuh sekalian. :D


Madiun, 24 April 2012
Sendiri di kosan yang sepi.  
Intip juga deh di sini:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...