Ini, entah malam yang ke berapa aku berada di sini.
Rasa ini sudah menggunung, melebihi gunung Satalibu, rasa rindu akan tanahku.
Aku tak pernah berpikir untuk pergi dari tanah yang kucintai, tanah di mana aku
dilahirkan dan dibesarkan. Tanah yang menyimpan sejuta pesona dan kenangan.
Aku masih ingat, dulu, setiap hari aku selalu bermandi panas matahari yang
melimpah di tengah savana yang wangi, sambil melihat pucuk-pucuk pohon lontar.
Aku tidak pernah membayangkan, kalau akhirnya aku akan meninggalkan padang
savana yang nyaman dan hangat itu. Pergi entah berapa puluh mil jaraknya. Tak
pernah lagi kulihat gugusan tanahku yang kata mereka adalah dunia
tersendiri. Meski kupasang indera penciumanku, aku tak lagi menemukan aroma
khas lautku yang biru dan jernih itu.
Dulu, aku beberapa kali menyaksikan
turis-turis asing dengan wajah berseri-seri menyebut-nyebut tentang pink beach yang
romantis, yang kata mereka merupakan tempat paling nyaman untuk spot diving dan snorkling. Aku juga
selalu ingin tertawa setiap melihat turis yang datang begitu histeris saat
menginjakkan kaki di padang savana, dan melihat kami yang sedang bermandi sinar
matahari. Ah, sungguh aku merindukan semua itu.
“Ibu, kenapa ibu masih diam?”
“Oh, kau bertanya apa tadi?”
“Ah, ibu selalu melamun setiap kali akan bercerita.”
“Oh…” aku tersenyum, memandangi anak-anakku.
“Jadi, aku tanya, kali ini ibu akan bercerita tentang apa?”
“Kalian mau ibu bercerita tentang apa?”
“Bagaimana tentang Pink
Beach, Ibu?”
“Kau masih penasaran dengan pantai berpasir merah muda itu, Borassus
flabellifer?”
“Iya, Bu, aku selalu membayangkan keindahannya setiap kali aku mau tidur.”
“Tapi aku ingin ibu bercerita tentang nama-nama kita yang indah.”
“Baiklah, ibu akan ceritakan dulu tentang nama-nama kalian,” kutatap
anak-anakku satu per satu.
Ya, bukan tanpa alasan kenapa aku menamai mereka dengan nama-nama yang kata
teman-temanku aneh. Tapi bagiku, nama anak-anakku adalah nyanyian setiap rinduku.
“Kau, Borassus flabellifer, arti namamu adalah pohon lontar. Di pulau komodo
banyak sekali pohon lontar.”
“Waah, bagus sekali. Kalau namaku apa artinya, Bu?”
“Calamus sp, artinya rotan. Selain lontar, ada juga rotan di pulau komodo.”
“Kalau aku, Bu?”
“Bambusa sp, namamu berarti bambu. Di sini mungkin juga ada bambu, besok akan
kutunjukkan padamu.”
“Benarkah, bu?” mata Bambusa berbinar. Aku
mengangguk.
“Nah, kalau kamu, Tamarindus indica, berarti pohon asam. Di sini ibu pernah
melihat pohon asam. Besok sambil melihat bambu, kita juga akan melihat pohon
asam.”
“Apakah arti namaku juga sejenis pohon, Ibu?”
“ya, Sterculia foetida, arti namamu adalah pohon kepuh.
Sedang kamu, Ziziphus jujuba, arti namamu adalah pohon bidara.”
“Aku, Bu? Apa artinya Rhizophora sp?”
“Kalau kamu adalah pohon bakau Rhizophora.”
“Waah...”
“Dan kalian tahu, semua nama-nama kalian adalah nama-nama tumbuhan yang ada di
Pulau Komodo.”
“Waw…”
Aku tersenyum memandang anak-anakku. Begitulah caraku
agar aku tetap merasa dekat dengan tanahku, meskipun kenyataannya aku jauh dari
sana. Ah, bukan, bukan hanya jauh dari tanahku, tapi juga jauh dari ibu dan
beberapa saudaraku. Ya, memang kehidupan komodo adalah mahkluk penyendiri, tapi
bagaimanapun keluarga tetaplah keluarga.
“Ibu, apakah semua komodo tinggal di satu tempat di padang savana pulau
komodo?”
“Tidak, Rhizophora. Selain di Pulau Komodo, sebagian keluarga kita juga tinggal
di pulau Rinca, pulau Gilimotang dan Nusa kode. Tapi memang sebagian besar
tinggal di pulau Komodo.”
“Ah, Ibu…kapan kita bisa melihat tanah nenek moyang kita? Apakah kita bisa ke
sana?”
“Zhizipus, mungkin kita tidak akan pernah bisa ke sana,
Nak,”
“Kenapa, Bu? Aku kadang bosan tinggal di sini.”
“Kita adalah binantang penghuni kebung binatang, Nak. Dan yang ibu tahu,
binatang penghuni tempat ini memang jauh dari habitat aslinya. Kita tidak bisa
berbuat apa-apa. Manusia menginginkan seperti ini.”
“Apakah Ibu tidak rindu untuk pulang?”
“Rindu? Ah, Nak, bahkan rindu ibu sudah melebihi bukit Sulphurea Hill. Rindu
ibu sudah menggunung melebihi gunung Satalibu.”
“Bukit Sulphurrea Hill? Apakah itu nama bukit di tanah
kita, Bu?”
“Benar, Bambusa, orang-orang sangat mengagumi bukit
Shulphurea Hill. Karena kata mereka, dari puncak bukit itulah lansekap Taman
Nasional Komodo terlihat jelas dan indah. Dan…tidak hanya itu, kadang mereka
menuju bukit itu untuk mengadakan pengamatan burung Kakatua kecil jambul
kuning.”
Kami diam. Mungkin anak-anakku sedang membayangkan bagaimana indahnya tanah
nenek moyangnya. Ah, kalau aku bisa memilih, tentu aku memilih untuk tetap
tinggal di sana. Melahirkan dan membesarkan mereka di sana. Bukan di sini. Di
kebun binatang ini, meski manusia-manusia itu berusaha memberi kami tempat
buatan, namun tetap saja tidak senyaman rumah kami yang asli.
Bahkan, akhir-akhir ini beberapa komodo lumpuh karena
kandang kurang mendapat sinar matahari. Ya, sinar matahari sangat penting untuk
kelangsungan hidup kami. Maka, aku selalu mengatakan pada anak-anakku agar
jangan hanya berdiam di kandang. Aku sendiri jarang masuk kandang. Lagi pula,
di tanahku kami tak pernah tinggal di kandang. Kami hidup bebas di padang
savana yang hangat dan nyaman.
“Nah, ini dia komodo yang kemarin dipertaruhkan itu.”
Aku melihat ke arah dua orang gadis yang sedang melihat kami.
“Manis, ya?” seorang dari mereka mengarahkan kameranya padaku.
“Tapi pasti lebih manis jika kita melihat langsung di habitat aslinya.”
“Di pulau Komodo?”
“Ya. Kadang aku membayangkan bisa ke pulau yang eksotis itu.”
“Ohya, menurutmu, benar-benar ada efek baik gak
sih dari voting new7 wonder kemarin?
terutama bagi turis asing?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Tapi bukankah TNK sangat menarik? Aku membayangkan
paket wisata Bali itu sekaligus ke TNK. Para turis yang mengunjungi Bali akan
menyesal jika melewatkan Taman Nasional Komodo. Toh, yang aku baca hanya butuh
waktu 60 menit naik pesawat menuju Labuhan Lajo di Manggarai Barat. Dan setelah
itu, semua perjalanan ditempuh dengan perahu. Nah, perjalanan dengan
perahu inilah yang menurutku menarik. Ooh…aku sering membayangkan kelak
setelah menikah aku akan menghabiskan waktu sebulan di sana.”
“Yaah, mulai ngaco deh, kamu.”
“Bukan ngaco, tapi cita-cita, tahu?!”
Aku tersenyum melihat dua gadis itu. Mereka masih membicarakan kami. Dan
pembicaraan mereka tentang komodo, tentang…, oh Tuhan, jadi kami selama ini sedang
dipertaruhkan?
Komodo? Keluargaku dan tanahku yang eksotis itu? Aku
yakin, jika semua orang tahu betapa menariknya kami, pasti mereka tidak
akan menolak untuk mengakui pesonanya. Tentu saja sangat menyenangkan jika
dapat menjadi salah satu tujuh keajaiban dunia itu. Walaupun itu terjadi,
mungkin tak akan berpengaruh apapun bagiku yang ada di sini. Mungkin aku akan
tetap di kebun binatang ini dan tak akan pernah kembali ke tanah nenek
moyangku. Tak akan pernah bertemu ibu dan saudara-saudaraku lagi. Tapi kalau
itu dapat membahagiakan penghuni tanah negeri ini, tentu saja aku turut
berbahagia.
Ya, aku bahagia menjadi salah satu dari sekian banyak
tanda kebesaran Tuhan di bumi ini. Dan aku berharap, rakyat negeri ini juga
berbahagia karena Tuhan telah memilih Indonesia untuk menjadi satu-satunya
habitat asli kami.
“Ibu, ibu…”
Aku terkejut, Bambusa berlari mendekatiku
“Ada apa, Bambusa?”
“Ada komodo yang mati, Bu. Paman Ranca yang beberapa
hari kemarin lumpuh itu.”
Aku dan Bambusa segera menuju kandang. Kulihat Ranca
yang biasa dipanggil anak-anak dengan paman itu, sudah tidak bergerak lagi. Ah,
Ranca, aku dan dia dulu bersama-sama dibawa manusia dari Pulau Komodo. Ia
selalu bilang padaku ingin sekali kembali ke tanahnya di pulau Rinca. Tapi hal
itu hanya menjadi mimpi, seperti juga aku.
Kini, setelah berhari-hari mengalami kelumpuhan karena
kurang sinar matahari, Ranca akhirnya pergi untuk selamanya. Menjadi binatang
ke sekian di kebun binatang ini yang mati. Ya, kadang aku berpikir,
kenapa kami dibawa ke kebun binatang ini jika tempat ini tidak layak
untuk kami? Setelah beberapa hari lalu harimau Sumatra mati, lalu kanguru dan
beberapa rusa juga mati, kini Ranca menyusul mereka.
Aku melirik pada beberapa komodo di dalam kandang.
Keadaan mereka sangat memprihatinkan. Beberapa kali aku mengajak mereka untuk
berjemur di bawah sinar matahari. Namun mereka sudah tak mampu berjalan karena
telah lumpuh.
Sungguh, semakin tak terbendung keinginanku untuk
kembali ke tanahku. Tapi, mungkin kelak nasibku juga akan seperti Ranca. Ah,
tiba-tiba aku merasa bahwa hidup di kebun binatang ini hanya seperti menunggu
giliran untuk mati.
Gading kirana,
031-422291210
Keren Mbak ^_^
BalasHapusTerima kasih sudah mampir dan membaca :)
Hapuswowwww...cerita yg super keren,mbak. Slm kenal y dari Kudus.Ide ceritanya juga unik n amazing :)
BalasHapussubhanallah... sebuah cerita yang mengesankan.
BalasHapusMengalir dan temanya menarik untuk disimak.
Salam kenal ya mbak...