Senin, 01 Juli 2013

Max dan Jenny




Hujan mengguyur sejak semalam. Langit kelabu dan aroma kayu bakar menguar dari tungku dapur.
Jenny menatap api yang berderak-derak.  “Kau terlihat gelisah, Max?”
“Hari ini, aku tak bisa memberimu hadiah apapun,” Max  menambah bunga pinus di atas bara, hingga membentuk gundukan kecil yang menciptakan asap.

Tak banyak penghasilan tahun ini. Hujan yang tinggal lebih lama, membuat bawang-bawang di kebun mereka membusuk.
“Kau tak perlu merasa bersalah.”
“Sepanjang pernikahan kita, kurasa aku hanya bisa memberimu penderitaan.”
“Itu hanya perasaanmu saja. Tak memberi hadiah itu bukan kesalahan. Kebersamaan kita adalah hadiah yang tak bisa tergantikan.”
Max dan Jenny saling pandang, lalu keributan kecil membuat mereka sama-sama berpaling.
“Kupikir mereka butuh kehangatan,” kata Max sambil mengangkat kardus dari sudut dapur.
“Kau masih ingat? Tahun lalu, di hari yang sama, kita menyelamatnya induk beruang yang terjebak. Dan kemarin mereka lahir di sini.” Jenny menatap makhluk yang bertumpuk di dalam kardus.

Setelah Max pensiun dari jabatannya sebagai wali kota, dia membangun pondok kayu di hutan itu. Sesuai janjinya ketika kampanye, kalau dia tidak bisa memperbaiki ekonomi kota,  dia akan menyerahkan seluruh kekayaannya. Max telah berjuang selama masa jabatannya. Namun kebocoran keuangan yang seperti lubang-lubang tikus itu tidak berhasil diatasinya.

Kini, tahun-tahun itu telah berlalu. Max dan Jenny hidup bersama cinta mereka, menyatu dengan alam. 




7 komentar:

  1. Aah.. Cerita ini dalem banget maknanya.. :)
    Max juga pemimpin yang menepati janji..

    Kerenn!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak, makasih dah mampir. Eh ayo kita cari mereka...ihihihi

      Hapus
  2. pak max dan bu jenny tinggal dimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. di hutaaan, ayo kita cariii :D
      Suwun Mbak dah mampir :)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...