“Bisa
minta tolong mengetikkan cerpenku?” Jantung Al bertalu-talu, ketika dia
berhasil menghentikan Herdi.
Cowok
itu menahan langkah dan menatap Al dari balik kacamatanya yang berpendar
keunguan. Dia menarik salah satu sudut bibirnya. Dan tanpa menjawab apapun
berjalan menjauh.
“Nanti
biayanya aku ganti.” Al mengejar masuk kelas, berhenti di meja guru, tepat di
depan bangku Herdi. “Bisa?”
“Tidak
mau. Ngetik saja sendiri.”
“Aku
tidak punya laptop.”
“Di
lab ada komputer. Di rental, banyak.”
Saat
itu, Al sadar, telah melakukan hal paling bodoh. Dia mencatat dengan tinta api
dalam ingatannya, menjadi satu pelajaran penting: jangan
pernah mendekati seorang cowok dengan meminta tolong.
Mungkin
Al memang salah mengartikan kedekatan mereka selama ini. Obrolan-obrolan saat
istirahat. Senyuman yang dilemparkan Herdi kepadanya di tengah jam pelajaran. Dan
tumpangan yang diberikan saat pulang sekolah. Itu pun, Al yang meminta karena
sedang ‘dapat’ dan dia sakit perut nyaris tak bisa jalan.
Tapi
di sisi lain Al tahu, kenapa dia melakukan hal itu. Berkali-kali Al mengatakan
pada dirinya sendiri, bahwa dia bukan pe-de-ka-te
untuk mendapatkan cinta Herdi. Gadis itu cukup tahu diri, siapa dia dan siapa Herdi.
Cowok
itu, punya segala hal yang membuat terlihat sempurna. Sementara Al sering kali
menjadi seperti persona non grata. Mungkin
berlebihan kalau dia bilang orang-orang terbuang. Maksudnya segala cara
yang Al lakukan tidak mudah untuk
membuat orang menoleh tentang keberadaannya.
Kalau
saja beberapa hari sebelumnya gadis itu tidak membaca artikel Herdi di jurnal
kotanya, mungkin dia tak pernah berpikir apapun untuk memulai percakapan dengan
cowok itu. Tapi, Al merasa harus bicara. Karena dia dan cowok itu puya sisi
kesamaan yang mungkin tidak dimiliki oleh anak-anak di kelasnya. Menulis.
“Hei,
aku membaca tulisanmu di Jurnal Minggu kemarin.”
Begitulah
cara Al menyapa Herdi. Betapa memalukan setiap mengenangnya. Andai ada yang
tahu, kalau dia hanya pura-pura membenahi telapak meja di meja guru saat itu.
“Bagus
lho.” Puji Al.
“Owh.”
Herdi menanggapi dengan sebelah bibir
sedikit ditarik.
“Beneran.”
Al
tidak ingat pasti, apakah anak-anak di kelasnya memperhatikan mereka.
Percakapan itu, terhenti begitu saja. Tapi esoknya, Al menunggu Herdi di
gerbang sekolah, dan memberikan sebuah majalah remaja.
“Ada
lomba menulis cerpen, kamu mau ikut?”
“Wah,”
Demi Tuhan, Batin Al, itu pertama
kalinya dia melihat Herdi menatapnya dengan berbinar. “Boleh-boleh.”
Al
sangat lega ketika Herdi menerima majalah itu. Untuk pertama kalinya cowok
itu terlihat antusias menanggapinya. Al
tidak punya dua memang, tapi dia sudah menyalin semua pengumumannya.
Lalu,
hari-hari selanjutkan Al dan Herdi lebih sering bicara tentang tulisan yang
akan mereka buat. Bahkan beberapa anak mulia curiga antara Al dan Herdi ada
apa-apa.
Hingga
akhirnya Herdi mengatakan kalau sudah selesai menulis, bahkan sudah dikirim.
Itulah sebabnya Al memberanikan diri untuk minta tolong mengetikkan. Namun
ternyata, penolakan yang dia dapatkan.
Kecewa?
Jangan ditanya. Tapi penyesalannya berkali-kali lipat daripada kecewanya. Al menyesal karena merasa
telah merendahkan diri dengan minta tolong kepada Herdi. Gadis itu mengira, setelah memberi majalah dan
info lomba itu, Herdi berbaik hati membalas apa yang dialakukan.
Ternyata
Al salah. Dia memberi dengan pamrih,
mengharap balasan. Meski sebenarnya, alasan yang sesungguhnya adalah karena dia
tidak punya laptop. Padahal Al tidak meminta tolong secara gratis. Al bersedia
membayar. Istilahnya mengetikkan tulisan, semacam itulah. Tapi, kenyataan
memang tak seindah yang Al kira. Herdi tidak mau. Titik.
Jadi,
Al pergi ke rental dan mengetik sendiri naskahnya. Dia akan membuktikan bahwa
tanpa Herdi pun, dia bisa.
***
“Al!”
Al mengibaskan tangan Herdi yang
menyentuh pergelangannya. Gadis itu mengangkat dagu dan menatap Herdi dengan
tajam.
“Aku minta maaf, Al.”
Ada yang terasa meledak di dada Al.
Setelah upacara Bendera tadi pagi, Herdi dipanggil tampil di depan, untuk
mendapat penghargaan dari sekolah atas keberhasilannya menyabet gelar juara
tiga menulis cerpen tingkat nasional. Prestasi menulis pertama sepanjang
sejarah sekolah mereka.
Seharusnya, Al ikut bertepuk tangan
gembira dan mengucapkan selamat, jika saja cerpen Herdi tidak sama persis
dengan ide, plot, alur, pembuka hingga ending miliknya, yang mereka obrolkan
selama ini. Herdi hanya mengganti nama tokohnya saja.
“Kamu berhak semua uang hadiah itu,”
kata Herdi. “Kamu tahu kan, aku tidak kekurangan uang saku. Aku hanya ingin
mencatat sejarah untuk dikenang, sebelum aku meninggalkan sekolah ini.”
Al menegakkan bahu. Dagunya
terangkat.
“Aku
akan mengenangmu, sebagai penikam pertama dalam sejarah hidupku.”
Al berbalik, berjalan meninggalkan
Herdi.
“Al!”
Gadis
itu sadar dia memang kalah. Karena, meski semua hal sama, jika naskahnya lebih
baik dari Herdi, pasti dia yang akan menang. Tetapi, tetap saja, ada gumpalan
dalam dada Al yang siap meledak. Kenapa Herdi setega itu. Mengambil ide, plot,
alur darinya. Hanya demi mengekalkan namanya di sekolah mereka.
Pandangan
Al buram. Gadis itu mengusap matanya dengan kasar. Dia tak ingin menangis.
Di
rumah, Al kembali membuka majalahnya. Dia baca baik-baik catatan dari dewan
juri. Al mematung ketika sampai pada kalimat:
Ada beberapa naskah
yang terpaksa harus kami singkirkan sejak awal, karena tidak memenuhi
persyaratan. Diantaranya, naskah-naskah yang datang melewati dead line yang
ditetapkan, halaman kurang atau kelebihan,
dan tentu saja yang tidak menyertakan kupon lomba.
“Kupon? Kupon apa?”
“Jadi…”
Al
membungkan mulutnya. Sekarang dia tahu. Naskahnya tidak pernah sampai di tangan
juri karena sudah tersingkir sejak awal.
Al
hanya punya satu majalah, itu artinya Al hanya punya satu kupon dan itu dipakai
Herdi.
“Kenapa
aku bisa melupakan hal sepenting itu?”
Al
menatap majalah di depannya dengan linangan air mata. Sesaat dia mendapatkan
ide akan mengirim naskahnya untuk pemuatan biasa. Ya, gadis itu akan
membuktikan bahwa naskahnya juga layak sampai ke meja redaksi.
Namun,
semangat itu, mendadak meluap. Bagaimana pun juga, kelak naskahnya akan
dianggap meniru naskah Herdi yang sudah menjadi juara itu. Karena ide, plot,
alur yang semua sama.
Al
diam, ada yang perih di dasar hatinya. Kali ini dia mengaku kalah. Tetapi gadis
itu berharap, suatu hari kelak, dia akan berterima kasih, pada luka hari ini.[]
*Untuk yang mau kirim cerpen ke Minggu Pagi, alamatnya: we_rock_we_rock@yahoo.co.id
Minggu tidak menulis nama pena saat dimuat. Honor dikirim via wesel :)
*Untuk yang mau kirim cerpen ke Minggu Pagi, alamatnya: we_rock_we_rock@yahoo.co.id
Minggu tidak menulis nama pena saat dimuat. Honor dikirim via wesel :)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus