Kamis, 08 Juli 2021

[Review] GADIS MINIMARKET Novel Sayaka Murata

Dunia minimarket adalah dunia yang penuh suara. Ada denting bel pintu penanda pelanggan datang dan suara bintang televisi yang mengiklankan produk baru lewat Tv kabel toko. Ada suara sapaan karyawan toko dan bunyi pemindai kode batang. Ada gemerisik barang yang dimasukkan ke keranjang dan keletak sepatu hak tinggi yang hilir mudik. Suara-suara itu berpadu menjadi “suara minimarket” yang tidak henti-hentinya menjamah gendang telingaku.
Itu paragraf pertama di halaman pertama buku ini.


Furukura-san atau Keiko telah bekerja sambilan di minimarket selama 18 tahun. Manager toko tempatnya bekerja telah berganti delapan kali. Perkerja lainnya telah datang dan pergi.

Tetapi Keiko tetap di sana. Menjaga asupan makanan, minuman, jam tidur, agar tetap kuat bekerja dengan berdiri terus menerus. Ia menjaga penampilannya, kuku, rambut, kesehatan kulit agar ia menjadi pegawai minimarket yang baik. Pilihan-pilihan barang yang dipakainya bahkan dipuji managernya.
Semua managernya, rekan kerja dan pelanggan toko mengakui Keiko adalah pekerja yang baik. Ia tahu apa saja kebutuhan toko dan bagaimana cara menghadapi berbagai macam pelanggan.

Sejak kecil, dunia menuntut Keiko untuk menjadi normal, walau ia tidak tahu “normal” itu seperti apa. Namun di minimarket, Keiko dilahirkan dengan identitas baru sebagai “pegawai minimarket”.
Lalu ia terancam dipisahkan dari dunia yang dicintainya selama ini.

Perasaan saya sepanjang membaca buku ini, campur aduk. Tapi yang pasti saya takjub. Ini novel dengan penokohan yang kuat. Sayaka Murata, pengarangnya, benar-benar berhasil membuat saya memikirkan Keiko.

Keiko tidak melanggar undang-undang, ia tidak pernah merugikan orang lain, tidak mudah marah, meski kadang merasa beberapa orang merepotkannya. Namun orang-orang sekeliling begitu menghakimi hidupnya. Segala hal yang ada padanya dianggap aneh.

Sebagai novel yang mengambil sudut pandangan orang pertama, Keiko, tokohnya, tidak pernah menggambarkan bagaimana fisiknya, Tetapi, kita akan tahu bagaimana dia dari tokoh yang lain, yang karakternya OMG (jadi berpikir, gini ya bikin tokoh yang menyebalkan).

Membaca novel ini tuh bikin yah, berpikir, kadang memang ada orang-orang di sekitar, menganggap sebagian yang kita jalani, apa yang tidak sama dengan mereka dianggap tidak normal.

Mematikan centang biru bahkan dianggap punya masalah hidup. Hanya mengangkat telepon dari panggilan tertentu dianggap aneh dan tidak dewasa.

Seorang teman yang telah membaca novel ini mengatakan tokohnya aneh, dan saya tertawa-tawa ketika membahasnya. Tetapi setelah mengikuti sepanjang kisahnya, endingnya membuat saya lega. Dan ya, sebagai pembaca saya tidak apa-apa Keiko begitu, mengambil keputusan itu.

Oh iya, satu lagi, novel ini hawanya seperti Rumah Tepi Danau. Apakah karena pengarang keduanya sama-sama dari Jepang, sama-sama pakai pov satu, dan sama-sama menghadirkan tokoh perempuan yang memilih pekerjaan yang disukainya, bertemu cowok yang bikin pembaca degdegan, dia baik apa jahat ya? Entahlah.

Empat bintang untuk novel 159 halaman ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...