Dunia minimarket adalah dunia yang penuh suara.
Ada denting bel pintu penanda pelanggan datang dan suara bintang televisi yang
mengiklankan produk baru lewat Tv kabel toko. Ada suara sapaan karyawan toko
dan bunyi pemindai kode batang. Ada gemerisik barang yang dimasukkan ke
keranjang dan keletak sepatu hak tinggi yang hilir mudik. Suara-suara itu
berpadu menjadi “suara minimarket” yang tidak henti-hentinya menjamah gendang
telingaku.
Itu paragraf pertama di halaman pertama buku ini.
Furukura-san atau Keiko telah bekerja sambilan di
minimarket selama 18 tahun. Manager toko tempatnya bekerja telah berganti
delapan kali. Perkerja lainnya telah datang dan pergi.
Tetapi Keiko tetap di sana. Menjaga asupan
makanan, minuman, jam tidur, agar tetap kuat bekerja dengan berdiri terus
menerus. Ia menjaga penampilannya, kuku, rambut, kesehatan kulit agar ia
menjadi pegawai minimarket yang baik. Pilihan-pilihan barang yang dipakainya
bahkan dipuji managernya.
Semua managernya, rekan kerja dan pelanggan toko
mengakui Keiko adalah pekerja yang baik. Ia tahu apa saja kebutuhan toko dan
bagaimana cara menghadapi berbagai macam pelanggan.
Sejak kecil, dunia menuntut Keiko untuk menjadi
normal, walau ia tidak tahu “normal” itu seperti apa. Namun di minimarket,
Keiko dilahirkan dengan identitas baru sebagai “pegawai minimarket”.
Lalu ia terancam dipisahkan dari dunia yang
dicintainya selama ini.
Perasaan saya sepanjang membaca buku ini, campur
aduk. Tapi yang pasti saya takjub. Ini novel dengan penokohan yang kuat. Sayaka
Murata, pengarangnya, benar-benar berhasil membuat saya memikirkan Keiko.
Keiko tidak melanggar undang-undang, ia tidak
pernah merugikan orang lain, tidak mudah marah, meski kadang merasa beberapa
orang merepotkannya. Namun orang-orang sekeliling begitu menghakimi hidupnya.
Segala hal yang ada padanya dianggap aneh.
Sebagai novel yang mengambil sudut pandangan orang
pertama, Keiko, tokohnya, tidak pernah menggambarkan bagaimana fisiknya,
Tetapi, kita akan tahu bagaimana dia dari tokoh yang lain, yang karakternya OMG
(jadi berpikir, gini ya bikin tokoh yang menyebalkan).
Membaca novel ini tuh bikin yah, berpikir, kadang
memang ada orang-orang di sekitar, menganggap sebagian yang kita jalani, apa
yang tidak sama dengan mereka dianggap tidak normal.
Mematikan centang biru bahkan dianggap punya
masalah hidup. Hanya mengangkat telepon dari panggilan tertentu dianggap aneh
dan tidak dewasa.
Seorang teman yang telah membaca novel ini
mengatakan tokohnya aneh, dan saya tertawa-tawa ketika membahasnya. Tetapi setelah
mengikuti sepanjang kisahnya, endingnya membuat saya lega. Dan ya, sebagai
pembaca saya tidak apa-apa Keiko begitu, mengambil keputusan itu.
Oh iya, satu lagi, novel ini hawanya seperti Rumah
Tepi Danau. Apakah karena pengarang keduanya sama-sama dari Jepang, sama-sama
pakai pov satu, dan sama-sama menghadirkan tokoh perempuan yang memilih
pekerjaan yang disukainya, bertemu cowok yang bikin pembaca degdegan, dia baik
apa jahat ya? Entahlah.
Empat bintang untuk novel 159 halaman ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar