Minggu, 20 Mei 2012

[review] Sebuah Catatan untuk "PING! MESSAGE FROM BORNEO"

Ini review dari Mbak Anjar Oktaviani penulis Curcol Kantor :)




Ah, diriku tak pandai meresensi sebuah buku. Belum pernah malah. Jadi, jangan sebut ini sebuah resensi. Tapi anggap saja ini sebuah kesan yang tergores dari seorang pembaca kepada buku yang baru saja selesai dibacanya.... (Ini kenapa jadi serius begini? Gak asyik ah.. hehe..)

Jadi, ketika buku berjudul "PING! MESSAGE FROM BORNEO" yang bertanda tangan asli sang penulis sampai ke tangan, tanpa menunggu lama-lama, kusikat halaman per halamannya.

Dan... ooohh... tidaaaakkkk.... aaaaaaahhhhhh....!!!! Ketika membuka halaman awal, diriku seperti berkaca... karena ternyata ada gambar monyet disana... #eeehhh??? haha.. Kemudian lanjut ke halaman ucapan terima kasih, ah nggak seru.. karena nggak ada namaku... (ya eyalaahh... sapa elo???)

Memasuki bab pertama, terjadi hening yang cukup lama... Kalimat demi kalimatnya membuatku terpaku. "Kita memang tidak tinggal di masa lalu, tapi ada harta terindah yang kita bawa dari sana, yang bisa kita ceritakan berulang-ulang sepanjang ruas jalan kita."

Duh... meleleh ga sih baca kalimat kaya gitu? Gak cukup sekali dibacanya. Makin bolak-balik diresapin kata-katanya, makin bikin merinding.Tapi itu belum selesai. Sebagai penutup di bab I, ada kalimat lagi yang bikin mata mirror-mirror alias berkaca-kaca:

"Ini sangat menyakitkan...," gumam ibuku sambil mengusap matanya yang basah. Aku mengagguk, sepakat dengan ucapan Ibu, saat kurasakan kepedihan yang sama, menggores jejak yang sama dalamnya di rongga batinku. Meski belum sepenuhnya kupahami, aku mengerti bagaimana harus menamai jejak-jejak itu: luka.

Owkeh, itu baru bab I yang ternyata si penulis "menjelma" menjadi orang utan. Bab selanjutnya, si penulis kali ini kembali ke kodrat asal yaitu sebagai manusia. Nah, yang unik, ternyata buku ini ditulis oleh dua orang yang sama sekali belum pernah saling bertemu. Hanya berkenalan lewat jejaring sosial dan kemudian berkolaborasi merangkai kalimat demi kalimat. Hebatnya, meski dari dua kepala yang berbeda tapi mereka berhasil "mengawinkan" ide dan gaya bahasa sehingga perpindahan cerita dari Mbak Shabrina yang "menjadi" orang utan dan Mbak Riawani yang "menjelma" menjadi remaja nggak terasa. Keren kan!!! Makanya nggak heran novel ini menjadi pemenang 1 dari lomba novel 30 hari 30 buku yang diadain Bentang Belia, mengalahkan lebih dari 500 naskah lainnya!!

Selain itu, Mbak Riawani secara ciamik bisa menceritakan tentang kisah persahabatan dan masalah hati khas remaja yang mungkin telah puluhan tahun ditinggalkannya... #eeehh?? Maaappp... hehe... Jadi, hal yang membuat aku suka dengan novel ini adalah nggak melulu tentang cinta-cintaan... nggak pakai acara galau-galauan... tapi disini mengedepankan masalah edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan dan peduli pada satwa yang kini mulai langka. Tapi kerennya, pembaca nggak dibikin bosan atau merasa digurui. Semuanya mengalir begitu saja seperti tanpa disengaja. Apik.

Tapi sayangnya, menurutku endingnya terlalu cepat. Mungkin karena waktu penulisan terbentur dengan waktu deadline yang mepet. Ah... kesimpulannya, meski ringan, tapi ada "isi" yang berat yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Sebuah pesan, bahwa nasib keberlangsungan lingkungan hidup ada di tangan kita.

So, jangan ragu kalau lihat buku ini nangkring di rak toko buku. Ambil langsung dan bagikan ceritanya kepada orang di samping kanan-kiri kita. :D
Copas tadi dari sini:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...