Rabu, 08 Agustus 2012

Kutemukan Bintang (dimuat di Safina 2004)




                Pertama kali aku melihat sosok berkaos kuning bergambar micky mouse itu, aku sudah tertarik. Fellingku mengatakan lain. Hingga perhatianku tersedot olehnya. Dan aku tetap memandanginya dari jauh.
                Ah, aku tak tahan. Kuseret langkahku mendekatinya. Pelan, karena aku tak ingin kehadiranku membuatnya terusik, lantas dia meninggalkanku begitu saja. Oh, aku tak mau.
                Belum sempat aku menyapanya, seorang laki-laki muda mendekatinya.
                “Wah…, lagi ngapain?”
Sosok  berkaos kuning berjingkat, kedua tangannya mengepak-ngepak, lantas menghambur kepelukan laki-laki itu. Dan lagi-lagi aku hanya memandanginya saat mereka sedang bercengkerama. Aku mengangguk saat laki-laki itu tersenyum ke arahku.
                “Namanya siapa?”
Sapaku ramah, kupasang senyum tigaku yang termanis.
                “Ayo, kenalan dulu sama Bu guru?”
                “Ga…ca…ca…ca..vitamin ce…” Sosok itu mempermainkan jari-jarinya.
                “Oh, iya…vitamin ce. Tapi kenalan dulu sama Bu guru. Dilihat! Bu guru mana?”
Aku masih tersenyum. Kusentuh tangan mungil itu dan menjabatnya pelan.
                “Ini Bu Brin, kalo yang cakep ini namanya siapa?”
                “Ram, lihat Bu guru! nama Ram siapa? Bu guru pengen kenalan tuh?”
Aku menunggu reaksinya.Mata beningnya berputar-putar.
                “Ayo donk, namanya siapa?”
Kini aku tak hanya menjabat tangannya namun juga menyentuh dagunya. Dia menoleh.
                “Ayo Rama! namanya siapa?”
                “Rama! Rama! Rama!”
Ucapnya cepat, sekilas dia memandangku, hanya sekilas. Namun meninggalkan sentuhan lembut di bilik kecil dalam hatiku.
Ya, Autisme, gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi.Satu amanah lagi, Brin!
                “Saya bermaksud memasukkannya ke sini, Bu. Saya sudah berkeliling ke berbagai TK, namun tak ada yang mau menerima Rama. Saya mendengar kabar, kalau di TK sini masih mau menerima anak-anak seperti Rama.” Ucap laki-laki  di depanku, setelah melepas Rama dari pelukannya. Aku tersenyum.
                “Sudah dicoba ke sekolah yang memang secara khusus menyediakan pelayanan untuk masalah seperti ini?”
                “Maksudnya, sekolah anak-anak autis…?”
Aku mengangguk.
”Ya, saya tahu,”  laki-laki mendesah, “ saya sadar, Rama tidak seperti anak normal, Rama autis.  Namun justru karena itulah saya ingin memasukkannya ke sekolah biasa, saya berharap dia dapat bersosialisasi dengan teman-temannya, karena dia juga berhak  memiliki dan dimiliki orang lain.”
Kata lelaki itu semangat. Ada pendar lain dari kalimatnya.
                “Berapa saudara Rama?”
Tanyaku melebar, sekolah sudah sepi, jadi aku mempunyai banyak kesempatan untuk memperolah informasi.
                “Dia tiga bersaudara, anak nomor dua. Kakaknya cantik dan pintar, klas tiga SD,adeknya gemuk dan menggemaskan  baru dua tahun, Rama tersingkir dalam keluarganya sendiri, ayah dan ibunya tak pernah terima dengan keadaan Rama…”
Aku mengerutkan keningku,
 “Lha…, anda ini…?” kalimatku menggantung.
Lelaki itu tersenyum,
”Saya Omnya, oh ya nama saya juga Rama,” Ucap laki-laki itu sambil tersenyum.Aku mengangguk dan bero o…o…panjang.
                “Anda perhatian sekali ya, sama keponakan anda?”
Terdengar helaan nafas panjang.
                “Rama mengajarkan banyak hal pada saya, tetang kesabaran…, tentang hidup…, karenanya juga saya bisa membagi waktu, antara kuliah, kerja dan memperhatikannya. Separuh semangat saya ada padanya.”
                “Cck…,cck…, luar biasa.” hanya itu yang mampu aku ucapkan.
Lagi-lagi kudengar helaan nafas panjang dari  laki-laki itu.
                “Saya hanya ingin Rama sembuh, Bu. Bisa normal, seperti anak-anak yang lain, diterima dimasyarakat tanpa embel-embel bahwa Rama adalah anak idiot. Dia bukan idiot, dia anak yang istimewa, tapi tetangga-tentangga menganggap dia anak idiot, bahkan ayah dan ibunya sendiri yang telah menjadi perantara dia ada, juga beranggapan demikian. Saya yang sakit, saya tidak terima!”
Ujar laki-laki itu sedikit menekan suaranya. Aku mengangguk.
                “Saya mengerti apa yang anda rasakan,” ucapku,”Jadi…, selama ini Rama tidak tinggal dengan orangtuanya?”
Laki-laki itu menggeleng.
                “Rama tinggal bersama kami, Ibu saya sangat sayang sama Rama kecil, dengan ibu, Rama selalu banyak bercakap, walau kadang bicaranya gak nyambung, tapi mereka begitu karib. Mungkin karena tiap hari bersama ibu” Lelaki itu terkekeh. “Dan hal itulah yang semakin meyakinkan saya, bahwa kelak Rama akan sembuh. Tapi apa? Tetangga-tetangga selalu mereka-reka  masa depan Rama yang suram. Bahkan Rama dianggap sebagai tumbal dari kekayaan mertua kakak saya.”
Aku menghirup nafas panjang, mencoba mengusir sesak di dadaku.
                “Saya akan membantu sekuat saya,” ucapku mantap.
*              *              *
Rama masuk kelas TK A  dari jam delapan sampai jam sepuluh, itu untuk melatih sisoalisasi dengan teman-temannya, walau aku tahu anak autis tidak tertarik untuk bermain bersama teman-temannya. Dia lebih suka menyendiri. Namun bagaimanapun juga aku berharap hal ini akan memberi andil besar pada proses sosialisasi Rama. Selain Rama juga ada Bulan di sana, anak autis yang sudah di sekolah ini selama dua tahun.
Sedangkan jam sepuluh sampai jam duabelas siang adalah waktu khusus Rama belajar denganku. Sementara Bunga yang sebelumnya bersamaku kini di pegang guru lain.
“Wan…too…tri…..foo…”
Aku tersenyum, memperhatikan Rama yang berhitung dalam bahasa inggris sambil berjingkat-jingkat berjalan memutari ruangan, ke dua tangannya masih mengepak-ngepak. 
                “Rama! Ram! lihat Bu Brin!” Aku berteriak. Namun Rama justru duduk sambil berteriak,”Eee…ook…eeeoook…!” aku mengelus dada, yaa…pipis lagi, deh.
                “Rama, kalau pipis itu bilang dulu sama,Bu Brin…, ya?”
Kataku berusaha sabar. Sampai saat ini Rama belum mau  bilang kalau mau pipis. Tentu saja aku yang harus mengurusinya setiap hari. Mulanya aku shock  sekali dengan hal ini. Bayangkan, tiap hari berkutat dengan pipis dan BAB. tapi lama-lama aku jadi terbiasa.
                J yang sabar ya, Brin…, minimal belajar jadi ibu
Ucap temenku dilayar kecilku memberi kekuatan.
                “Eehhh….eehhhh!”             Rama menipiskanku.
                “Rama!“ teriakku tertahan saat tangan Rama menampar wajahku. Pertanda kalau dia tidak suka dengan kata-kataku. Rama cuek, tangannya mempermainkan pipis di sampingnya.
                “JA-NGAN MA-IN PI-PIS…!” Ucapku sambil membenamkan kepalanya ke dadaku. Kebiasaan yang kulakukan saat aku merasa jengkel sama anak-anak, biasanya hal itu akan meredam emosiku.Bagaimanapun juga, menjadi guru tak semudah yang kubayangkan.
Hari-hariku bersama Rama, tak jauh beda dengan hari-hariku bersama Bunga. Tak jarang aku pulang dari mengajar dengan baju yang kusut dan kotor. Itupun aku sudah membawa baju ganti.
                “Bu Brin…., lagu ulang tahun…! lagu ulang tahu...!”
Renunganku terpotong oleh kedatang Bunga yang menarik-narik tanganku meminta diputarkan lagu kesayangannya. Bunga memberikan kaset yang dipegangnya.
                “Di putar ya, sayang?” Tanyaku. Bunga mengangguk, mata beningnya menatapku sekilas. Sungguh saat-saat  Bunga dan Rama menatapku adalah saat-saat yang membahagiakan, walau hanya sekejap.
                “Selamat Ulang tahun….kami ucapkan…
                Semoga panjang umur…kami kan doakan…
                Selamat ….”
                “Eh…eeehh…..nggak mauuuu…!nggak mau…!” Rama menjerit.
                “Aduuuh…!”
Aku sedang asyik bernyanyi dengan Bunga, ketika tiba-tiba sebuah tangan telah mencakar wajahku, jari-jarinya sempat  menculek mataku hingga meninggalkan rasa pedih.
                “Rama?!” Ucapku sambil memegangi mataku.
                “Semoga panjang umur….dan…bahagia…”
Bunga terus bernyanyi, Sedangkan Rama semakin mengamuk. Kakinya menendang benda-benda di sekitarnya. Sementara kedua telapak tangannya menutup kedua telinganya.Tempertentrum, Rama mengamuk tak terkendali.
                “Nggak mau…! nggak mau…! lagu anak-anak ya?”
Ucap Rama sambil terisak. Aku lupa kalau Rama sangat tidak suka dengan lagu ini, Ah...,kadang aku sampai kuwalahan menghadapi dua kurcaciku ini. Sambil menahan pedih di mataku, sembarang aku mematikan tape.
                “Diputar...! diputar…!” kini Bunga berteriak. Lebih tepatnya menjerit.
Aku berlari ke pojok ruangan. Kadang aku tak mengerti kenapa Bunga dan Rama mempunyai kebiasaan yang sama untuk mengekpresikan ketidaksukaannya, yaitu mengamuk orang di depannya. Mereka mengejar aku yang terduduk di sudut ruangan.Menarik-narik tanganku.
                “Kalian mau menyakiti Bu Brin, lagi? iya? Bu Brin sakit kalau tiap hari kalian cakar dan kalian pukul?”
Kutekan serendah mungkin suaraku. Coklat yang sempat masuk ke mataku masih menyisakan rasa pedih, hingga membuat sumber air mengalir dari mataku.
                “Bu, Brin!”
Bunga berteriak, Tangannya mulai mengepak-ngepak, dia bersiap untuk berputar-putar. Aku buru-buru menangkap tangannya.
                “Eih!…eih!”  Rama berteriak.
Kini tangan kananku berusaha memegangi tangan Rama.
                “Mau apa? Mau menyakiti Bu Brin lagi? Kalian  sayang nggak sih sama Bu Brin?” Ucapku di sela isak, kekesalanku  pada mereka menjelma tangis.
                “Maap! Maap! Bu Brin!” Rama berteriak sambil menangis, tangannya yang lepas dari peganganku mengelus pipiku dengan kasar.
                “Oh, sayang! Oh sayang! Sakit apa? Mimik obat ya?”
Kini Bunga mengelus kepalaku. Aku tersentak, kutatap mereka satu persatu.  kemudian kubenamkan mereka berdua dalam pelukanku. Tangisku luruh.
“Maafkan Bu Brin ya…?”
Alloh…, ternyata baru sampai segini kesabaranku, jangan biarkan aku menyiakan mereka ya Rabb... Aku mengira mereka akan memukul, mencakarku, padahal mereka ingin mengungkapkan rasa sayangnya….
*              *              *
                “Bagimana perkembangan Rama, Bu ?”
Siang itu Omnya Rama datang ke sekolah lebih awal.
Aku mengamati grafik perkembangan Rama. Beberapa lembar kopiannya kuserahkan pada Omnya Rama.
                “Grafik kognitifnya naik tajam. Dari beberapa surat-surat pendek yang saya berikan, delapanpuluh persen sudah dihafalnya. Begitupula dengan pelajaran berhitung.”
Lelaki itu itu mengamati kertas di tangannya.
                “Saya yakin, Rama bukan termasuk salah satu dari 75 % anak  autis yang mempunyai retardasi mental.”
Lelaki itu mengangguk-angguk.
                “Untuk bagian komunikasi,” kataku melanjutkan,”Perbendaharaan katanya sudah lumayan banyak. Mungkin ini sebab dari kesenangannya membeo atau echolalia, emm…apa ya? meniru-niru.”
                “Dulu dia sering mengucapkan kata-kata yang tidak ada artinya. Tapi sekarang dia lebih suka meniru-niru apa yang dia lihat dan dia dengar dari TV.”
Kata Om Rama. Aku mengangguk.
                “Itu perkembangan yang positip, soalnya ada juga anak autis yang sedikit bicara hingga usia dewasa.”
Kataku mengingat sebuah artikel yang aku baca kemarin.
                “Jadi…,” aku menyambung kalimatku, “tentunya dia harus didampingi terus kalau di depan TV.”
                “Itu benar bu Brin. Apalagi Rama kalau nonton TV suka mendekatkan matanya ke layar TV.”
                “Ya, itu memang salah satu ciri-ciri perilakunya. Selain itu juga, dia juga tidak suka menerima perubahan.”
                “Waah, saya juga baru sadar kok, Bu, Kalau Rama tuh sepertinya menjalani hari-harinya sebagai rutinitas. Tiap jam setengah tujuh dia pasti minta makan. Dan tiap jam empat sore dia pasti minta mandi. Wah kalau telat setengah jam aja bisa nangis. Padahal dia itu gak tahu jam, lho?”
Lelaki itu tertawa kecil.
                “Oh, ya?” Aku menanggapi. “Itu bisa diarahkan ke hal positip, lho…”
                “Maksud Bu Brin?”
                “Dia kan suka pada rutinitas. Jadi, akan lebih baik lagi, kalau dia juga dibiasakan mengikuti rutinitas ibadah, misalnya sholat…”
                “Betul bu, saya pikir itu bagus sekali. Tapi…” kalimatnya menggantung,”Sampai saat ini Rama masih takut sama batu-batu kerikil, aneh ya? Apa memang seperti itu?”
                “Oh…” aku mengangguk,” ya, benar, dulu Bunga juga takut sama bunga dan buah-buahan, tapi sekarang dia sangat menyukai bunga.” Aku berkisah.
                “Kok, bisa? Caranya gimana, Bu?”
                “Terus menerus dikenalkan, sering-sering dikasih. Awalnya nangis sih, tapi kadang-kadang memang perlu dipaksa.”
                Lelaki itu kembali mengangguk-angguk. Sesaat kami diam. Om Rama kembali serius mengamati grafik perkembangan keponakannya.Nampaknya dia senang sekali dengan perkembangan Rama.
                “Oh, ya.” Aku ingat sesuatu,”Sepertinya, ada baiknya kalau Rama menjalani  terapi medikamentosa
                “Apa itu Bu?” Tanyanya antusias.
                “Terapi obat-obatan atau drug therapy, yakni pemberian obat-obatan dari dokter yang berwewenang.InsyaAlloh ini akan sangat membantu”
                “InsyaAlloh saya akan bawa ke dokter bu”
                “Ini alamat dokter yang bisa dihubungi”
Aku menyerahkan secarik kertas.
                “Terimakasih sekali bu Brin.”
                “Oh ya, satu lagi…,”
                ‘Ya?”
                “Rama sekarang sedang di intensifkan dengan terapi okupasi, yaitu untuk melatih motorik halusnya.Jadi…kalau bisa hal ini bisa berlangsung konsisten hingga di rumah.”
                ‘Wah…,sekali lagi terimakasih bu Brin. Sungguh saya merasa banyak mendapat ilmu nih…” Laki-laki itu merapikan kertas-kertas dihadapannya. Kemudian segera berpamitan pulang.
                Aku menarik nafas lega setelah kepergian Omnya Rama. Sebuah kerjasama yang bagus. Tentu saja aku merasa senang. Aku yakin terapi Rama pasti berhasil, minimal bisa semakin membaik dengan intervensi yang berlangsung konsisten baik di sekolah, maupun di rumah , kalau bisa sih dimasyarakat juga.
Ah, aku jadi teringat artikel yg ku baca beberapa bulan yang lalu, intervensi LEAP, Learning Experience and Alternatif Program For Preschooler and parent.  Penggabungan beberapa teori yang berbeda hingga membentuk sebuah kerangka konsep. Titik berat utama program ini adalah perkembangan sosial anak yang menggunakan tehnik pengajaran reinforcement dan kontrol stimulus.Salah satu prisipnya adalah, keberhasilan akan semakin besar jika orang tua dan guru bekerja sama dengan baik. Tapi tentu saja apa yang kulakukan ini masih sebagian kecil saja.
Yang masih mengganjal di pikiranku saat ini adalah Bunga. Seperti halnya Rama, orangtua Bunga tidak mau mengakui keadaan Bunga. Bedanya Rama lebih beruntung mempunyai nenek dan om yang pengertian dan peduli.
Aku sendiri belum tahu bagaimana caranya memberikan pengertian pada orang tua Bunga. Mereka sangat sensitif. Pernah ketika suatu hari, aku mencoba berbicara dengan ibunya Bunga, dia justru mengorek latar belakang pendidikanku.
Ya, aku memang bukan seorang Psikolog, atau jebolan dari fakulats Psikologi. Aku hanya lulusan Diploma Dua Pendidikan Guru SD. Kalaupun toh sempat mengenyam matakuliah Psikologi anak dan Psikologi pendidikan itu cuma sekilas.
Tapi tentu saja aku tidak mempermasalahkan itu, bagiku bertemu dengan Rama dan Bunga lebih berharga dari teori-teori saat kuliah. Karena disini mau tidak mau aku benar-benar belajar.
*              *              *
                “Saya akan mengikutkan Rama dan Bunga dalam Festival Anak  minggu depan”
Kataku saat Rapat guru akhir minggu. Semua peserta rapat diam.
                “Ehem, maaf, sebelumnya saya minta maaf kepada Bu Brin. Bukan kami tidak mengakui keberadaan Bunga dan Rama, bukan juga kami tidak percaya pada Bu Brin. Namun…ini menyangkut nama baik sekolah kita, Bu…”
Kata Kepala Sekolah.
                “Saya jamin, Bunga dan Rama pasti bisa.” Ucapku meyakinkan.
                “Saya juga minta maaf Bu Brin, ini bukan masalah bisa atau ndak bisa, tapi…kemenangan lomba nanti benar-benar akan membawa nama baik sekolah kita, dan…kita tahu sendiri kan, dampaknya nanti? Sekolah kita akan semakin berkibar…” Kata Bu Endang.
                Aku menarik nafas panjang, kucoba menekan gemuruh dalam dadaku.
                “Jadi…Bunga dan Rama hanya akan mencemari nama baik sekolah kita?” Kutekan kalimatku. Sunyi, tak ada yang bersuara.
                “Lantas, kenapa mereka diterima di sini?” aku menyambung kalimatku.
                “Emm…bukan begitu, Bu. Kita hanya tidak enak kepada orang tua yang anaknya  normal. Mereka pasti bertanya kenapa bukan anak mereka? Kita kan, nggak enak, Bu Brin…”
                “Iya, mereka aja, ada yang khawatir dengan perkembangan anaknya ketika Bunga dan Rama dijadikan satu kelas dengan anak-anak lain, maaf  lho, yang ini saya hanya menyampaikan keluhan salah satu dari wali murid.”
                Ugh! Sakit. Aku menggigit bibir, menahan sesak di dadaku. Pandanganku mengabur oleh kabut.
                “Mestinya kita bisa menjelaskan dong, kalau autis itu tidak menular kepada anak-anak lain. Mestinya kita bisa memberi pengertian pada para orang tua bahwa mereka bukan anak idiot, mereka juga punya hak untuk berteman dengan anak-anak seusia mereka. Mereka bukan untuk dijauhi, bukan untuk disingkirkan! Tapi mereka berhak untuk mendapat kasih sayang. Dan kasih sayang itu bukan hanya dari kita, namun juga dari temen-temannya.”
Aku menoleh ke arah Bu Lilik yang berapi-api.
                Rapat sedikit goyang. Inilah yang paling tidak aku sukai, pendidikan sudah dijadikan ajang bisnis. Berlomba untuk mengibarkan nama sekolah. Sehingga setelah nama sekolah berkibar dan dikenal, mereka akan berlomba-lomba untuk menawarkan sekolah dengan harga yang waah. Aku bergidik. Kalau bukan karena Bunga dan Rama, sudah lama aku keluar dari sini.
                “Baiklah, nampaknya kita hanya ribut dengan masalah Bunga dan Rama, tidak apa-apa, kalau Rama dan Bunga tidak boleh ikut atas nama sekolah. Namun…, saya akan tetap mengikutkan mereka atas nama pribadi. Saya pikir, dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan.” ucapku mengakhiri perdebatan.
*              *              *
                Festifal anak yang diadakan untuk memperingati Hari anak nasinal itu  menampilkan berbagai lomba. Dari lomba mewarnai, lomba menyanyi, hingga lomba berbagai hafalan.
Aku sengaja mengikutkan Rama dan Bunga di Lomba yang sifatnya hafalan, karena di sinilah keistimewaan mereka.
Beberapa anak yang dipanggil ke depan kebanyakan menangis karena sorak sorai penonton, apalagi anak-anak play group, hingga mereka tidak menyelesaikan hafalannya, aku sedikit berdebar.
                “Kita panggil perserta dengan nomor….0016, atas nama Rama…” Tanganku dingin, dalam hati aku berdoa, Alloh…, tidak ada yang tidak mungkin jika Engkau sudah berkehendak. Tunjukkan pada mereka bahwa pada setiap yang kau ciptakan mempunyai kelebihan dan kekurangan…
                “Rama! Rama! Ayo naik ke panggung!”
Rama Diam. Cepat Aku menarik tangannya dan kunaikkan ke atas panggung.
Aku semakin gelisah saat melihat Rama yang mondar-mandir di atas panggung seakan tak menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Dia berputar-putar mengelilingi panggung dengan tangan yang mengepak-ngepak sambil berguman tidak jelas.
“Gum…nyaa….jualan…nyo..nyoo..” Ya Alloh…
Hhhh..., Aku mendesah pelan. Rama sedang menikmati dunianya. Penonton mulai kasak-kusuk ada yang berbisik, namun ada juga yang menyemangati Rama.
“Anak autis tuh, dilombakan?”
“Iya, yaa? kayaknya idiot gitu?”
Ugh! Aku ingin menampar pemilik suara-suara itu.
                “Rama! Macam-macam warna!” Teriakan Panitia membuat Rama menoleh, dan sambil melompat-lompat dia mengucapkan warna-warna dengan jelas sekali.
                “Merah…red, Putih ….wait, Hitam….blek…..”
Tidak hanya itu Rama juga berhitung dalam bahasa inggris dari satu sampai duapuluh sebelum panitia menyuruhnya.
Sambutan riuh penonton mengusik Rama, Tiba-tiba dia memandang ke arah penonton dengan kebingungan, dan…tangisnyapun pecah di atas panggung. Aku segera memburunya dan mendekapnya erat dalam pelukanku, Kucium dia berulang-ulang dengan airmata tak tertahan. Aku membawa Rama dalam gendonganku menuju tempat Bunga yang sedang berjuang ditemani Bu Zahro. Dadaku kembali berdebar saat melihat Bunga  tengah menghitung jari, menghafal duapuluhlima Nabi dan Rasul. Bunga suka mempermainkan jarinya saat menghafal sesuatu. Juri manggut-manggut, beberapa penonton berdecak.
“Autis tuh, bisa juga?”
“Wah, justru anak gitu mah, istimewa...”
 Kembali pandanganku mengabur, segera kudekati Bunga yang akan menuruni panggung kecil itu, namun siapapun tak akan menduga kalau tiba-tiba Bunga terjun begitu saja. Orang-orang histeris, aku dan Bu Zahro segera menubruk Bunga. Panggung yang tingginya setengah meter itu hanya membuat Bunga meringis sejenak, kemudian memandangku. Ya, Bunga jarang menangis jika hanya kena pukul atau jatuh.
                “Nanti maem, nasi?”
Tanya Bunga, aku mengangguk. Begitulah Bunga, dia selalu berucap apa yang dia suka, kadang bahkan tidak nyambung dan membuatku bingung.
“Tadi Bunga dari mana?”
“Tanyaku sambil mengelus pipinya. Bunga justru mengamati orang-orang yang lalu lalang.
“Dengar Bu Brin! Tadi Bunga dari mana?”
“Lomba! Lomba! Lombanya dikasih hadiah, ya?”kata Bunga. Tangannya mengepak-ngepak.
Aku melihat kerlib indah di matanya yang menatapku. Kemudian menatap Bu Zahro.
                “Bu Brin, pi-pis…, pi-pis…,”
Aku tersentak, Rama  yang dari tadi aku biarkan menarik-narik tanganku.
“Rama mau pipis?”
Tanpa menunggu jawabnya aku membawa Rama ke kamar mandi.
Saat merapikan bajunya, kupandangi wajah polos Rama. Hari ini hari pertama Rama bilang saat mau pipis.
“Rama? Lihat Bu Brin!”  Rama menatapku,sekilas, kini kutemukan bintang itu di matanya. Ah, tidak, Rama. Aku tidak menuntutmu untuk menjadi juara, aku sudah bahagia bisa menemukan bintang itu di matamu. Kamu tidak kalah dengan anak-anak lain, Rama. Bahkan kamu istimewa...
Tiba-tiba Siemensku berbunyi, SMS dari mas Husni, tumben?
Brin, tolong bantu mas, ya? aku  kawatir banget,
sampai saat ini Najma belum pernah sekalipun menatap aku  dan ibunya.
Ibunya sedih sekali

Mas Husni? Najma? Bukankah keponakanku itu  sudah satu tahun? Ya Alloh…, Jangan-jangan…ah, tidak! Tidak mungkin!
“maem? maem?” Suara Rama membuatku tersadar. Sekali lagi kulihat  pendar bintang di matanya. Dan tiba-tiba aku melihat Najma di wajah Rama.
                                                                                                                                            Malang 220304,15:59
Special untuk   Rama dan Bunga-Bunga lain,
“Inilah kado yang bisa kuberikan pada kalian, Sayang. Sebagai tanda cintaku. aku yakin suatu saat nanti, kalian akan menjadi Bintang



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...