Pertama
kali aku melihat sosok berkaos kuning bergambar micky mouse itu, aku sudah
tertarik. Fellingku mengatakan lain. Hingga perhatianku tersedot
olehnya. Dan aku tetap memandanginya dari jauh.
Ah,
aku tak tahan. Kuseret langkahku mendekatinya. Pelan, karena aku tak ingin
kehadiranku membuatnya terusik, lantas dia meninggalkanku begitu saja. Oh, aku
tak mau.
Belum
sempat aku menyapanya, seorang laki-laki muda mendekatinya.
“Wah…,
lagi ngapain?”
Sosok berkaos
kuning berjingkat, kedua tangannya mengepak-ngepak, lantas menghambur kepelukan
laki-laki itu. Dan lagi-lagi aku hanya memandanginya saat mereka sedang
bercengkerama. Aku mengangguk saat laki-laki itu tersenyum ke arahku.
“Namanya
siapa?”
Sapaku ramah, kupasang senyum tigaku yang
termanis.
“Ayo, kenalan dulu sama Bu
guru?”
“Ga…ca…ca…ca..vitamin
ce…” Sosok itu mempermainkan jari-jarinya.
“Oh,
iya…vitamin ce. Tapi kenalan dulu sama Bu guru. Dilihat! Bu guru mana?”
Aku masih tersenyum. Kusentuh tangan mungil itu dan
menjabatnya pelan.
“Ram,
lihat Bu guru! nama Ram siapa? Bu guru pengen kenalan tuh?”
Aku menunggu reaksinya.Mata beningnya berputar-putar.
“Ayo
donk, namanya siapa?”
Kini aku tak hanya menjabat tangannya namun juga
menyentuh dagunya. Dia menoleh.
“Ayo
Rama! namanya siapa?”
“Rama!
Rama! Rama!”
Ucapnya cepat, sekilas dia memandangku, hanya sekilas.
Namun meninggalkan sentuhan lembut di bilik kecil dalam hatiku.
Ya, Autisme, gangguan perkembangan yang
kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi.Satu
amanah lagi, Brin!
“Saya
bermaksud memasukkannya ke sini, Bu. Saya sudah berkeliling ke berbagai TK,
namun tak ada yang mau menerima Rama. Saya mendengar kabar, kalau di TK sini
masih mau menerima anak-anak seperti Rama.” Ucap laki-laki di depanku, setelah melepas Rama dari
pelukannya. Aku tersenyum.
“Sudah
dicoba ke sekolah yang memang secara khusus menyediakan pelayanan untuk masalah
seperti ini?”
“Maksudnya,
sekolah anak-anak autis…?”
Aku mengangguk.
”Ya, saya tahu,” laki-laki mendesah, “ saya sadar, Rama tidak
seperti anak normal, Rama autis. Namun
justru karena itulah saya ingin memasukkannya ke sekolah biasa, saya berharap
dia dapat bersosialisasi dengan teman-temannya, karena dia juga berhak memiliki dan dimiliki orang lain.”
Kata lelaki itu semangat. Ada pendar lain dari
kalimatnya.
“Berapa
saudara Rama?”
Tanyaku melebar, sekolah sudah sepi, jadi aku mempunyai
banyak kesempatan untuk memperolah informasi.
“Dia
tiga bersaudara, anak nomor dua. Kakaknya cantik dan pintar, klas tiga
SD,adeknya gemuk dan menggemaskan baru
dua tahun, Rama tersingkir dalam keluarganya sendiri, ayah dan ibunya tak
pernah terima dengan keadaan Rama…”
Aku mengerutkan keningku,
“Lha…,
anda ini…?” kalimatku menggantung.
Lelaki itu tersenyum,
”Saya Omnya, oh ya nama saya juga Rama,”
Ucap laki-laki itu sambil tersenyum.Aku mengangguk dan bero o…o…panjang.
“Anda
perhatian sekali ya, sama keponakan anda?”
Terdengar helaan nafas panjang.
“Rama
mengajarkan banyak hal pada saya, tetang kesabaran…, tentang hidup…, karenanya
juga saya bisa membagi waktu, antara kuliah, kerja dan memperhatikannya.
Separuh semangat saya ada padanya.”
“Cck…,cck…,
luar biasa.” hanya itu yang mampu aku ucapkan.
Lagi-lagi kudengar helaan nafas panjang dari laki-laki itu.
“Saya
hanya ingin Rama sembuh, Bu. Bisa normal, seperti anak-anak yang lain, diterima
dimasyarakat tanpa embel-embel bahwa Rama adalah anak idiot. Dia bukan idiot,
dia anak yang istimewa, tapi tetangga-tentangga menganggap dia anak idiot,
bahkan ayah dan ibunya sendiri yang telah menjadi perantara dia ada, juga
beranggapan demikian. Saya yang sakit, saya tidak terima!”
Ujar laki-laki itu sedikit menekan suaranya. Aku
mengangguk.
“Saya
mengerti apa yang anda rasakan,” ucapku,”Jadi…, selama ini Rama tidak tinggal
dengan orangtuanya?”
Laki-laki itu menggeleng.
“Rama
tinggal bersama kami, Ibu saya sangat sayang sama Rama kecil, dengan ibu, Rama
selalu banyak bercakap, walau kadang bicaranya gak nyambung, tapi mereka begitu
karib. Mungkin karena tiap hari bersama ibu” Lelaki itu terkekeh. “Dan hal itulah
yang semakin meyakinkan saya, bahwa kelak Rama akan sembuh. Tapi apa?
Tetangga-tetangga selalu mereka-reka
masa depan Rama yang suram. Bahkan Rama dianggap sebagai tumbal
dari kekayaan mertua kakak saya.”
Aku menghirup nafas panjang, mencoba mengusir sesak di
dadaku.
“Saya
akan membantu sekuat saya,” ucapku mantap.
* * *
Rama masuk kelas TK A
dari jam delapan sampai jam sepuluh, itu untuk melatih sisoalisasi
dengan teman-temannya, walau aku tahu anak autis tidak tertarik untuk bermain
bersama teman-temannya. Dia lebih suka menyendiri. Namun bagaimanapun juga aku
berharap hal ini akan memberi andil besar pada proses sosialisasi Rama. Selain
Rama juga ada Bulan di sana, anak autis yang sudah di sekolah ini selama dua
tahun.
Sedangkan jam sepuluh sampai jam duabelas siang adalah waktu
khusus Rama belajar denganku. Sementara Bunga yang sebelumnya bersamaku kini di
pegang guru lain.
“Wan…too…tri…..foo…”
Aku
tersenyum, memperhatikan Rama yang berhitung dalam bahasa inggris sambil
berjingkat-jingkat berjalan memutari ruangan, ke dua tangannya masih
mengepak-ngepak.
“Rama! Ram! lihat Bu Brin!” Aku
berteriak. Namun Rama justru duduk sambil berteriak,”Eee…ook…eeeoook…!” aku
mengelus dada, yaa…pipis lagi, deh.
“Rama,
kalau pipis itu bilang dulu sama,Bu Brin…, ya?”
Kataku berusaha sabar. Sampai saat ini
Rama belum mau bilang kalau mau pipis.
Tentu saja aku yang harus mengurusinya setiap hari. Mulanya aku shock sekali dengan hal ini. Bayangkan, tiap hari
berkutat dengan pipis dan BAB. tapi lama-lama aku jadi terbiasa.
J yang
sabar ya, Brin…, minimal belajar jadi ibu
Ucap temenku dilayar kecilku memberi kekuatan.
“Eehhh….eehhhh!”
Rama menipiskanku.
“Rama!“
teriakku tertahan saat tangan Rama menampar wajahku. Pertanda kalau dia tidak
suka dengan kata-kataku. Rama cuek, tangannya mempermainkan pipis di
sampingnya.
“JA-NGAN
MA-IN PI-PIS…!” Ucapku sambil membenamkan kepalanya ke dadaku. Kebiasaan yang
kulakukan saat aku merasa jengkel sama anak-anak, biasanya hal itu akan meredam
emosiku.Bagaimanapun juga, menjadi guru tak semudah yang kubayangkan.
Hari-hariku bersama Rama, tak jauh beda
dengan hari-hariku bersama Bunga. Tak jarang aku pulang dari mengajar dengan
baju yang kusut dan kotor. Itupun aku sudah membawa baju ganti.
“Bu
Brin…., lagu ulang tahun…! lagu ulang tahu...!”
Renunganku terpotong oleh kedatang Bunga yang menarik-narik
tanganku meminta diputarkan lagu kesayangannya. Bunga memberikan kaset yang
dipegangnya.
“Di
putar ya, sayang?” Tanyaku. Bunga mengangguk, mata beningnya menatapku sekilas.
Sungguh saat-saat Bunga dan Rama
menatapku adalah saat-saat yang membahagiakan, walau hanya sekejap.
“Selamat
Ulang tahun….kami ucapkan…
Semoga
panjang umur…kami kan doakan…
Selamat
….”
“Eh…eeehh…..nggak
mauuuu…!nggak mau…!” Rama menjerit.
“Aduuuh…!”
Aku sedang asyik bernyanyi dengan Bunga, ketika tiba-tiba
sebuah tangan telah mencakar wajahku, jari-jarinya sempat menculek mataku hingga meninggalkan
rasa pedih.
“Rama?!”
Ucapku sambil memegangi mataku.
“Semoga
panjang umur….dan…bahagia…”
Bunga terus bernyanyi, Sedangkan Rama semakin mengamuk.
Kakinya menendang benda-benda di sekitarnya. Sementara kedua telapak tangannya
menutup kedua telinganya.Tempertentrum, Rama mengamuk tak terkendali.
“Nggak
mau…! nggak mau…! lagu anak-anak ya?”
Ucap Rama sambil terisak. Aku lupa kalau Rama sangat tidak
suka dengan lagu ini, Ah...,kadang aku sampai kuwalahan menghadapi dua
kurcaciku ini. Sambil menahan pedih di mataku, sembarang aku mematikan tape.
“Diputar...!
diputar…!” kini Bunga berteriak. Lebih tepatnya menjerit.
Aku berlari ke pojok ruangan. Kadang
aku tak mengerti kenapa Bunga dan Rama mempunyai kebiasaan yang sama untuk
mengekpresikan ketidaksukaannya, yaitu mengamuk orang di depannya. Mereka
mengejar aku yang terduduk di sudut ruangan.Menarik-narik tanganku.
“Kalian
mau menyakiti Bu Brin, lagi? iya? Bu Brin sakit kalau tiap hari kalian cakar
dan kalian pukul?”
Kutekan serendah mungkin suaraku. Coklat yang sempat masuk ke
mataku masih menyisakan rasa pedih, hingga membuat sumber air mengalir dari
mataku.
“Bu,
Brin!”
Bunga berteriak, Tangannya mulai mengepak-ngepak, dia bersiap
untuk berputar-putar. Aku buru-buru menangkap tangannya.
“Eih!…eih!” Rama berteriak.
Kini tangan kananku berusaha memegangi tangan Rama.
“Mau
apa? Mau menyakiti Bu Brin lagi? Kalian
sayang nggak sih sama Bu Brin?” Ucapku di sela isak, kekesalanku pada mereka menjelma tangis.
“Maap!
Maap! Bu Brin!” Rama berteriak sambil menangis, tangannya yang lepas dari
peganganku mengelus pipiku dengan kasar.
“Oh,
sayang! Oh sayang! Sakit apa? Mimik obat ya?”
Kini Bunga mengelus kepalaku. Aku tersentak, kutatap mereka
satu persatu. kemudian kubenamkan mereka
berdua dalam pelukanku. Tangisku luruh.
“Maafkan Bu Brin ya…?”
Alloh…, ternyata baru sampai segini kesabaranku, jangan
biarkan aku menyiakan mereka ya Rabb... Aku mengira mereka akan memukul, mencakarku, padahal mereka
ingin mengungkapkan rasa sayangnya….
* * *
“Bagimana
perkembangan Rama, Bu ?”
Siang itu Omnya Rama datang ke sekolah lebih awal.
Aku mengamati grafik perkembangan Rama. Beberapa lembar
kopiannya kuserahkan pada Omnya Rama.
“Grafik
kognitifnya naik tajam. Dari beberapa surat-surat pendek yang saya berikan,
delapanpuluh persen sudah dihafalnya. Begitupula dengan pelajaran berhitung.”
Lelaki itu itu mengamati kertas di tangannya.
“Saya
yakin, Rama bukan termasuk salah satu dari 75 % anak autis yang mempunyai retardasi mental.”
Lelaki itu mengangguk-angguk.
“Untuk
bagian komunikasi,” kataku melanjutkan,”Perbendaharaan katanya sudah lumayan
banyak. Mungkin ini sebab dari kesenangannya membeo atau echolalia,
emm…apa ya? meniru-niru.”
“Dulu
dia sering mengucapkan kata-kata yang tidak ada artinya. Tapi sekarang dia
lebih suka meniru-niru apa yang dia lihat dan dia dengar dari TV.”
Kata Om Rama. Aku mengangguk.
“Itu
perkembangan yang positip, soalnya ada juga anak autis yang sedikit bicara
hingga usia dewasa.”
Kataku mengingat sebuah artikel yang aku baca kemarin.
“Jadi…,”
aku menyambung kalimatku, “tentunya dia harus didampingi terus kalau di depan
TV.”
“Itu
benar bu Brin. Apalagi Rama kalau nonton TV suka mendekatkan matanya ke layar
TV.”
“Ya, itu
memang salah satu ciri-ciri perilakunya. Selain itu juga, dia juga tidak suka
menerima perubahan.”
“Waah,
saya juga baru sadar kok, Bu, Kalau Rama tuh sepertinya menjalani hari-harinya
sebagai rutinitas. Tiap jam setengah tujuh dia pasti minta makan. Dan tiap jam
empat sore dia pasti minta mandi. Wah kalau telat setengah jam aja bisa nangis.
Padahal dia itu gak tahu jam, lho?”
Lelaki itu tertawa kecil.
“Oh,
ya?” Aku menanggapi. “Itu bisa diarahkan ke hal positip, lho…”
“Maksud
Bu Brin?”
“Dia kan
suka pada rutinitas. Jadi, akan lebih baik lagi, kalau dia juga dibiasakan
mengikuti rutinitas ibadah, misalnya sholat…”
“Betul
bu, saya pikir itu bagus sekali. Tapi…” kalimatnya menggantung,”Sampai saat ini
Rama masih takut sama batu-batu kerikil, aneh ya? Apa memang seperti itu?”
“Oh…”
aku mengangguk,” ya, benar, dulu Bunga juga takut sama bunga dan buah-buahan,
tapi sekarang dia sangat menyukai bunga.” Aku berkisah.
“Kok,
bisa? Caranya gimana, Bu?”
“Terus
menerus dikenalkan, sering-sering dikasih. Awalnya nangis sih, tapi
kadang-kadang memang perlu dipaksa.”
Lelaki
itu kembali mengangguk-angguk. Sesaat kami diam. Om Rama kembali serius
mengamati grafik perkembangan keponakannya.Nampaknya dia senang sekali dengan
perkembangan Rama.
“Oh,
ya.” Aku ingat sesuatu,”Sepertinya, ada baiknya kalau Rama menjalani terapi medikamentosa “
“Apa itu
Bu?” Tanyanya antusias.
“Terapi
obat-obatan atau drug therapy, yakni pemberian obat-obatan dari dokter
yang berwewenang.InsyaAlloh ini akan sangat membantu”
“InsyaAlloh
saya akan bawa ke dokter bu”
“Ini
alamat dokter yang bisa dihubungi”
Aku menyerahkan secarik kertas.
“Terimakasih
sekali bu Brin.”
“Oh ya,
satu lagi…,”
‘Ya?”
“Rama
sekarang sedang di intensifkan dengan terapi okupasi, yaitu untuk
melatih motorik halusnya.Jadi…kalau bisa hal ini bisa berlangsung konsisten
hingga di rumah.”
‘Wah…,sekali
lagi terimakasih bu Brin. Sungguh saya merasa banyak mendapat ilmu nih…”
Laki-laki itu merapikan kertas-kertas dihadapannya. Kemudian segera berpamitan
pulang.
Aku
menarik nafas lega setelah kepergian Omnya Rama. Sebuah kerjasama yang bagus.
Tentu saja aku merasa senang. Aku yakin terapi Rama pasti berhasil, minimal
bisa semakin membaik dengan intervensi yang berlangsung konsisten baik di
sekolah, maupun di rumah , kalau bisa sih dimasyarakat juga.
Ah, aku jadi teringat artikel yg ku
baca beberapa bulan yang lalu, intervensi LEAP, Learning Experience and
Alternatif Program For Preschooler and parent. Penggabungan beberapa teori yang berbeda
hingga membentuk sebuah kerangka konsep. Titik berat utama program ini adalah
perkembangan sosial anak yang menggunakan tehnik pengajaran reinforcement dan
kontrol stimulus.Salah satu prisipnya adalah, keberhasilan akan semakin besar
jika orang tua dan guru bekerja sama dengan baik. Tapi tentu saja apa yang
kulakukan ini masih sebagian kecil saja.
Yang masih mengganjal di pikiranku
saat ini adalah Bunga. Seperti halnya Rama, orangtua Bunga tidak mau mengakui
keadaan Bunga. Bedanya Rama lebih beruntung mempunyai nenek dan om yang
pengertian dan peduli.
Aku sendiri belum tahu bagaimana
caranya memberikan pengertian pada orang tua Bunga. Mereka sangat sensitif.
Pernah ketika suatu hari, aku mencoba berbicara dengan ibunya Bunga, dia justru
mengorek latar belakang pendidikanku.
Ya, aku memang bukan seorang Psikolog,
atau jebolan dari fakulats Psikologi. Aku hanya lulusan Diploma Dua Pendidikan
Guru SD. Kalaupun toh sempat mengenyam matakuliah Psikologi anak dan Psikologi
pendidikan itu cuma sekilas.
Tapi tentu saja aku tidak
mempermasalahkan itu, bagiku bertemu dengan Rama dan Bunga lebih berharga dari
teori-teori saat kuliah. Karena disini mau tidak mau aku benar-benar belajar.
* * *
“Saya
akan mengikutkan Rama dan Bunga dalam Festival Anak minggu depan”
Kataku saat Rapat guru akhir minggu. Semua peserta rapat
diam.
“Ehem,
maaf, sebelumnya saya minta maaf kepada Bu Brin. Bukan kami tidak mengakui
keberadaan Bunga dan Rama, bukan juga kami tidak percaya pada Bu Brin.
Namun…ini menyangkut nama baik sekolah kita, Bu…”
Kata Kepala Sekolah.
“Saya
jamin, Bunga dan Rama pasti bisa.” Ucapku meyakinkan.
“Saya
juga minta maaf Bu Brin, ini bukan masalah bisa atau ndak bisa, tapi…kemenangan
lomba nanti benar-benar akan membawa nama baik sekolah kita, dan…kita tahu
sendiri kan, dampaknya nanti? Sekolah kita akan semakin berkibar…” Kata Bu
Endang.
Aku
menarik nafas panjang, kucoba menekan gemuruh dalam dadaku.
“Jadi…Bunga
dan Rama hanya akan mencemari nama baik sekolah kita?” Kutekan kalimatku.
Sunyi, tak ada yang bersuara.
“Lantas,
kenapa mereka diterima di sini?” aku menyambung kalimatku.
“Emm…bukan
begitu, Bu. Kita hanya tidak enak kepada orang tua yang anaknya normal. Mereka pasti bertanya kenapa bukan
anak mereka? Kita kan, nggak enak, Bu Brin…”
“Iya,
mereka aja, ada yang khawatir dengan perkembangan anaknya ketika Bunga dan Rama
dijadikan satu kelas dengan anak-anak lain, maaf lho, yang ini saya hanya menyampaikan keluhan
salah satu dari wali murid.”
Ugh!
Sakit. Aku menggigit bibir, menahan sesak di dadaku. Pandanganku mengabur oleh
kabut.
“Mestinya
kita bisa menjelaskan dong, kalau autis itu tidak menular kepada anak-anak
lain. Mestinya kita bisa memberi pengertian pada para orang tua bahwa mereka
bukan anak idiot, mereka juga punya hak untuk berteman dengan anak-anak seusia
mereka. Mereka bukan untuk dijauhi, bukan untuk disingkirkan! Tapi mereka
berhak untuk mendapat kasih sayang. Dan kasih sayang itu bukan hanya dari kita,
namun juga dari temen-temannya.”
Aku menoleh ke arah Bu Lilik yang berapi-api.
Rapat
sedikit goyang. Inilah yang paling tidak aku sukai, pendidikan sudah dijadikan
ajang bisnis. Berlomba untuk mengibarkan nama sekolah. Sehingga setelah nama
sekolah berkibar dan dikenal, mereka akan berlomba-lomba untuk menawarkan
sekolah dengan harga yang waah. Aku bergidik. Kalau bukan karena Bunga
dan Rama, sudah lama aku keluar dari sini.
“Baiklah,
nampaknya kita hanya ribut dengan masalah Bunga dan Rama, tidak apa-apa, kalau
Rama dan Bunga tidak boleh ikut atas nama sekolah. Namun…, saya akan tetap
mengikutkan mereka atas nama pribadi. Saya pikir, dengan demikian tidak ada
pihak yang dirugikan.” ucapku mengakhiri perdebatan.
* * *
Festifal
anak yang diadakan untuk memperingati Hari anak nasinal itu menampilkan berbagai lomba. Dari lomba
mewarnai, lomba menyanyi, hingga lomba berbagai hafalan.
Aku sengaja mengikutkan Rama dan Bunga di Lomba yang sifatnya
hafalan, karena di sinilah keistimewaan mereka.
Beberapa anak yang dipanggil ke depan
kebanyakan menangis karena sorak sorai penonton, apalagi anak-anak play group,
hingga mereka tidak menyelesaikan hafalannya, aku sedikit berdebar.
“Kita
panggil perserta dengan nomor….0016, atas nama Rama…” Tanganku dingin, dalam
hati aku berdoa, Alloh…, tidak ada yang tidak mungkin jika Engkau sudah
berkehendak. Tunjukkan pada mereka bahwa pada setiap yang kau ciptakan
mempunyai kelebihan dan kekurangan…
“Rama!
Rama! Ayo naik ke panggung!”
Rama Diam. Cepat Aku menarik tangannya dan kunaikkan ke atas
panggung.
Aku semakin gelisah saat melihat Rama
yang mondar-mandir di atas panggung seakan tak menghiraukan orang-orang di
sekitarnya. Dia berputar-putar mengelilingi panggung dengan tangan yang
mengepak-ngepak sambil berguman tidak jelas.
“Gum…nyaa….jualan…nyo..nyoo..” Ya
Alloh…
Hhhh..., Aku mendesah pelan. Rama
sedang menikmati dunianya. Penonton mulai kasak-kusuk ada yang berbisik, namun
ada juga yang menyemangati Rama.
“Anak autis tuh, dilombakan?”
“Iya, yaa? kayaknya idiot gitu?”
Ugh! Aku ingin menampar pemilik
suara-suara itu.
“Rama!
Macam-macam warna!” Teriakan Panitia membuat Rama menoleh, dan sambil
melompat-lompat dia mengucapkan warna-warna dengan jelas sekali.
“Merah…red,
Putih ….wait, Hitam….blek…..”
Tidak hanya itu Rama juga berhitung dalam bahasa inggris dari
satu sampai duapuluh sebelum panitia menyuruhnya.
Sambutan riuh penonton mengusik Rama,
Tiba-tiba dia memandang ke arah penonton dengan kebingungan, dan…tangisnyapun
pecah di atas panggung. Aku segera memburunya dan mendekapnya erat dalam
pelukanku, Kucium dia berulang-ulang dengan airmata tak tertahan. Aku membawa
Rama dalam gendonganku menuju tempat Bunga yang sedang berjuang ditemani Bu
Zahro. Dadaku kembali berdebar saat melihat Bunga tengah menghitung jari, menghafal
duapuluhlima Nabi dan Rasul. Bunga suka mempermainkan jarinya saat menghafal
sesuatu. Juri manggut-manggut, beberapa penonton berdecak.
“Autis tuh, bisa juga?”
“Wah, justru anak gitu mah,
istimewa...”
Kembali pandanganku mengabur, segera kudekati
Bunga yang akan menuruni panggung kecil itu, namun siapapun tak akan menduga
kalau tiba-tiba Bunga terjun begitu saja. Orang-orang histeris, aku dan Bu
Zahro segera menubruk Bunga. Panggung yang tingginya setengah meter itu hanya
membuat Bunga meringis sejenak, kemudian memandangku. Ya, Bunga jarang menangis
jika hanya kena pukul atau jatuh.
“Nanti
maem, nasi?”
Tanya Bunga, aku mengangguk. Begitulah Bunga, dia selalu
berucap apa yang dia suka, kadang bahkan tidak nyambung dan membuatku bingung.
“Tadi Bunga dari mana?”
“Tanyaku sambil mengelus pipinya. Bunga justru mengamati
orang-orang yang lalu lalang.
“Dengar Bu Brin! Tadi Bunga dari
mana?”
“Lomba! Lomba! Lombanya dikasih hadiah,
ya?”kata Bunga. Tangannya mengepak-ngepak.
Aku melihat kerlib indah di matanya yang menatapku. Kemudian
menatap Bu Zahro.
“Bu
Brin, pi-pis…, pi-pis…,”
Aku tersentak, Rama
yang dari tadi aku biarkan menarik-narik tanganku.
“Rama mau pipis?”
Tanpa menunggu jawabnya aku membawa Rama ke kamar mandi.
Saat merapikan bajunya, kupandangi
wajah polos Rama. Hari ini hari pertama Rama bilang saat mau pipis.
“Rama? Lihat Bu Brin!” Rama menatapku,sekilas, kini kutemukan
bintang itu di matanya. Ah, tidak, Rama. Aku tidak menuntutmu untuk menjadi
juara, aku sudah bahagia bisa menemukan bintang itu di matamu. Kamu
tidak kalah dengan anak-anak lain, Rama. Bahkan kamu istimewa...
Tiba-tiba Siemensku berbunyi, SMS dari
mas Husni, tumben?
Brin, tolong bantu mas, ya? aku kawatir banget,
sampai saat ini Najma belum pernah
sekalipun menatap aku dan ibunya.
Ibunya sedih sekali
Mas Husni? Najma? Bukankah keponakanku itu sudah satu tahun? Ya Alloh…,
Jangan-jangan…ah, tidak! Tidak mungkin!
“maem? maem?” Suara Rama membuatku
tersadar. Sekali lagi kulihat pendar
bintang di matanya. Dan tiba-tiba aku melihat Najma di wajah Rama.
Malang 220304,15:59
Special untuk Rama dan Bunga-Bunga lain,
“Inilah kado yang bisa kuberikan pada
kalian, Sayang. Sebagai tanda cintaku. aku yakin suatu saat nanti, kalian akan
menjadi Bintang”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar