Sabtu, 04 Januari 2014

LATAR

Dua bulan ini, saya bolak-balik ke kertas dan pena. Membuat kerangka.Membiarkannya berhari-hari. Mencoret bagian tertentu. Dan meninggalkannya lagi. Membuang tokoh kesayangan, menambah tokoh lain. Hasilnya? Berlembar-lembarcoretan tangan yang kadang susah dibaca :D

Tokoh + latar= konflik. Itu kata Mbak Afifah Afra yang kemudian saya ingat-ingat sebagai rumus.

Konflik. Konflik. Konflik. Selalu begitu kata pembaca terhadap tulisan saya. Saya sadar betul, itu memang kelemahan saya. Saya sudah berusaha memberi waktu yang lebih banyak untuk memikirkan bagian itu. Namun,sepertinya usaha saya masih kurang. Lari sepertinya bukan pilihan. Jadi saya memang harus terus belajar, dan terus mencoba.

Rumus dari Mbak Afra tetap saya pegang. Lalu, saya membuka kembali buku William. Saya ingin mendapat sesuatu dari sana. Dan apa yang saya dapat? Begini kata William:

 “Seperti pada teater, bayangkan panggung, serta tokoh-tokoh cerita dan plot menjadi hidup. Perhatikan batas-batasnya. Manfaatkan tata lampu, latar belakang, pintu keluar dan pintu masuk.”
“ Kalian harus menggunakan latar seperti musem yang memamerkan karya seni.”
“Kalian harus berusaha memberi kepribadian pada latar itu.”
“Jangan sia-siakan latar kalian!”
“Latar bukanlah dinding mati tempat alur cerita dimainkan.”
“Latar adalah landasan, arena tempat konflik berkembang.”

Jadi kata William latar memengaruhi konflik.
Oke! Saya menutup buku William. Pesan Will dan rumus Mbak Afra, klop! Saya kembali ke buku yang penuh coretan. Saya sudah mempersiapkan tokoh-tokoh saya. Mencatat karakter di data pribadi mereka. Lalu saya kembali mengamati detail latar cerita.Mengalihkan semua indera saya ke sana. Membaca berapa kecepatan angin, hingga mengenali jenis tanah apa yang belepotan di kaki tokoh saya. Berapa jarak antara satu tempat penting ke tempat penting dalam cerita. Kemana saja tokoh saya akan bergerak. Mengumpulkan berbagai informasi, baik berupa tulisan maupun gambar-gambar. Berhasil? Kalau membaca teori sih, sepertinya sudah paham. Tapi hasil dari prakteknya entah bagaimana. Hanya saja saya mulai merasa berada disana.
 
Jadi, kalau  saya membagi di catatan ini, bukan berarti saya sudah berhasil. Barangkali saja, ada yang mau ikut menerapkan rumus-rumus Mbak Afra dan William. Kalau saya sendiri masih menulis, tekan backspace. Menulis lagi, tekan ctrl A, delete, dan membiar kanfolder yang jadi saksi, berapa potongan-potongan halaman yang saya buang dan saya ambil kembali.

Mohon doanya ya, semoga naskah itu bisa selesai, bisa terbit jadi buku dan disukai pembaca. Terima kasih, sudah membaca ocehan saya. Ini sih aslinya curcol :)

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...