Dua bulan ini, saya bolak-balik ke kertas dan pena. Membuat
kerangka.Membiarkannya berhari-hari. Mencoret bagian tertentu. Dan
meninggalkannya lagi. Membuang tokoh kesayangan, menambah tokoh lain.
Hasilnya? Berlembar-lembarcoretan tangan yang kadang susah dibaca :D
Tokoh + latar= konflik. Itu kata Mbak Afifah Afra yang kemudian saya ingat-ingat sebagai rumus.
Konflik.
Konflik. Konflik. Selalu begitu kata pembaca terhadap tulisan saya.
Saya sadar betul, itu memang kelemahan saya. Saya sudah berusaha memberi
waktu yang lebih banyak untuk memikirkan bagian itu. Namun,sepertinya
usaha saya masih kurang. Lari sepertinya bukan pilihan. Jadi saya memang
harus terus belajar, dan terus mencoba.
Rumus dari
Mbak Afra tetap saya pegang. Lalu, saya membuka kembali buku William.
Saya ingin mendapat sesuatu dari sana. Dan apa yang saya dapat? Begini
kata William:
“Seperti pada teater, bayangkan
panggung, serta tokoh-tokoh cerita dan plot menjadi hidup. Perhatikan
batas-batasnya. Manfaatkan tata lampu, latar belakang, pintu keluar dan
pintu masuk.”
“ Kalian harus menggunakan latar seperti musem yang memamerkan karya seni.”
“Kalian harus berusaha memberi kepribadian pada latar itu.”
“Jangan sia-siakan latar kalian!”
“Latar bukanlah dinding mati tempat alur cerita dimainkan.”
“Latar adalah landasan, arena tempat konflik berkembang.”
Jadi kata William latar memengaruhi konflik.
Oke!
Saya menutup buku William. Pesan Will dan rumus Mbak Afra, klop! Saya
kembali ke buku yang penuh coretan. Saya sudah mempersiapkan tokoh-tokoh
saya. Mencatat karakter di data pribadi mereka. Lalu saya kembali
mengamati detail latar cerita.Mengalihkan semua indera saya ke sana.
Membaca berapa kecepatan angin, hingga mengenali jenis tanah apa yang
belepotan di kaki tokoh saya. Berapa jarak antara satu tempat penting ke
tempat penting dalam cerita. Kemana saja tokoh saya akan bergerak.
Mengumpulkan berbagai informasi, baik berupa tulisan maupun
gambar-gambar. Berhasil? Kalau membaca teori sih, sepertinya sudah
paham. Tapi hasil dari prakteknya entah bagaimana. Hanya saja saya mulai
merasa berada disana.
Jadi, kalau saya
membagi di catatan ini, bukan berarti saya sudah berhasil. Barangkali
saja, ada yang mau ikut menerapkan rumus-rumus Mbak Afra dan William.
Kalau saya sendiri masih menulis, tekan backspace. Menulis lagi, tekan
ctrl A, delete, dan membiar kanfolder yang jadi saksi, berapa
potongan-potongan halaman yang saya buang dan saya ambil kembali.
Mohon doanya ya, semoga naskah itu bisa selesai, bisa terbit jadi buku
dan disukai pembaca. Terima kasih, sudah membaca ocehan saya. Ini sih aslinya curcol :)
Kadang kita butuh pengulangan ya mba :)
BalasHapus