Rabu, 04 November 2015

Sepiring Daging [Majalah Ummi April 2015]




“Daging?!”
Aku menaruh semangkuk nasi dan sepiring daging yang masih mengepulkan uap di hadapan Deling.
“Air liurku hampir jatuh.”
Aku tersenyum. Deling mengambil seiris daging, menaruh di atas nasi lalu mulai menyuap. Aku hampir tak berkedip saat dia mengunyah. Mungkin dia sedang menebak bumbu apa yang kupakai. Atau jangan-jangan dia tidak—
“Enak banget, Mak!” ucapan yang dibarengi acungan jempol berminyak itu membuatku lega.
“Coba tiap hari ada tetangga kita hajatan ya, Mak.” 
Aku tersenyum. Mengambil sebutir nasi di ujung bibirnya.
Bagi Deling anakku, makan daging bukan di saat lebaran Idul Fitri ataupun Idul Adha. Tetapi, saat salah satu tetangga mengadakan hajatan.
Tak beda denganku, hajatan tetangga adalah harapan. Harus kuakui, jika mendengar kabar ada tetangga yang akan mengadakan hajatan, aku berdoa siang dan malam agar diundang menjadi salah satu pekerjanya.
Sudah menjadi kebiasaan di kampungku. Jika ada warganya yang menggelar hajatan,  seluruh pekerjaan akan dikerjakan secara gotong royong. Kadang, sepuluh hari sebelum hajatan dimulai, sang empunya hajat sudah kelihatan sibuk. Mulai dari memperbaiki rumah, mengecat pagar, hingga membuat tungku besar  dari batu dan tanah liat untuk masak.
Biasanya juga, sang empunya hajat akan mendatangi tetangganya satu persatu, sambil mengatakan pekerjaan apa yang bisa dikerjakan di sana.
Bu kepala Dusun dan ibu-ibu muda, biasanya menjadi penerima tamu. Berdandan cantik dengan kebaya dan sanggul besar.  Anak-anak remaja  akan menjadi penyuguh makanan. Tukang jagal pun tidak sembarang orang.  Sementara tukang masak sayur, masak daging, masak nasi, meracik makanan, membuat minuman dan yang lainya biasa ditempati oleh orang yang berbeda dan berganti-ganti.
Aku belum pernah mencicipi semua pekerjaan yang kusebutkan tadi. Mungkin bagian yang kukerjakan ini juga harus mempunyai keahlian kusus. Karena setiap ada tetangga yang menggelar hajatan aku selalu diminta untuk duduk di belakang rumah, bersama setumpuk piring dan peralatan masak yang kotor.
Jika musim panas aku masih sedikit beruntung, karena berjibaku di air membuatku menjadi segar. Tetapi saat musim hujan, nasibku bisa ditentukan oleh si empunya rumah. Kalau mereka peduli, mereka akan membuat bangunan dadakan agar tempat cucian nyaman dan terlindung dari hujan. Namun tak jarang pula bagian belakang ini luput dari perhatian. Kadang yang dibuatkan pelindung justru piring-piring dan peralatan masaknya. Sementara aku harus rela duduk di teritis bagian teras belakang yang sempit dan terbuka.
Meski aku sudah lama menjalani pekerjaan ini, namun tetap saja hawa dingin di kampungku dan bergelut seharian dengan air, membuat tanganku pucat dan keriput. Di sisi lain, tanganku juga terasa panas seperti terbakar karena harus bersentuhan dengan wadah makanan pedas. Wajan bekas sambal goreng yang berminyak. Panci-panci besar yang penuh kerak kemerahan bekas santan bercabe yang pedas. Atau piring-piring kotor yang menyisakan banyak makanan.
Bicara makanan, entah mengapa kebanyakan para tamu selalu saja menyisakan sesuatu  di piring mereka. Baik itu makanan yang langsung diracik di piring, atau makanan yang mengambil sendiri. Kadang, masih tersisa nasinya, tersisa lauknya, bahkan ada juga yang hanya seperti diaduk saja, antara nasi, lauk dan sayurnya.
Namun,  justru hal itulah yang membuat aku semangat menjalani pekerjaan ini. Jika masih tersisa banyak makanan, biasanya aku akan mengambil dagingnya, kutaruh di plastik dan kubawa pulang. Kucuci lalu kuberi bumbu dan kugoreng lagi, kemudian menyajikan di hadapan Deling anakku. Jangan bertanya bagaimana rasanya, karena rasanya ya enak, gurih seperti daging pada umumnya.
Aku melakukan itu juga sudah meminta izin pada pemilik rumah. Lagi pula, sudah umum, orang-orang membawa sisa makanan untuk makan ternak mereka. Hanya saja, kalau aku akan memisahkan nasi yang masih bersih lalu kujemur dan kumasak kembali. Begitupun daging-daging sisa.
Tidak ada pilihan lain bagiku. Hanya saat seperti itulah Deling bisa puas makan daging. Mungkin kau tak akan percaya jika kukatakan padamu, aku bisa mendapat sekeresek besar daging sisa setiap harinya. Tapi memang begitulah kenyataannya. Para tamu itu begitu banyak meninggalkan sisa di piring makannya.
Namun, bekerja di bagian belakang, juga harus rela menerima sikap kurang ramah dari orang-orang. Kebanyakan mereka dengan tanpa suara menaruh peralatan kotor, menganggap aku ini seakan tidak ada. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Nyatanya mereka  bersuara jika ada yang dirasa kurang bersih, kurang kesat atau masih bau.
Aku sendiri diam-diam juga pernah bertanya, kenapa semua orang menyuruhku bekerja di bagian ini. Tak sekalipun aku di bagian dalam rumah, mengerjakan yang lain. Awalnya aku nelongsong. Meratapi nasib. Orang tak punya di mana-mana memang tersia-sia ya? Begitu pikirku. Tapi selanjutnya, aku mensyukuri. Mungkin beginilah cara gusti Allah memberikan rezekiku. Karena jika aku bekerja di bagian lain, mungkin aku tak  bisa mengumpulkan makanan sisa.
Sejak suamiku yang menderita kusta dan kehilangan sebagian tubuhnya memutuskan untuk pergi dan tidak kembali, aku harus rela menjadi ibu dan bapak sekaligus. Aku benar-benar tak bisa mengikuti kepergiaannya karena saat itu aku baru beberapa hari melahirkan Deling. Dan di waktu yang sama pula, aku tak tega meninggalkan emakku yang sudah renta sendirian.
Lima tahun kemudian emak menghadap Gusti Allah. Waktu itu, kupikir adalah saat yang tepat untuk mengajak Deling menyusul bapaknya. Namun, aku benar-benar tak bisa menemukan suamiku. Bahkan ketika kudatangi kampung para penderita kusta aku tak menemui dirinya di sana. Dengan hati seperti diparut aku kembali ke kampung ini. Menerima kenyataan bahwa aku harus membesarkan Deling sendirian.
“Enak!”
Aku tersenyum. Kebahagiaan bocah delapan tahun itu sederhana. Makan dengan lauk yang enak. Tapi tidak sesederhana kedengarannya. Jangankan daging, untuk bisa makan beras saja, aku harus menunggu beras sembako. Beras kelabu berselimut bekatul,  yang gabahnya hampir separuh dari berasnya.
***
“Makanlah.” Kutaruh sepiring lauk dan sepiring nasi tiwul yang masih hangat.
Gadis kecilku menyibakkan anak rambutnya ke balik telinga. Dahinya berkerut.
“Makanlah, Deling.”
“Emak di tempat orang nikahan kan? kok nasinya tiwul?”
Aku menelan ludah mendengar pertanyaan Deling. Matanya yang bening dan besar menatapku tajam.
“Itu masakan Emak, ayo kita makan.”
Deling tak bertanya lagi, dia mengambil seiris lauk, menaruhnya di atas nasi tiwul kehitaman lalu memasukkan ke dalam mulut dan mengunyahnya pelan.
“Ini tempe ampas tahu! Bukan daging!” Deling membuka mulutnya.
Aku menelan ludah. Apakah harus kukatakan pada Deling, kalau si empunya hajat kali ini menyuruhku untuk mengumpulkan semua sisa makanan? Menyuruhku memilahnya antara nasi campur sayur, nasi yang masih bagus dan daging sisa?
“Cuci kembali daging-daging sisa itu, masih bisa dimanfaatkan.” Begitu ucapnya.
“Pejamkan matamu. Bayangkan sepiring daging yang baru emak angkat dari wajan. Uapnya masih mengepul dan aromanya membuatmu lapar. Warnanya kecoklatan dengan beberapa irisan cabe dan bawang. Ayo ambil seiris, masukkan ke mulut lalu kunyah makananmu,” perintahku pada Deling tanpa melihat tatapan matanya.
“Aku melihatnya, Mak. Aku mengunyahnya. Aku bisa merasakan gurihnya. Sepiring nasi putih aroma pandan. Sepiring daging yang gurih dan empuk. Aroma jahe, penuh kecap...”
Aku menatap Deling. Tenggorokanku terasa sakit. Oh, andai semua masalah hidup ini bisa kuselesaikan dengan hanya memejamkan mata. Seperti Deling yang mengubah sepiring tempe ampas tahu, menjadi sepiring daging.[]

*Untuk kirim cerpen ke Majalah Ummi, alamat email kru_ummi@yahoo.com. 8000 CWS :)

6 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...