“Daging?!”
Aku menaruh semangkuk nasi dan sepiring daging yang
masih mengepulkan uap di hadapan Deling.
“Air liurku hampir jatuh.”
Aku tersenyum. Deling mengambil seiris daging, menaruh
di atas nasi lalu mulai menyuap. Aku hampir tak berkedip saat dia mengunyah. Mungkin
dia sedang menebak bumbu apa yang kupakai. Atau jangan-jangan dia tidak—
“Enak banget, Mak!” ucapan yang dibarengi acungan
jempol berminyak itu membuatku lega.
“Coba tiap hari ada tetangga kita hajatan ya, Mak.”
Aku tersenyum. Mengambil sebutir nasi di ujung
bibirnya.
Bagi Deling anakku, makan daging bukan di saat lebaran
Idul Fitri ataupun Idul Adha. Tetapi, saat salah satu tetangga mengadakan
hajatan.
Tak beda denganku, hajatan tetangga adalah harapan.
Harus kuakui, jika mendengar kabar ada tetangga yang akan mengadakan hajatan,
aku berdoa siang dan malam agar diundang menjadi salah satu pekerjanya.
Sudah menjadi kebiasaan di kampungku. Jika ada warganya
yang menggelar hajatan, seluruh
pekerjaan akan dikerjakan secara gotong royong. Kadang, sepuluh hari sebelum
hajatan dimulai, sang empunya hajat sudah kelihatan sibuk. Mulai dari memperbaiki
rumah, mengecat pagar, hingga membuat tungku besar dari batu dan tanah liat untuk masak.
Biasanya juga, sang empunya hajat akan mendatangi
tetangganya satu persatu, sambil mengatakan pekerjaan apa yang bisa dikerjakan
di sana.
Bu kepala Dusun dan ibu-ibu muda, biasanya menjadi
penerima tamu. Berdandan cantik dengan kebaya dan sanggul besar. Anak-anak remaja akan menjadi penyuguh makanan. Tukang jagal
pun tidak sembarang orang. Sementara
tukang masak sayur, masak daging, masak nasi, meracik makanan, membuat minuman dan
yang lainya biasa ditempati oleh orang yang berbeda dan berganti-ganti.
Aku belum pernah mencicipi semua pekerjaan yang
kusebutkan tadi. Mungkin bagian yang kukerjakan ini juga harus mempunyai
keahlian kusus. Karena setiap ada tetangga yang menggelar hajatan aku selalu
diminta untuk duduk di belakang rumah, bersama setumpuk piring dan peralatan
masak yang kotor.
Jika musim panas aku masih sedikit beruntung, karena
berjibaku di air membuatku menjadi segar. Tetapi saat musim hujan, nasibku bisa
ditentukan oleh si empunya rumah. Kalau mereka peduli, mereka akan membuat
bangunan dadakan agar tempat cucian nyaman dan terlindung dari hujan. Namun tak
jarang pula bagian belakang ini luput dari perhatian. Kadang yang dibuatkan
pelindung justru piring-piring dan peralatan masaknya. Sementara aku harus rela
duduk di teritis bagian teras belakang yang sempit dan terbuka.
Meski aku sudah lama menjalani pekerjaan ini, namun
tetap saja hawa dingin di kampungku dan bergelut seharian dengan air, membuat
tanganku pucat dan keriput. Di sisi lain, tanganku juga terasa panas seperti
terbakar karena harus bersentuhan dengan wadah makanan pedas. Wajan bekas
sambal goreng yang berminyak. Panci-panci besar yang penuh kerak kemerahan
bekas santan bercabe yang pedas. Atau piring-piring kotor yang menyisakan
banyak makanan.
Bicara makanan, entah mengapa kebanyakan para tamu
selalu saja menyisakan sesuatu di piring
mereka. Baik itu makanan yang langsung diracik di piring, atau makanan yang
mengambil sendiri. Kadang, masih tersisa nasinya, tersisa lauknya, bahkan ada
juga yang hanya seperti diaduk saja, antara nasi, lauk dan sayurnya.
Namun, justru
hal itulah yang membuat aku semangat menjalani pekerjaan ini. Jika masih
tersisa banyak makanan, biasanya aku akan mengambil dagingnya, kutaruh di
plastik dan kubawa pulang. Kucuci lalu kuberi bumbu dan kugoreng lagi, kemudian
menyajikan di hadapan Deling anakku. Jangan bertanya bagaimana rasanya, karena
rasanya ya enak, gurih seperti daging pada umumnya.
Aku melakukan itu juga sudah meminta izin pada
pemilik rumah. Lagi pula, sudah umum, orang-orang membawa sisa makanan untuk
makan ternak mereka. Hanya saja, kalau aku akan memisahkan nasi yang masih
bersih lalu kujemur dan kumasak kembali. Begitupun daging-daging sisa.
Tidak ada pilihan lain bagiku. Hanya saat seperti
itulah Deling bisa puas makan daging. Mungkin kau tak akan percaya jika kukatakan
padamu, aku bisa mendapat sekeresek besar daging sisa setiap harinya. Tapi
memang begitulah kenyataannya. Para tamu itu begitu banyak meninggalkan sisa di
piring makannya.
Namun, bekerja di bagian belakang, juga harus rela
menerima sikap kurang ramah dari orang-orang. Kebanyakan mereka dengan tanpa
suara menaruh peralatan kotor, menganggap aku ini seakan tidak ada. Ah, mungkin
itu hanya perasaanku saja. Nyatanya mereka bersuara jika ada yang dirasa kurang bersih,
kurang kesat atau masih bau.
Aku sendiri diam-diam juga pernah bertanya, kenapa
semua orang menyuruhku bekerja di bagian ini. Tak sekalipun aku di bagian dalam
rumah, mengerjakan yang lain. Awalnya aku nelongsong. Meratapi nasib. Orang tak
punya di mana-mana memang tersia-sia ya? Begitu pikirku. Tapi selanjutnya, aku
mensyukuri. Mungkin beginilah cara gusti Allah memberikan rezekiku. Karena jika
aku bekerja di bagian lain, mungkin aku tak bisa mengumpulkan makanan sisa.
Sejak suamiku yang menderita kusta dan kehilangan
sebagian tubuhnya memutuskan untuk pergi dan tidak kembali, aku harus rela
menjadi ibu dan bapak sekaligus. Aku benar-benar tak bisa mengikuti
kepergiaannya karena saat itu aku baru beberapa hari melahirkan Deling. Dan di waktu
yang sama pula, aku tak tega meninggalkan emakku yang sudah renta sendirian.
Lima tahun kemudian emak menghadap Gusti Allah.
Waktu itu, kupikir adalah saat yang tepat untuk mengajak Deling menyusul
bapaknya. Namun, aku benar-benar tak bisa menemukan suamiku. Bahkan ketika
kudatangi kampung para penderita kusta aku tak menemui dirinya di sana. Dengan
hati seperti diparut aku kembali ke kampung ini. Menerima kenyataan bahwa aku
harus membesarkan Deling sendirian.
“Enak!”
Aku tersenyum. Kebahagiaan bocah delapan tahun itu
sederhana. Makan dengan lauk yang enak. Tapi tidak sesederhana kedengarannya. Jangankan
daging, untuk bisa makan beras saja, aku harus menunggu beras sembako. Beras
kelabu berselimut bekatul, yang gabahnya
hampir separuh dari berasnya.
***
“Makanlah.” Kutaruh sepiring lauk dan sepiring nasi
tiwul yang masih hangat.
Gadis kecilku menyibakkan anak rambutnya ke balik
telinga. Dahinya berkerut.
“Makanlah, Deling.”
“Emak di tempat orang nikahan kan? kok nasinya
tiwul?”
Aku menelan ludah mendengar pertanyaan Deling.
Matanya yang bening dan besar menatapku tajam.
“Itu masakan Emak, ayo kita makan.”
Deling tak bertanya lagi, dia mengambil seiris lauk,
menaruhnya di atas nasi tiwul kehitaman lalu memasukkan ke dalam mulut dan
mengunyahnya pelan.
“Ini tempe ampas tahu! Bukan daging!” Deling membuka
mulutnya.
Aku menelan ludah. Apakah harus kukatakan pada
Deling, kalau si empunya hajat kali ini menyuruhku untuk mengumpulkan semua
sisa makanan? Menyuruhku memilahnya antara nasi campur sayur, nasi yang masih
bagus dan daging sisa?
“Cuci kembali
daging-daging sisa itu, masih bisa dimanfaatkan.”
Begitu ucapnya.
“Pejamkan matamu. Bayangkan sepiring daging yang
baru emak angkat dari wajan. Uapnya masih mengepul dan aromanya membuatmu lapar.
Warnanya kecoklatan dengan beberapa irisan cabe dan bawang. Ayo ambil seiris,
masukkan ke mulut lalu kunyah makananmu,” perintahku pada Deling tanpa melihat
tatapan matanya.
“Aku melihatnya, Mak. Aku mengunyahnya. Aku bisa
merasakan gurihnya. Sepiring nasi putih aroma pandan. Sepiring daging yang
gurih dan empuk. Aroma jahe, penuh kecap...”
Aku menatap Deling. Tenggorokanku terasa sakit. Oh,
andai semua masalah hidup ini bisa kuselesaikan dengan hanya memejamkan mata.
Seperti Deling yang mengubah sepiring tempe ampas tahu, menjadi sepiring
daging.[]
*Untuk kirim cerpen ke Majalah Ummi, alamat email kru_ummi@yahoo.com. 8000 CWS :)
*Untuk kirim cerpen ke Majalah Ummi, alamat email kru_ummi@yahoo.com. 8000 CWS :)
duh keren banget cerpennya, mbak
BalasHapuskeren mba cerpennya :)
BalasHapusSemoga bisa mengikuti jejak Mbak Shabrina nongo di Ummi :)
BalasHapusjejak sik
BalasHapuslg riweh pd sakit
Belajar ... :)
BalasHapusTrenyuh bacanya mbak.
BalasHapus