Sejak
pertama Randu mengajakku bertemu, aku selalu menjawab, bahwa cara bercandanya
tak pernah lucu. Tentu saja, itu bukan jawabanku yang sebenarnya. Entah
bagaimana, susah kujelaskan kalau sesungguhnya, aku tak cukup punya nyali untuk
berhadapan langsung dengannya.
“Sekali saja, Bree,” desaknya. Waktu
itu, pesannya masuk ke ponselku ketika aku sedang belanja. Aku bahkan sampai
lupa, barang apa saja yang ingin kubeli.
“Kalau besok aku mati, apakah kamu
benar-benar tak menyesal kita tak sekalipun bertemu?”
Pesan berikutnya datang ketika aku
di parkiran. Dan seperti pertanyaan sebelumnya, aku tidak membalas.
Sepanjang perjalanan, aku
menimbang-nimbang, baik dan buruknya jika aku bertemu dan tidak bertemu dengan
Randu. Kurunut kembali awal perkenalanku dengan pria itu. Kuingat lagi semua
hal tentang dirinya.
“Kamu takut, aku jatuh cinta padamu,
ya?”
Tentu
saja tidak! Aku berteriak dalam hati
“Atau justru takut, kamu jatuh cinta
padaku?”
Menurutku, itu pertanyaan kurang
ajar. Aku pernah menuliskan dialog seperti itu dalam novelku. Dan Randu, copy paste begitu saja, bahkan susunan
kalimat dan tanda bacanya.
Dan, apapun yang melintasi pikiranku
perihal lelaki itu, nyatanya siang ini, aku sepakat untuk bertemu. Dia memilih
sebuah kafe kopi di jalan Darmawangsa. Ketika datang, tak butuh waktu lama, aku
langsung bisa mengenalinya.
Sosok lelaki dengan garis wajah
tegas dan sepasang alis tebal. Dia mengenakan kaus panjang warna putih tulang
dan celana jins coklat tua. Siapapun yang pernah membaca novelku, pasti
menemukan gambaran sosok seperti itu. Ohya, dia juga memakai topi, bertuliskan
‘R’, dengan jenis huruf algerian.
Tiga belas tahun yang lalu, aku
pernah membaca sebuah cerpen tentang tokoh patung yang mendatangi penulisnya
lewat mimpi. Tokoh itu menuntut banyak hal, karena merasa sang penulis otoriter
perihal nasibnya. Aku tertawa waktu itu,
sambil berkata dalam hati, cerita yang tidak masuk akal.
Rupanya, kata-kata itu justru
berbalik pada diriku sendiri. Barangkali, kau pun akan mengatakan kalau yang kualami
ini juga hal di luar nalar. Seorang penulis yang menyetujui untuk bertemu dengan tokohnya.
“Apa yang membuatmu berubah
pikiran?”
Pertanyaan itu langsung menodongku,
bahkan belum semenit aku duduk di hadapannya. Kafe tak terlalu ramai, hingga
aku merasa pertanyaan Randu akan terdengar jelas di seluruh ruangan, jika musik
yang mengalun dikurangi sedikit saja volumenya.
“Aku—“
Kunci motorku jatuh –lebih tepatnya
kujatuhkan-- persis seperti rencanaku.
Aku membungkuk, meraih kunci. Tak
kusia-siakan kesempatan itu. Kulirik sepasang kaki milik Randu. Menapak lantai,
bukan melayang. Berarti, dia bukan makhluk jadi-jadian. Lagipula, mana ada
hantu keluar di tengah hari bedug
begini?
“Maaf,” ucapku, begitu kembali ke
posisi semula.
Randu tersenyum, tapi matanya
menatapku penuh selidik.
“Kamu kira aku hantu?”
Aku cukup mampu menyimpan ekspresi,
tapi kalau ditodong dengan kalimat seperti itu, aku tidak yakin bisa
menyembunyikan raut terkejutku.
Jadi, karena bingung mau menjawab
apa, akhirnya aku hanya tertawa. Tawa yang terdengar ganjil.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
Lelaki itu, lelaki berwajah tembaga
yang kugambarkan dalam ceritaku, mengucap kalimat dengan tekanan dan nada,
persis seperti yang kubayangkan ketika aku menulis dialog-dialognya.
“Oh, tidak ada,” jawabku. “Maksudku,
tidak ada yang mengubah pikiranku.” Aku buru-buru melengkapi kalimatku. Tentu
saja, aku tidak akan mengatakan dengan jujur kalau pada akhirnya, aku memang
ingin membuktikan, apakah sosok Randu benar-benar ada atau hanya imajinasi
belaka.
Betapapun, sebagai penulis, jujur
kuakui, bahwa aku merasa bahagia, ketika tokoh yang kuciptakan berhasil mencuri
hati pembaca. Bahkan, dalam sebuah pesan email, seseorang pernah bertanya,
apakah Randu itu benar-benar ada? Ada juga yang berkomentar, bahwa Randu adalah
sosok laki-laki idamannya.
Ya, aku menggambarkan Randu adalah
seorang sopir truk pengangkut pasir. Dia mencintai seseorang dengan cara yang
berbeda. Kugambarkan pula, bagi lelaki itu, bahwa cinta bukan seberapa banyak
seseorang mengucapkan, namun sejauh mana perasaan itu dibuktikan. Sebagai
seorang pecinta sejati, Randu bisa menebak apa yang diinginkan gadis pujaannya,
bahkan sebelum gadis itu mengatakannya.
“Aku tidak seperti yang
kaugambarkan,” lelaki itu membuyarkan pikiranku. “Sangat jauh!”
Benar tebakanku, bahwa Randu akan
mengatakan kalimat seperti itu.
“Bukankah kamu sendiri yang bilang,
kalau semua hal yang aku tuliskan itu adalah dirimu?” Aku mengucapkan jawaban
yang sudah kupersiapkan.
Randu menggeleng. Dia menyentuh
telinga cangkir, namun diletakkan kembali.
Satu setengah tahun yang lalu, setelah novelku tentang lelaki berwajah
tembaga terbit, aku menerima sebuah email yang isinya:
Aku
tidak menyangka ada penulis yang bisa menggambarkan diriku dengan sempurna dan
apa adanya. Apakah kamu seseorang dari masa laluku? Atau ada seseorang yang
bercerita padamu tentang diriku?
Tentu
saja aku kaget luar biasa waktu itu. Karena punya teman yang bernama Randupun
tidak. Bahkan pernah berkenalanpun tidak. Nama Randu hadir begitu saja di
kepalaku saat menulis. Jadi ketika ada yang mengaku begitu, aku justru merasa hidup antara fiksi dan nyata.
Maka, hal itulah yang pada akhirnya,
membawa diriku ke tempat ini. Menemuinya, seperti ajakannya. Aku ingin
membuktikan bahwa sosoknya benar-benar nyata.
“Ternyata kau mudah percaya ya.”
“Berprasangka baik.”
“Waspada lebih penting. Sekarang
banyak penipu, modusnya macam-macam.”
Aku tidak menjawab. Bicara Randu
memang agak berbeda dengan saat kami chatting.
“Aku ini lelaki brengsek. Hanya
menghilangkan nyawa manusia, kejahatan yang belum pernah kulakukan.”
Aku tercekat. Andai yang
dikatakannya benar, untuk apa memberitahu aku?
“Hanya agar kau tahu,” ucapnya.
Aku
menelan ludah. Mungkin, lelaki di depan ini, benar-benar bisa membaca
pikiranku.
“Bahwa
tulisanmu, telah membawaku sejauh ini, sampai di hadapanmu.”
Randu pernah cerita, kalau
sebenarnya, dia tidak sengaja menemukan bukuku. Novel yang berkisah tentang
seorang lelaki yang mencintai dengan caranya itu, adalah pemberian
keponakannya. Waktu itu, dia dipaksa membaca hanya karena nama tokohnya, sama
dengan namanya. Dan kata Randu, itu novel pertama yang dia baca.
“Satu lagi kejahatan yang kulakukan.
Menipumu.”
Aku terentak.
“Maafkan aku, Bree.”
Kugenggam erat sisi meja.
“Semua yang kukatakan kepadamu
selama ini tidak benar. Aku juga tidak tinggal di Atambua, seperti pengakuanku.”
Randu tertawa datar. “Satu-satunya yang benar, hanya nama.”
Aku menatap Randu. Kucari
kesungguhan dari matanya.
“Kau berhak marah padaku, Bree.”
Bahkan tidak tahu, harus menanggapi
apa semua pengakuan Randu. Kata-kata bagaimana yang pantas kuluapkan kepadanya.
“Jadi, untuk apa kamu mengajakku
bertemu?”
“Untuk menunjukkan sesuatu padamu.”
Seketika kusadari, agaknya, aku
sedang bermain-main dengan bahaya.
“Karena
mungkin, kau tidak akan pernah tahu sejauh mana takdir tulisanmu.”
Aku menahan segala pertanyaan.
“Menurutku, sebagian tulisan adalah
impian penulisnya. Dan sebagian lagi impian pembacanya.”
Kutunggu
Randu melengkapi kalimatnya.
“Terima
kasih, Bree, telah menulis tentang Randu. Tokoh yang menamparku. Lalu mendorongku ingin
mewujud sepertinya.”
Randu
mengangguk-angguk. “Terima kasih juga, sudah mau bertemu. Aku akan pergi. Ada
dosa yang harus kutebus. Ada hutang-hutang yang harus kubayar. Ada janji-janji
yang harus kulunasi.”
“Randu,”
“Jangan berhenti menulis, Bree.”
Lelaki itu berdiri, memandangku sejenak,
lalu meninggalkan aku yang terbengong sendirian. Kutangkap dengan jelas
bayangannya ketika sampai di halaman kafe. Ingin aku mengejarnya. Tapi kursi
seakan memaku dudukku.
Kutatap cangkir kopi Randu yang
masih utuh. Kusentuh Badan cangkirku yang telah mendingin. Aku mencecap
sedikit, kemudian bangkit dan berjalan ke kasir.
“Apakah, Mbak tadi melihat aku
bicara sendiri?” tanyaku.
Penjaga kasir itu mengernyit.
“Saya tadi duduk di sana.” aku
menunjuk ke arah mejaku. Masih ada dua cangkir kopi yang belum diberesi. “Apa
Mbak, melihat lelaki tadi?”
“Yang memakai kaos putih tulang dan
topi bertuliskan R?”
“Jadi Mbak melihatnya?”
Wanita itu menatapku keheranan. Aku
mengucapkan terima kasih, lalu berjalan pulang.
Mungkin terlalu berlebihan, jika aku
beranggapan yang mendatangiku tadi
hantu. Atau makhluk jadi-jadian. Atau bahkan hanya sosok rekaan yang
kubayangkan. Lelaki itu, lelaki yang mengaku dirinya Randu, barangkali benar,
aku tak akan pernah tahu, sejauh mana takdir tulisanku.
Berjam-jam kemudian, setelah sampai
di rumah, aku masih memikirkan perihal pertemuan itu. Ketika aku menyalakan
laptop dan bersiap mengetik. Sebuah pesan masuk ke ponselku.
Bagi
pengarang, pertemuan sekejap adalah sajak panjang yang tak habis-habis
dituliskan.
Randu mengutip salah satu tulisanku.
Kuabaikan pesan itu.
Aku
menunggu cerita, tentang seorang tokoh yang mendatangi penulisnya.
Pesannya masuk lagi, tepat, ketika
aku menyelesaikan cerpen ini.[]
seru cerpennya :bd
BalasHapusIni kisah nyata kah Mbakk? :D
BalasHapusAh, Randu salah satu tokoh kesayanganku :D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHai Wulan :) menurutmu nyata gak? :D
HapusMakasih yaaa sudah mampir :)
aaa Randu, ketemuan sama Bree ...kok gak ajak-ajak sih :D. Selamat mbak telah dimuat di Republika, barokallahu :)
BalasHapusMakasih Mbak Dwi. Mau ikutkah kapan-kapan? :D
HapusSuka banget cerpen ini :) ingin belajar
BalasHapusMakasih Mbak Naqi. Ayuuuk nulis lagi :)
HapusKeren cerpennya. Tapi kl nyata apa iya mbk brina mau nemuin.hihihi... serem yo mbk.
BalasHapusEntar ngajak Mbak Anik :D
HapusMakasih yaaa sudah baca Mbak :)
Suka.. Suka.. Suka...
BalasHapusEh, nnti klw ada yg terinspirasi, gmana hayo..? Bneran ngaku2 tokoh di novel Mbak, trus mnta ktmuan..?
Jgn kasi no.hp Mbak..
Btw
Hihi.. Maaaf.. Itu Btw blm kehapus..
HapusHihihi makasih Mbak, sudah baca. Ayo kabuuuur 😃
Hapusits amazing. love of a life time :)
BalasHapusThank you :)
HapusManis banget mbak diksinya. Aku sukaaaa...
BalasHapusAku menunggu cerita, tentang seorang tokoh yang mendatangi penulisnya. Itulah alasan kenapa sampai sekarang aku masih menulis tenangnya. Aku berharap ia kembali menjumpaiku dengan senyumnya yang mekar. ( ʃ˘̩̩̩_˘̩̩̩)
Makasih Mbak sudah baca. Semoga terkabul harapanmu ;)
HapusAku suka gaya bercerita Mbak Brina yang membuai amboiiii....
BalasHapusMakasiih :)
HapusShabrinaaaaaaaaaaaa
BalasHapusMenaliiiiiiii :D
Hapus