Jumat, 18 Maret 2011

Sepotong senja di Dorowila


Kali ini, aku mendapat tiket pergi ke Bima. Sebenarnya sudah lama juga ingin ke sana. Tapi…aku memang sengaja mencari waktu kusus untuk jalan-jalan ke Bima. Saat aku tanya pada Akhi Dirman, apa yang perlu aku siapkan dalam perjalanan ini? katanya aku harus menyiapkan segulung tissu, kalau perlu lap mungkin.

Jadi, aku memang harus jalan-jalan sendiri tanpa Zaid dan Urfa.

Dan di sepotong senja yang menyisakan gerimis itu, aku menuju Dorowila-Bima. Di sepanjang jalan kuputar lagu Broery marantika-Pamit. *gak nyambung ya? Iya sih.
“Temui orang yang bernama La Hawa,” kata Akhi Dirman padaku.

Ya, tujuanku memang ingin menemui La Hawa, seorang yang setia dengan cintanya. Aku penasaran, kesetian dan cinta macam apa yang dipunyai wanita itu? Dia menjaga kesetiaannya dari bulan kecil, bulan besar, kecil lagi, besar lagi dan kecil lagi, hingga bulan berubah berulang-ulang, tak terhitung.

Aku turun dari kapalku, lalu kulihat seorang wanita yang memakai rimpu berdiri menatap laut. Pasti dia orangnya. Pikirku. Aku tak berani menyapanya.

Aku berjalan keliling Dorowila. Kusapa beberapa gadis berimpu yang sedang menumbuk padi di bawah Jompa. Kutanyakan padanya tentang La Hawa.
Lalu seorang menemani perjalananku. Sepanjang jalan sayup-sayup kudengar suara sarune. Lalu aku melewati Huma Haju jati, “di sanalah dulu La Hawa tinggal” ucapnya, aku berdecak kagum memandang Huma Haju Jati yang megah.

Lalu aku menyaksikan peristiwa demi peristiwa yang menghabiskan persediaannya tissuku. Dan di ujung senja itu, aku melihat lipatan-lipatan cinta yang bisu. “sebab cinta tak harus berkata…” bisik seorang Ina pada anaknya di Jompa.

Lalu kuberanikan menemui La Hawa. Kudengar bisik lirihnya pada angin, dia ingin dijadikan batu saja, seperti La Nggini yang terus menanti La Nggusu kembali. Langgini yang berdoa pada Tuhan agar dirubah menjadi batu dalam penantiannya. Dia berharap suatu hari jika La Nggusu pulang, ia masih bisa mengenalinya.

Ah, aku tak berani menanyakan kesetian dan cinta macam apa yang dimiliknya. Yang aku tahu, berkali-kali aku harus mengusap pipiku yang basah. Lalu pelan-pelan kapalku meninggalkan pantai. Broery masih dengan Pamitnya.

Aku menaruh tiket dengan gambar perempuan berimpu itu di samping laptopku. Entahlah, dengan adonan dan bumbu apa Akhi Dirman meracik sajiannya. Yang jelas Akhi Dirman dengan piawai dan lembut, telah berhasil menyajikan kisah cinta dan kesetian yang dipadu dengan warna lokal yang eksotis.

Judul :Sebab Cinta Tak Harus Berkata
Penulis:Akhi Dirman Al-amin
Penerbit: Genta Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...