Rabu, 22 Juni 2011

Pesan-pesan dari negeri-negeri yang menjauh (naskah Fantasy Fiesta 2011)

bismillahirrahmanirrahim
sekata demi sekata, alhamdulillah jadi juga 2600 kata. naskah untuk fantasi fiesta 2011

Pesan-pesan dari negeri-negeri yang menjauh

Oleh: Shabrina ws

Berlan,

Kutulis surat ini untukmu.

Ah, andai kau tahu, bahwa sebenarnya bukan kisah seperti ini yang ingin kubagi denganmu.

Tapi inilah dunia mimpi itu. Dunia yang dulu hanya menjadi dongeng sebelum tidurku. Dongeng yang selalu membuatku terobsesi untuk benar-benar menjadi bagian dari kisah itu.

Dan kini, di sinilah aku, terjebak dalam mimpi yang menjadi nyata, memasungku.

Maka, ketika hatiku bisa terbang, hati ini hanya ingin terbang untuk menyentuh hatimu. Sedang langkah-langkah kita semakin menjauh satu sama lain.

Dan,inilah mungkin pesan terakhirku untukmu yang telah melangkah jauh bersama kisah yang selalu kau bagi bersamaku.

Maka, aku ingin kau tahu, bahwa meski arah langkah kita selalu berbeda tapi kita mempunyai rasa yang sama, cinta.

Luv u, selalu.

Welestisya

Akasia Berlandieri melipat surat yang berwarna oranye itu. Surat dengan warna yang tidak biasa. Surat dari kekasihnya yang semakin jauh dari pandang matanya. Welestisya.

Berapa kali purnama berganti, berapa kali musim berganti, sungguh meski dia telah menandainya, tapi selalu rasa pedih yang hadir di hatinya. Setiap kali dia menyobek kalender yang menandai bahwa jarak antara ia dan kekasihnya semakin menjauh.

O, sungguhlah, andai waktu bisa diputar ulang, “Aku akan memilih dilahirkan di ruas jalan yang sama denganmu Welestisya.” Begitu ucapnya, selalu dalam surat-surat hijau toska yang ia kirimkan.

Berbeda dengan Welestisya, “Andai waktu bisa diputar ulang, aku memilih untuk tidak bertemu denganmu di ruas jalan itu, Berlan.”

Tapi sungguh, bagaimanapun cinta tak bisa disalahkan.

“Namaku, Berlan. Akasia Berlandieri.” Siang terasa hangat. Matahari menyapa dari celah-celah pohon bambu saat itu.

“Aku Welestisya. Terima kasih telah menolongku. Sungguh aku tidak menyangka mobil baru ini agak susah kukendarai. Apakah kudamu tidak apa-apa?”

Itulah awal pertemuan mereka. Di sebuah ruas jalan netral, saat Welestisya mencoba mobil barunya yang dibeli langsung dari luar negeri. Dia mengendarai dengan keseimbangan yang belum sempurna dan dia terjerembab karena menghindari seekor kuda dari arah yang berlawanan.

“Kudaku tidak apa-apa, aku tak pernah menggunakan penutup mata untuk kudaku, jadi dia bisa melihat lebih leluasa.”

Maka, itu awal nasib cinta mereka, cinta yang lahir setelah perang dasyat antara negerinya dan negeri kekasihnya yang baru saja berhenti. Negeri Tanah Idaman dan Negeri Kota Impian.

***

Apa kabarmu? Di sini hujan, bagaimana di tempatmu.

Maafkan aku, hujan membuat aku menulis surat untukmu, entahlah, aku rindu.

Welestisya melipat dengan rasa yang menggumpal. Itu surat pertama Berlan. Surat yang dia terima saat hujan baru saja reda di kotanya. Saat lampu-lampu mulai menyala terang di ruas jalan-jalan kotanya yang mulus. Surat yang menjadi awal dari surat-surat mereka selanjutnya. Surat yang selalu dikirim secara diam-diam di tengah-tengah pembangunan, lewat seekor merpati biru.

Welestisya lahir dari keluarga terhormat di Negeri Kota Impian. Semua rakyat negerinya tahu, akan cita-cita yang tertulis dalam sebuah prasasti saat bulan purnama. Cita-cita yang kemudian menjadi dongeng-dongeng yang wajib dibacakan oleh setiap orang tua kepada anaknya. Tentang sebuah negeri masa depan. Negeri yang maju dan modern. Dan anak-anak di negerinya semua hafal dongeng itu, tak terkecuali dia.

Suatu hari, tak ada lagi harimau-harimau buas yang menakutkan. Tak ada lagi gajah-gajah pengganggu masuk perkampungan. Tak ada lagi burung-burung yang menghabiskan padi, tak ada lagi kuda-kuda yang berjalan sambil buang air besar.

Suatu hari, tak perlu lagi kita bersusah payah menyalakan obor-obor. Karena akan ada alat yang tinggal pencet lalu lampu-lampu akan menyala di seluruh penjuru kota. Tak perlu lagi kita berkotor-kotor di depan tungku yang penuh abu dengan wajan-wajan yang hitam. Karena akan ada alat yang tinggal ditancapkan maka tersedialah nasi yang pulen dan wangi.

Ya, suatu hari, jika cita-cita negerinya tercapai, tak perlu lagi ada tangan-tangan kelelahan membersihkan noda-noda baju, karena akan ada benda ajaib yang bisa bekerja kapan saja untuk mencuci baju dan keluar menjadi baju yang wangi dan rapi.

Dan, jalan-jalan becek dan kotor hanya akan tinggal cerita, becak-becak akan dilarung ke laut pada waktu yang telah ditentukan. Delman tak akan berkeliaran. Jalan lebar dan mulus itu hanya akan dihiasi dengan motor dan mobil yang bersih, bahkan andai kita tak memakai alas kakipun kaki kita tak akan kotor karena pemerintah akan membangun jalan yang bersih dan mengkilat.

Para ibu rumahtangga juga tidak perlu repot-repot dan mengeluh dengan daun-daun yang berjatuhan hingga memperlambat pekerjaan karena harus menyapunya. Ya, karena akan ada mahakarya yakni pohon-pohon yang cantik yang tak akan rontok daunnya sepanjang jaman. Sementara bunga-bunga bisa diciptakan dan akan berbunga sepanjang tahun. O, sungguh sesuatu yang luar biasa. Karena pohon-pohon dan bunga itu menyala terang di malam hari.

Dan dari sekaranglah cerita dimulai, maka kelak kita akan hadir di sana dengan senyum bahagia. Di Negeri Kota Impian dengan segala kemudahan hidup bagi rakyatnya.

Begitulah nenek, ibu dan ayahnya bercerita. Cerita yang tak pernah berbeda setiap malam. Dengan kalimat yang selalu sama. Dan cerita itu menjadi mantra yang bekerja dengan sempurna, melekat kuat dalam hati dan otak anak-anak Negeri Kota Impian.

Dan kini, setelah 57 tahun dia menjadi penghuni bumi. Dongeng-dongeng yang ia dengar saat kecil dulu telah menjadi nyata. Sungguh, inilah ia, telah benar-benar berada di sana, di Negeri Kota Impian dengan segala fasilitas dan gemerlapnya.

Jujur, aku jatuh hati padamu Welestisya. Aku mencintaimu. Maukah kau menikah denganku?

Welestisya menggenggam surat itu dengan tangan gemetar. Sesungguhnya, itu adalah salah satu surat dari Berlan yang membuat dia seakan terbang. Membuat dia merasakan desiran hati yang tak bisa dia bahasakan. Bahwasanya dia tahu, rasa yang dia simpan tak bertepuk sebelah tangan. Berlan mempunyai rasa yang sama dengan dirinya. Dan Berlan menyatakannya, bukan dengan main-main tapi langsung kepada sebuah tujuan yang jelas, menikah.

Tapi siapkah dia? Tahun yang tertera di ujung kertas berwarna hijau toska itu adalah tahun saat dia baru berusia 20 tahun. Tahun dimana dia dan seluruh keluarganya diliputi semangat yang membara untuk mewujudkan cita-cita mulai negerinya.

Tentu saja, menikah dengan orang yang dicintai adalah impian. Tapi menikah bukan hanya menyatukan dua hati, melainkan dua negeri. Negerinya dan negeri Berlan yang jelas-jelas merupakan musuh bebuyutan.

Ya, karena negeri mereka berjalan ke arah yang berlawanan dengan cita-cita yang berbeda. Tak mungkin bagi Welestisya tinggal di negeri Berlan dan tak mungkin bagi Berlan tinggal di negeri Welestisya.

“Karena hidup harus berjalan ke depan, Berlan.”

“Apa kau pikir negeri kami berjalan ke belakang?”

Begitulah, kadang surat-surat mereka berisi perdebatan-perdebatan panjang. Tentang cita-cita negeri mereka. Dua hati yang sama-sama kukuh, dua kepala yang sama-sama keras.

Di sinilah kita, Cinta

di jalan menikung

Kita berada di ruas jalan yang sama,

namun selalu menuju arah yang berbeda

Mereka selalu menutup surat-surat mereka dengan sajak-sajak merenyuhkan jiwa.

***

Angin bulan juni menyebarkan aroma bunga cengkih yang wangi ke seluruh pelosok Negeri Tanah Idaman. Sementara sawah-sawah yang menguning ditingkahi dengan cericit burung-burung. Jalan-jalan ramai oleh derap kuda yang pulang dan pergi, mengangkut hasil-hasil panen menuju pusat-pusat industri.

Berlan duduk dengan kegalauan yang sama. Kegalauan sejak ia tahu bahwa Negeri Kota Impian bukan hanya berjalan tapi sudah berlari. Negeri itu menekan gas kuat-kuat sehingga melaju dengan cepat. Tidak hanya rem yang tidak lagi dipakai, tapi nyaris Negeri Kota Impian tak pernah mengurangi kecepatan lajunya.

Dan, dia tahu, sekali dia menekan tombol power maka akan hadir di layarnya semua berita tentang negeri-negeri di luar Negeri Tanah Idaman. Dari layarnya sebuah peta terbentang luas. Dan terekam jelas pada layarnya negeri-negeri yang berjalan lamban, berjalan cepat bahkan berlari kencang. Maka ingatannya selalu meloncat pada senja jingga, ketika almarhum kakeknya selalu bercerita padanya tentang kekhawatiran.

“Tabrakan maut antar negeri, itulah yang kakek khawatirkan.”

“Aku tidak bisa membayangkan apa itu akan benar-benar terjadi, Kek.”

“Ya, tentu saja kakek harap kekhawatiran kakek ini hanya kekhawatiran saja. Makanya, kakek selalu berkirim surat kepada nahkoda-nahkoda negeri-negeri tetangga, menuliskan tentang kekhawatiran kakek itu. Bagaimanapun mereka saudara-saudara kita.”

“Tapi pada akhirnya tidak semua dari mereka menerima kan, Kek?”

“Ya,” kakek terkekeh, tapi dengan sorot mata yang aneh.”Karena pada akhirnya sebagian surat-surat itu menjadi awal peperangan.”

“Dan negeri kita selalu memilih menghindar daripada terjadi banyak korban, Kek?”

“Karena memang arah jalan kita berbeda, Berlan. Arah kita berlawanan. Dan kalau kita tak menghindar, maka yang terjadi adalah tabrakan. Laju mereka yang kencang saja sudah menjatuhkan banyak korban. Maka, itulah pilihan, kita memilih angkat tangan, bukan menyerah tapi menawarkan kedamaian dengan janji tanpa mengganggu dan mencampuri urusan masing-masing negeri.”

Ah, kini setelah bertahun-tahun kakek pergi, apa yang dikhawatirkan kakeknya terjadi. Sebelum dia menerima surat dari Welestisya, dia telah lebih dulu tahu bahwa telah terjadi sesuatu pada negeri kekasihnya itu.

Telah terjadi banjir truk yang menggenangi sepanjang jalan-jalan kota. Truk-truk itu tak bisa bergerak. Bahkan genangannya semakin luas. Semua panik, semua pengurus kota-kota bagian mempertahankan wilayah mereka agar tak terkenan dampak banjir truk itu.

“Saya mengkhawatirkan dampaknya akan lebih parah, Ayahanda.”

“Ayah, juga Berlan. Tapi tak ada yang bisa kita lakukan saat ini. Itu konsekuensi mereka.”

“Apakah kita tak hendak mencoba menulis surat kepada mereka? Paling tidak mengusulkan sebuah solusi, Ayah?”

“Ah…” Akasia Daelbrata, ayah Berlan mendesah, lalu berjalan menuju jendela, rambutnya yang putih bercahaya terkena sinar matahai senja, ”Kau telah menjadi raja negeri ini Berlan, dan kau juga masih ingat kan? Bagaimana dulu mereka menjajah kita? Berapa banyak mereka mengambil tanah kita? Berapa banyak korban-korban berjatuhan demi satu kalimat mereka, ‘cita-cita mulia’, kau masih ingat itu bukan?”

Berlan tahu itu, dia tak memungkiri. Dia mengerti betapa saat Negeri Kota Impian menjajah tanah mereka, hutan-hutan yang botak tanpa rambut menangisi banyaknya pohon-pohon yang menjadi korban, bergelimpangan. Kepala-kepala pohon itu terpisah dari leher, mata-mata mereka lepas dan menggelinding dimana-mana seperti kelereng, usus-usus berserakan bercampur darah, sementara kaki-kaki dan badan-badan pohon itu menjadi tumbal laju cepat Negeri Kota Impian.

Dia, juga menyaksikan, bagaimana dulu gajah, harimau, kera, berlari terbirit-birit dengan jerit dan rintihan yang memilukan hati.

Maka ketika dia membaca berita yang tertera di layarnya, bahwa hujan meraung-raung merindukan bumi yang tak mereka temui, dia hanya bisa mengelus dada dengan rasa yang pilu. Ya, dia tahu bagaimana Bumi selalu setia menunggu hujan, dan bagaimana Hujan selalu mempersiapkan pertemuan indahnya dengan sang kekasih hati, Bumi. Namun, apa hendak di kata, Hujan dan Bumi yang ditakdirkan tinggal di negeri Kota Impian harus menerima kenyataan bahwa tak ada lagi pertemuan romantis diantara mereka. Kekuatan cinta sang hujan pada bumi tetap saja tak bisa menembus kerasnya adonan semen, aspal, keramik-keramik yang angkuh dan sombong. Maka dia bisa mengerti jika Hujan tiba-tiba mengamuk semaunya, menerjang apapun yang ada dihadapan mereka.

Dan kini dalam genggamannya ada surat kekasihnya, surat yang membuat dia galau di sepanjang malam-malamnya.

***

Tahukah kau, hari ini aku berlari mengejar pagi, karena aku ingin membagi matahari di atas sungai kecil di kotaku, denganmu.

Ini surat kesekian yang Welestisya keluarkan dari kotak-kotak suratnya. Tangan keriputnya memegang dengan gemetaran. Sungguh dia ingin, surat-surat itu bisa menemaninya di saat-saat seperti ini.

Benarkah kau tak mau menikah denganku, Welestisya? Agar aku tak perlu membagi matahari ini menjadi dua. Karena kita bisa menyaksikan terbitnya bersama-sama. Dari puncak bukit yang bernama bukit matahari terbit. Aku yakin kau pasti menyukainya.

Begitu kata Berlan pada suratnya yang lain.

Negeri Kota Impian adalah cita-cita kami, Berlan. Cita-citaku. Di sini hidup dan matiku. Bagaimana mungkin aku meninggalkan karierku di sini, sedangkan aku tahu, duniaku tak akan berlaku di negerimu?

Ya, cinta saja memang tak cukup kuat untuk mengarahkan langkah mereka menuju arah yang sama. Saat itu negerinya dan negeri Berlan semakin menjauh. Sementara Welestisya sedang berada di puncak kariernya sebagai perancang busana. Namanya terkenal hingga ke manca negara. Negeri Kota Impian menjadi pusat mode dunia. Dan posisi Welestisya sendiri adalah impian banyak orang.

Prestasi puncaknya, yang juga merupakan impian terbesarnya adalah ketika dia menjadi perancang busana pengantin Kerajaan Negeri Berkilau, saat putri kerajaan itu menikah.

Welestisyia menarik nafas panjang, lalau pandangannya menyapu keseluruh dinding ruangan. Di sana terpajang foto-fotonya sejak dia bayi. Dia menamai ruangan itu sebagai ruangan rekaman perjalanan. Dia tinggal memencet tombol. Maka gambar yang dia kehendaki akan membesar dan dia bisa melihat dengan jelas detail peristiwa masa lalunya.

Namun diantara semua gambar-gambar itu, hanya satu gambar yang sering dia lihat berulang-ulang. Bukan gambar saat dia menjadi pusat pemberitaan dunia karena baju pengantin rancangannya. Tetapi gambar itu adalah gambar yang mungkin bagi orang lain hanya gambar sederhana. Dia memotret dirinya bersandar pada mobil terbarunya, sesaat setelah dia bertemu dengan Berlan pertama kali. Sayang, tidak ada Berlan di sana.

Ah, telah 40 tahun berlalu, rasanya baru saja kemarin peristiwa itu terjadi. Sungguh, dia tak pernah merasa menjadi nenek-nenek setiap kali melihat foto itu.

“Thiiin..diiin…dooon….jreng…trang…”

Welestisya membuka gorden jendelanya. Dia melihat jalanan di bawah sana masih banjir dengan truk-truk gemuk dan mobil-mobil mewah yang tak bisa bergerak baik maju maupun mundur.

Sebuah stasiun televisi menyiarkan banjir kendaraan memenuhi ruas jalan seluruh negeri Kota Impian. Rak –rak swalan dan berbagai restoran semua kosong, tak ada lagi makanan. Sementara orang-orang berjalan berdesakan dengan nafas yang megap-megap dan wajah-wajah penuh peluh. Tombol-tombol sepatu sudah tidak berfungsi lagi. Listrik-listri kadang hidup dan kadang mati. Sebagian orang menyembelih binatang-binatang peliharaan mereka –anjing dan kucing-- sebagai pengganjal perut. Ya, Karena hanya ada dua jenis binatang peliharaan di Negeri Kota Impian.

Kini negeri yang selalu berlari kencang itu tak bisa melaju lagi melainkan berputar-putar. Beberapa wartawan dari manca negera mengambil gambar Negeri Kota Impian dari udara.

“Inilah negeriku Berlan, Negeri Kota Impian.” Welestisya berjalan pelan. Tenggorokannya terasa kering. Remote control untuk air minumnya tak berfungsi. Tertatih dia berjalan, dan ternyata tak ada setetespun air tersisa di guci emas itu. Tiba-tiba suara-suara gaduh di bawah sana mengejutkannya, hingga dia terjatuh di atas surat-surat dari Berlan yang memenuhi ruangan.

***

Suara gaduh itu benar-benar mengejutkan Negeri Kota Impian. Dari udara wartawan-wartawan luar negeri sibuk merekam dan mengadakan siaran langsung.

Negeri Kota Impian yang berputar-putar itu tiba-tiba diam. Seribu pasukan gajah dan seribu pasukan berkuda dengan muatan gemuk di punggung mereka berjalan dan menyebar keseluruh negeri. Lengkingan gajah membuat rakyat negeri itu berdesakan di halaman rumah mereka. Gajah-gajah itu bergerak menginjak-injak mobil-mobil mewah yang berbaris di ruas-ruas jalan kota.

“Tuhaaaan…”

“Habislah nasib kita…”

“Inilah balas dendam yang sempurna…”

“Negeri impianku…”

Orang-orang menjerit ketakutan. Tapi gajah-gajah itu terus bergerak tanpa henti, berjalan maju dan mudur seperti tak kenal lelah, hingga mobil-mobil mewah yang mereka injak-injak itu menjadi gepeng dan rata seperti jalan baru.

Lalu berikutnya kuda-kuda menyebar ke seluruh kota. Penunggangnya membagikan buntalan-buntalan makanan yang disambut suka cita oleh rakyat Negeri Kota Impian.

***

“Welestisya, bertahanlah.” Berlan memacu kudanya dengan cepat, mengikuti merpati biru yang terbang di depannya.

“Di sana Tuan. Di apartemen termewah negeri ini.” kata Merpati biru.

Berlan turun dari kudanya. Dia menuju pintu masuk apartemen itu.

“Maaf, Tuan, pintunya tidak bisa dibuka. Semua di kota ini menggunakan remote control yang bekerja dengan baterai. Sementara beberapa hari ini listrik mati, sedangkan semua baterainya sudah kehabisan daya.” Kata seorang penjaga sambil menikmati bungkusan makanan yang dia dapat.

“Aku butuh gajah.” Kata Berlan kepada Merpati biru. Maka dengan cepat merpati itu pergi dan beberapa saat kemudian tiga ekor gajah datang.

“Dobrak pintunya!” perintah Berlan. Dan dengan sekali terjang pintu terbuka. Beberapa orang yang terjebak di dalam apartemen lantai satu segera dibawa keluar, mereka dalam keadaan lemah, wajah-wajah mereka pucat.

“Panggil lebih banyak pasukan bantuan!” seru Berlan pada Merpati biru yang segera melesat pergi.

“Bertahanlah Welestisya.” Berlan berjalan mengelilingi ruangan. Namun dia tidak menemukan tangga.

“Ya Tuhan…aku harus memanjat dinding.” Guman Berlan. Dan dengan cepat dia mengambil tali tambangnya lalu merayap naik ke atas.

“Di sini Tuan,” kata merpati biru yang hinggap di balkon lantai empat. “Welestisya biasa duduk di sini membaca surat dari Tuan dan membalasnya.”

Berlan melompat, lalu berjalan menuju pintu.

“Terbuka?!” antara senang dan berdebar Berlan membuka pintu, namun kakinya seperti menancap di lantai saat dia melihat apa yang ada di hadapannya.

Di sana seorang perempuan tegeletak diantara surat-surat yang berserakan.

“Welestisya?!” bergetar dia menyebut nama itu.

“Tuhan, tolong jangan Kau ambil dulu nyawa kekasih hati Tuanku.” Lirih merpati itu mengucap doanya.

Seperti tersadar Berlan melangkah mendekati Welestisya. Mengikatnya dengan tali-tali dan membawanya pergi.

***

“Cinta saja memang tak mudah menyatukan dua perbedaan. Tapi sejauh apapun jarak tak bisa menghilangkan rasa cinta.”

“Terima kasih Berlan, untuk kekuatan cintamu yang telah berhasil membawaku pada ruas jalanmu.”

Hari itu, setelah akad diikrarkan, seluruh rakyat Negeri Tanah Damai berbahagia karena pada akhirnya raja mereka menemukan ratunya meski di usia senjanya.

Derap kuda menarik kereta menyusuri jalan-jalan Negeri Tanah Idaman. Sepanjang jalan semua orang melambaikan tangan kepada Akasia Berlandieri dan Welestisya yang duduk berdampingan di dalam kereta yang atapnya terbuka.

“Kau menangis, Sayang?”

“Rasanya aku seperti terlahir kembali.”

“Aku mencintaimu, sangat.”

“Dan kalau ada rasa yang tak pernah cukup bagiku, itu adalah rasa syukurku pada Tuhan, yang telah mengijinkan kita berjalan pada ruas jalan yang sama.”

Maka hari-hari mereka adalah berkeliling negeri, bertemu dan menyapa rakyatnya.

Sementara hari-hari Negeri Kota Impian disibukkan oleh penggalian-penggalian untuk menemukan kembali aroma tanah mereka yang telah lama hilang.

Gadingkirana,22611


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...