Senin, 19 Desember 2011

Mencari Nay


Bismillahirrahmanirrahim

Ini pengalamanku setelah "mengunyah" Mencari Nay! Kenapa aku bilang ‘mengunyah’? karena saat membaca Mencari Nay, itu bagiku kayak makan keripik kentang kesukaanku, gurih dan gak mungkin didiemin di mulut. Jadi harus terus dikunyah. Kalo dah habis tangan akan reflek ngambil lagi, memasukkan ke mulut dan dikunyah lagi. Renyah dan cepet. Tahu-tahu dah habis deh sebungkus. Hehehe
Nah, begitu juga pas baca buku hijau ini. Saat aku cicipi diawalnya, sama kayak pertama kali dulu waktu makan keripik kentang, agak ada yang gimanaa gitu di lidah. Tapi pas udah beberapakali kunyahan, aku mulai mengunyah dengan cepat dan ngambil lagi. Mulai  menikmati setiap halaman, balik lagi, dibalik lagi daaaaan…hingga selesai jam 2 pagi. hihihi…enggak ngantuk lho, padahal waktu aku mo baca tuh, aku habis ngetik, capek dan maunya tidur. Awalnya aku niat baca dulu satu bab saja. Eh…ternyata…kayak dimantra-mantrai aku, lanjut terus hingga ending.
Satu hal yang langsung aku iyakan saat membaca novel ini, bisakah orang jatuh cinta sama tulisan? Ya, bisa! Jawabku cepet. Yaelah kayak pengalaman aja ? Emang! Tulisan/kata-kata itu kekuatannya dasyat banget lho, bisa mencairkan sebongkah es, dan meringankan batu hingga seringan kapas. Nggak percaya? Ya, bagi yang gak ngalamin mungkin gak percaya. Jadi kalau mungkin ada yang bilang, ah, Novel Mencari Nay, mengada-ada deh, masa sih orang sekeren dan sekelas Yudhits bisa jatuh cinta sama Nay hanya gara-gara membaca tulisannya?
Eh, eh, aku akan bilang gak mengada-ada kok, bahkan kadang kenyataan itu lebih gila daripada sebuah fiksi lho? Sumanto misalnya makan daging manusia, pasti klo cerita itu fiksi sebelum ada kejadian Sumanto, orang-orang akan bilang “gak mungkiiiin” *lho kok jadi ke Sumanto. Lah, iya…inilah pengalamanku saat baca Nay.
Nah balik lagi ke Nay. Jadi awalnya Yudhits itu hanya iseng keluar masuk blog yang nge-link kemana-mana. Nggak tahunya dia malah kerasan mantengin tulisannya Nay. Dan dia bahkan terasa belum lengkap harinya kalau belum baca tulisan Nay. Ini gue banget! Aku dulu juga iseng lho—gak sengaja malahan-- awalnya membaca tulisan seseorang, yang cuma beberapa kalimat saja, eh tak tahunya aku suka banget dengan tulisan-tulisannya, hingga sudah kulahab habis tuh ratusan tulisannya.hehehe
Kalau si Yudhits dampaknya dari membaca tulisan Nay jadi nekad dari Tunis datang ke Indonesia demi si Nay. Sedangkan dampak yang aku alami, hohoho, tentu saja nggak sampai segitunya ngejar dia (yee aku kan masih waras!) aku sih mikirnya, mungkin dia tak benar-benar ada. Tapi yang jelas aku jadi banyak inspirasi dan bisa menyukai sesuatu yang tidak aku sukai.
Ada lagi nih yang seru, sehabis baca mencari Nay, aku tiba-tiba pengen denger lagu-lagu dangdut deh, lah iya gara-gara si Joan (sepupu Yudhits) yang banyak ceweknya itu cinta banget sama dangdut. Sedikit-sedikit kalau ngobrol sama Yudhits nyanyi dangdut mulai dari Meggy Z hingga Rhoma Irama, beda banget sama si Nay yang sukanya Frank Sinatra. Hem, hem…
Dan… selebihnya, aku suka semua halaman dalam novel ini. kalau mungkin dulu –saat baca naskah mentahnya--aku pernah bilang, ini kayaknya keluar dari Qonita Musa deh, tapi pas baca setelah lahir jadi novel, aku harus meralat ucapanku, kalau  ini tetep Qonita Musa kok. Menulis dengan cerdas , dengan menyelipkan istilah-istilah psikologi yang mungkin bagi Qonita sudah yang paling ringan, tapi bagi aku tetap saja mengernyit-ngenyitkan dahi, dan ini bikin seru.
Dan serunya lagi dengan halus Qonita menyelipkan banyak hal tentang bagaimana kita memaknai hidup. Layaknya seorang ibu yang memasukkan berbagai macam cincangan sayuran ke dalam telur dadar. Anak gak ngerasa makan sayur tapi gizinya tetap masuk. *Kaaan?
Aku juga tersenyum-senyum di bagian-bagian tertentu yang kadang muncul ‘Santhi-nya’ banget.
Hem, hem, apalagi ya? Ya-a aku bahkan dengan pe-denya berkata dalam hati “endingnya bakal ketebak, nih, pasti klise!” sambil senyum-senyum. Dan ternyata? Hingga lembaran terakhir Qonita Musa tetap mengaduk-ngaduk perasaanku. Kalau kata aku sih, hingga kunyahan terakhir tetap sedep, dan…mau lagi…bahkan remah-remahnya pun kupunguti.
Eit, tunggu! Jangan tanya kelebihan dan kekurangan novel ini, tulisanku adalah pengalamanku saat membaca,jadi ini bukan resensi…hihihihihihihihihihi..*dengan tawa yang panjang…*
Eh iya,ini komentar ibuku (48th) saat baca Mencari Nay,
“Sampul-e apik-men. Ayuu, ganteng. Tapi isine aku radha ora mudeng. Piye tha iki? Aku nganti tak bolan-baleni macane.” Dan aku gak tahu apa ibuku menyelesaikan membaca apa enggak. Ya, ya, bagi seorang yang kesehariannya akrab dengan ladang dan pasar tentu saja novel yang dibilang ringan ini tetep berat, seperti sekarung singkong.
Gadingkirana 031-11210

1 komentar:

  1. akhirnya bisa nulis tentang ini juga. Makasiih ya, mbak. yiihaa :)

    http://pondokhati.wordpress.com/2011/12/21/mencari-nay-dari-maya-mengejar-nyata/

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...