Minggu, 20 Mei 2012

Behind the Scene PING! A Message from Borneo

Versi Riawani Elyta :
Ide awal novel ini sesungguhnya adalah dari mbak Brien (Shabrina WS), yaitu tentang isu penyelamatan hewan langka dalam hal ini orang utan di Kalimantan, yang mengalami pemusnahan massal berikut hutan habitatnya akibat pembukaan lahan sawit. Waktu itu saya langsung setuju, meski belum dapet gambaran jelas seperti apa kelak novel yang bakal kita susun. Karena bagi saya, yang namanya misi dan niat mulia harus didukung. Dan saya percaya bahwa kekuatan misi adalah salah satu obor motivasi yang paling potensial (ngutip isi note Ayo Bakar :)).
Selanjutnya, tugas mbak Brien yang ngumpulin referensi di dumay. Jujur, di tahap persiapan ini, saya hanya nungguin tag link referensi dari mbak Brien, berhubung saya nggak tahan lama-lama nongkrongin lepti, juga masih sangat awam dengan isu dan tema semacam ini. Setelah referensi dirasa cukup, barulah saya mulai membaca, mempelajari, mereka-reka interkoneksi antar referensi dengan ide mbak Brien juga ide yang mulai berkembang dalam pemikiran saya sendiri. Saya ingat, beberapa tahun lalu pernah punya kenalan seorang mahasiswa asing peneliti budaya yang datang ke kota saya. Orangnya cakep, tinggi dan putih (info gak penting ini boleh diabaikan.red). Dari sini muncul ide bahwa novel ini nantinya juga akan berkisah tentang aktivitas peneliti selain kisah seputar hewan langka itu sendiri.
Lalu saya mulai menulis outline, termasuk sinopsis untuk masing-masing bab (baru kali ini saya mempersiapkan kerangka se’serius’ ini). Dalam hal ini kita berdua sepakat bahwa kita tetap akan menulis berdasarkan ‘pakem’ masing-masing. mbak Brien dengan genre fabelnya, dan saya bagian fiksinya. Waktu itu yang kepikiran oleh saya, bahwa harmonisasi kedua pakem ini masih amat jarang dilirik oleh penulis fiksi, disamping itu, isu yang diangkat juga cukup krusial. Outline lalu saya diskusikan dengan mbak Brien, untuk sinopsis bab yang jadi bagian mbak Brien saya serahkan kepada yang bersangkutan untuk diisi sendiri dengan tetap berpedoman pada outline utama.
Bagian penulisannya sendiri berselang-seling, jadi kalau mbak Brien nulis bab 1, saya yang bab 2, mbak Brien di bab 3, dst. Kita juga sepakat bahwa dalam proses nulisnya nanti, kita harus disiplin berpatokan pada sinopsis per bab, kalaupun ada yang pengen merubah, nggak boleh kejauhan ngerubahnya, dan harus cepet dikomunikasikan. Mengingat dalam prosesnya kita nggak saling nunggu, jadi mbak Brien dan saya langsung menulis bagian masing2 dengan menjadikan sinopsis per bab sebagai patokan alur cerita.
Pada awalnya progress kita memang rada lemot, karena kita nggak punya deadline khusus, dan hanya menulis kalo sempet. Sampai akhirnya saya ketemu pengumuman lomba bentang belia, lalu saya sms mbak Brien, dan ternyata dia juga tertarik. Dari situ kita sepakat untuk menginjak gas lebih kenceng karena deadlinenya hanya sebulan. Saya mulai nyari info, kalo untuk genre remaja itu, tokoh-tokohnya kira-kira umur berapa sih? Akhirnya ketemu comment bu kepsek di BAW, kalo tokoh remaja dalam novel itu kisaran umurnya 13 – 18 tahun.
Waks! Saya yang duluan kelabakan. Karena untuk bagian saya, udah saya rencanain penulisannya dengan pola tutur, sudut pandang juga karakter tokoh dewasa (kira-kira usia 20an -lah). Walhasil, naskah bagian saya yang waktu itu sudah berjalan kira-kira 6 halaman, langsung saya rombak, saya turunkan usia dan ke’dewasa’an tokoh2nya juga merubah pola diksinya. Saya singkirkan novel2 metropop yang sebelumnya jadi acuan, sebagai gantinya, saya mulai baca2 teenlit made in GPU dan memosisikan diri sebagai pembaca remaja lagi.
Saat saya emailkan ke mbak Brien perubahan ini, mbak Brien cukup kaget, karena baginya terasa sedikit drastis, dan mengaku lebih suka versi awalnya. Tapi, mau bagaimana lagi, karena ini udah diniatin untuk lomba, mau nggak mau saya harus berusaha keras untuk nyesuain dengan segmen lomba.
Kita lalu sepakat bahwa bagian kita masing2 harus sudah selesai 2 minggu sebelum deadline lomba. Alhamdulillah, deadline versi kita ini dapat terpenuhi. Selanjutnya, kita saling tukeran naskah via email, saya baca, koreksi n kasih masukan ke naskah mbak Brien, begitu juga sebaliknya. Jujur, waktu ngoreksi naskah mbak Brien, saya modal nekad aja, berhubung selama ini saya kurang mengakrabi bacaan bergenre fabel sementara yang saya hadapi seorang penulis yang memang spesialisasinya di genre ini. (to mbak Brien, saat baca ulang naskahmu, saya langsung ngerasa minder dengan kepiawaianmu mendeskripsikan kehidupan hewan dan alam dengan begitu apik dan detail).
Naskah yang udah dikoreksi lalu kita satuin sesuai sinopsis bab yang udah disusun sejak awal. Disini juga kita berusaha untuk hati-hati, karena menemukan titik sambung cerita antar bab bukan hal mudah. Walau tetap berpijak pada pakem masing-masing, perpindahan antar bab tetap harus bisa melebur secara harmonis dan terasa smooth, juga tidak terjadi acara lompat-lompatan.
Kira-kira empat hari jelang deadline, naskah rampung, dan meluncur ke email panitia. Kita sama-sama berdoa, mohon keridhoan Allah untuk perjalanan naskah ini. Andai gagal, kita sepakat untuk kelak mengirimkan ke penerbit lain yang sudi nerima. Dan kalau lolos, kita juga udah sepakat, suatu hari nanti insya Allah akan bikin sekuelnya dalam versi dewasa, mengingat masih banyak misi dan pesan yang belum tersampaikan secara utuh di novel ini secara segmen pembacanya adalah remaja.
Jelang pengumuman, koq ya rasanya tanggal 13 itu lamaa banget. Tiap hari saya terus berdoa, ya berdoa supaya lolos, juga berharap mental tetep kuat kalau gagal, hehe. Dan ketika mbak Brien sms saya tentang hasilnya, wah, jangan ditanya deh! Beneran mewek. Terharu. Nggak nyangka. Bener2 diluar ekspektasi kalau akhirnya jadi pemenang 1. (terima kasih sekali lagi buat dukungan dan suntikan semangat dari teman2 semua….saling take n give bersama kalian membuat motivasi saya jadi susah padamnya, hehe).
Sekarang alhamdulillah novel ini sudah terbit dan bisa didapat di toko buku. Novel ini juga adalah representasi mimpi dan misi kami berdua, jujur, saya yang sebelumnya nggak familiar dengan isu perlindungan satwa langka ini, saat menyimak satu demi satu link info dari mbak Brien, ada rasa miris, terbakar, juga sedih, melihat hewan-hewan yang harus direnggut paksa dari habitatnya, yang dimusnahkan secara sadis, yang dimanfaatkan oleh oknum negeri ini untuk kepentingan pribadi, dan lebih mirisnya lagi, justru mereka dari luar negerilah yang lebih peduli dan berkontribusi lebih banyak terhadap penyelamatan hewan langka di negeri kita.
Selain misi utama ini, novel bersetting Kalimantan ini juga menggambarkan passion tokoh utamanya untuk bergiat menjadi penulis (semoga pesan ini juga bisa ngomporin pembaca yang seneng nulis) dan memperjuangkan misi penyelamatan tsb lewat tulisan, serta keteguhannya untuk ‘say NO to pacaran’ (kembali, konsep islami coba saya selipin sehalus yang saya mampu, berharap juga dapat diterima oleh pembaca khususnya kaum remaja).
Satu quote mbak Brien yang paling saya suka dari novel ini, “Kita memang tidak tinggal di masa lalu, tapi ada harta terindah yang kita bawa dari sana, yang bisa kita ceritakan berulang-ulang di sepanjang ruas jalan kita.”
Thank you mbak Brien, for this collaboration. Semoga misi novel ini mampu mengetuk nurani dan rasa peduli anak bangsa ini, terhadap harta terindah kita di hutan Borneo yang kian tergerus oleh kebiadaban dan kepentingan duniawi. Juga menggali harta terindah yang kita miliki, yaitu anugerah potensi dan kekuatan diri untuk kemudian mendedikasikannya pada visi dan misi kebaikan.
Versi Shabrina Ws:
Jadi begitulah ceritanya. Sebagian besar perjalanan kami, sudah diceritain oleh mbak Ria.
Jadi, begini. Saat ada berita pembataian orang utan, saya selalu nangis membayangkan mereka. Saya berpikir harus melakukan sesuatu. Tapi apa?
Pertama yang saya lakukan adalah mengikuti petisi save orangutan yang diadakan oleh pak Yudistira.  Lalu, tiba-tiba, saya berpikir untuk memperpanjang cerpen saya menjadi novel. Saya lalu nekad (plus minder  lho)  nawarin  novelis sekaliber mbak Riawani Elita untuk duet. Setelah setuju, lalu kita sepakat dalam menulis sesuai gaya kita masing-masing.
Dengan semangat 45 bahkan tak jarang begadang sampai pagi, saya mencari referensi. Tentu saja yang paling utama adalah orang utan dan habitatnya. Lalu mencari info untuk setting, peta perjalanan ke Kalimantan, mencari jadwal penerbangan, mencari hotel plus tarifnya,  view eksotis, juga tempat-tempat wisata. Pokoknya saya gak mau settingnya hanya seperti tempelan. Saya bahkan ngumpulin peta-peta, rute, dan suasana perjalanan. Maka,  berhari-hari saya serasa di Kaltim deh.
Karena saya menulis dari sudut pandang orang utan, saya merasa seperti main film (halah padahal blom pernah main film). Kalau mbak Ria turun usia dari 20 tahun ke atas jadi remaja, maka saya harus jadi orangutan. Saya cari hampir 50 gambar orang utan dalam berbagai pose. Saya pelototin mereka setiap hari. Saya bayangkan bagaimana rasanya menjadi mereka dan bagaimana penderitaannya. Buku tipis untuk anak tentang orangutan selalu saya bawa kemana-mana. Saya juga kembali ingat saat datang ke bonbin Surabaya, menemui orang utan, menatapnya…melihat gerak-geriknya.
Inilah tulisan yang dalam penggarapannya saya paling serius dan semangat mencari referensi. Karena kami membawa misi di sini. Isu penting, bukan hanya untuk Indonesia tapi juga dunia. Seperti yang pernah saya baca, bahwa orang utan adalah ikon solusi pemanasan global. Ketika lapisan es di kutup mencair, dan di sana beruang kutub menderita dan sengsara, maka di sini, di tanah kita, Borneo, orang utan dengan sifat-sifatnya yang bisa memperbaiki  hutan, adalah solusinya.
Dan, setelah naskah kami satukan (yang ternyata nggak mudah meleburkan dua genre berbeda), dibaca, saling koreksi, diendapin, dibaca, saling koreksi, diendapi. Serasa bermain puzzle berdua. Setelah merasa utuh, bismillah, kita kirim.
Deg-degan. Optimis iya, lalu pesimis juga iya. Namun terus berdoa. Toh kami sudah berusaha, jadi pasrah saja sama Alloh. Dan, ketika saya membaca bahwa kriteria penilaian adalah ide yang menarik. Saya kembali optimis. Novel ini mengangkat isu penting yang sedang menghangat. Disampaikan dengan cara yang tak biasa, yaitu memadukan fiksi remaja dengan fabel, namun  berusaha memenuhi seperti syarat Bentang, yaitu ringan. Tapi karena penulisan seperti itu masih jarang saya kembali deg-degan. Saya berdoa, juara berapapun yang penting naskah kami lolos, bisa terbit, bisa dibaca banyak orang, bisa tersampaikan misinya. Ternyata, Alloh memberikan lebih. MasyaAlloh, Subhanalloh, Alhamdulillah, Allohuakbar.
Terima kasih banyak Mbak Riawani Elyta untuk kerjasamanya yang baik dan luar biasa, serta semua koreksi-koreksi, kritik dan sarannya. Terutama ketika tulisan saya mulai melenceng dari garis “hewan” dan muncul sisi kemanusiaannya (hehehe). Saya belajar banyak darimu, Mbak. Pelajaran yang tak bisa dinilai dengan rupiah. Terima kasih banyak teman-teman, atas dukungan doa dan sambutannya. Mohon doanya semoga novel ini bisa melahirkan kebaikan yang berlipat. Aamiin.
Tips nulis novel duet :
(Nggak harus jadi patokan sih, ini berdasarkan pengalaman kami aja selama menulis novel ini)
  1. Persiapan lebih matang
Kalo nulis solo, terserah mau pake outline ape kagak, dengan sinopsis or langsung blass nulis, di novel duet kudu disiapin terlebih dulu sinopsis, outline dan sinopsis cerita per bab. Kenapa? Karena disini ada 2 pemikiran, 2 ego, 2 opini dan 2 cara mengkhayal yang harus saling bekerjasama. Untuk itu keduanya harus dikoordinir oleh aturan dasar, yaitu sinopsis dan outline yang memuat gambaran seluruh isi cerita. Ini juga akan lebih menghemat waktu dan memudahkan dalam prosesnya, karena masing2 penulis nggak perlu saling tunggu dan bisa memulai sesuai bagian masing2.
2. Kenali karakter masing-masing
Jika memiliki gaya penulisan yang mirip, nggak ada salahnya untuk nulis novel dengan Pov 3, dimana kedua penulis tinggal membagi tugas antar bab dan bebas untuk menulis karakter tokoh yang mana saja. Tapi kalo beda jauh, sebaiknya menggunakan Pov 1, dimana satu penulis hanya ‘megang’ satu karakter dan tetap konsisten sampe finish. Sebagai referensi bisa membaca novel DJ &JD karya Primadonna Angela dan Syafrina Siregar terbitan GPU, or tentu aja novel ini kalo udah terbit, hehe
3. Disiplin
Kedua penulis harus disiplin mematuhi sinopsis per bab yang udah disusun, kalo mau merubah, jangan sampe terlalu jauh dan tetap terus berkoordinasi. Ibarat orang lari estafet, jika salah satu pelari bergeser dikit aja dari posisi, maka tongkat estafet bisa jatuh atau meleset, dan butuh waktu tambahan untuk memungut dan menyerahkan tongkat kembali, juga hal ini bisa memengaruhi tingkat konsentrasi dan efisiensi waktu
4. Koreksi bersama
Setelah bagian masing2 selesai, tibalah saatnya untuk mengoreksi bersama. Dalam hal ini masing2 nggak boleh egois dan harus siap mendiskusikan masukan dari partnernya. Beri perhatian yang lebih pada titik pertemuan antar bab agar tidak terjadi lompatan or kesenjangan yang terasa mengganggu.
Demikian cuap-cuap kami berdua, semoga bermanfaat. Mohon doa teman-teman semoga ‘PING: A Message from Borneo’ bisa tersampaikan dan menggugah hati para pembacanya kelak. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...