Felis
punya rahasia! Dan hari ini dia tak mau lagi menyimpan rahasia itu.
“Hari ini ulangan IPA kan, Fel?”
Tiba-tiba Efna sudah berada di sampingnya. Felis menghentikan langkahnya dan
menatap Efna dengan ragu.
“Kenapa kau melihatku begitu, Fel?
Kau tidak menjawab pertanyaanku?”
Ya
Tuhan, inikah saatnya? Batin Felis ragu. Berhari-hari dia memikirkan hal ini
dan tadi malam dia telah memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
“Ikut aku, Ef.” Felis menarik tangan
Efna.
“E..ee..eh…ke mana sih?” tanya Efna,
yang mau tidak mau harus mengikuti langkah Felis yang menarik tangannya. Mereka
menyusuri lorong kelas, belok kanan melewati kamar mandi, lalu belok kiri.
“Ngapain kita ke gudang ini?” Efna
semakin heran ketika Felis mengajaknya masuk ke dalam gudang.
“Efna,” Felis menarik nafas panjang,
lalu menghembuskan pelan. “Kita harus mengakhiri semunya.” Kata Felis setengah
berbisik
“Mengakhiri semuanya? Maksud kamu
apa?!” Efna berkata juga dengan berbisik sambil menatap mata Felis.
“Aku sudah tidak kuat lagi menyimpan
rahasia kita. Aku capek, Ef.”
“Eeeh? Maksudmu? Kau akan membuka
rahasia kita? Kau tahu kan apa akibatnya?” Efna memegang tangan Felis dengan
kuat.
“Ya,” Felis mengangguk, “Aku tahu.
Dan aku siap menanggung akibatnya,” jawab Felis.
“Hei, kamu serius?”
“Aku serius, Ef.”
“Tapi, Fel, kenapa kamu tiba-tiba
begini? Heii..kau tidak takut?”
“Tidak, Ef.” Felis menggeleng.
“kemarin-kemarin aku memang takut. Kau membenciku, kau menjauhiku. Tapi
berhari-hari aku sudah memikirkan hal ini. Kita sudah kelas lima, sebentar lagi
kelas enam. Aku ingin lulus dengan nilai yang baik dan diterima di SMP yang
kuinginkan.”
Tiba-tiba bel masuk berbunyi.
“Sudah masuk. Yuk!” Kata Felis
sambil melangkah ke luar gudang.
“Fel, tunggu, Fel!” Efna menarik
tangan Felis. “Fel, tapi jangan hari ini ya? Besok saja. Hari ini aku tidak
siap.”
“Maaf, Ef. Semua harus diakhiri
mulai hari ini.”
“Fel, tolonglah aku, sekali ini
saja, pliiss..ya?!” kata Efna memohon.
“Ef. Selama ini aku selalu takut
sama kamu. Kamu selalu mengancamku tidak akan menjadikan aku teman jika aku tak
memberimu contekan. Dan aku selalu nurut sama kamu. Kamu juga selalu
marah-marah sama aku jika nilaiku lebih tinggi dari kamu. Dan kamu tahu, Ef? Aku
kadang sengaja menjawab salah, padahal aku tahu jawabannya. Itu kulakukan agar
kamu tidak membenciku.”
Felis menatap Efna.
“Tapi, sebentar lagi kita naik ke
kelas enam Ef. Aku punya cita-cita, aku ingin masuk SMP favoritku. Aku harus
lulus dengan nilai yang bagus agar diterima di sana.”
“Tapi, Fel. Itu kan masih lama,
masih satu tahun lagi.”
“Tidak, Ef, selama ini aku belajar
setiap malam tapi nilai raportku selalu di bawahmu. Padahal kamu selalu nyontek
aku. Ulangan kamu nyontek aku, PR kamu nyontek aku. Aku nggak mau lagi!" tegas
Felis
“Kamu tidak takut aku membuka
rahasimu Fel?”
“Tidak.” Felis menggeleng.
“Kaum tidak takut kalau aku
mengatakan kepada semua anak-anak kelas lima kalau ibumu hanyalah pembantu dan
tukang masak di rumahku? Bukankah itu sangat memalukan?” tanya Efna lagi.
“Ya, kemarin-kemarin aku memang takut dan malu.
Tapi kupikir-pikir kenapa aku harus malu. Ibuku bekerja di rumahmu dari pagi
sampai sore kan demi aku dan kakakku. Dan aku tak perlu malu karena pekerjaan
ibu baik dan halal. Aku yakin teman-teman tidak akan membenciku dan menjauhiku
hanya karena aku anak seorang pembantu di rumahmu.”
“Fel?” Efna memandang Felis tidak
percaya. Biasanya Felis selalu menurut dengan Efna dan tidak menolak kalau
dimintai contekan PR ataupun ulangan.
“Ayo, bel sudah berbunyi dari tadi.”
Felis mulai melangkah.
“Tunggu, Fel!”
“Apa lagi?” kini mereka berhenti di
depan kamar mandi.
“Tolonglah aku, untuk hari ini saja.
Ulangan IPA, aku nyontek kamu ya? Semalam aku tidak belajar. Mama pasti akan
marah-marah sama aku kalau nilaiku jelek. Aku bisa dihukum sama mama dan gak
dikasih uang saku.”
“Tidak, Ef. Mulai hari ini, kamu
harus mengerjakan sendiri soal-soal ulanganmu. Aku yakin, kalau kamu belajar
dengan rajin kamu pun bisa mengerjakan. Aku juga bukan anak terpandai di kelas.
Tapi kakakku selalu menyemangatiku untuk terus belajar.”
“Fel…aku takut.” Mata Efna
berkaca-kaca. “apa kamu juga akan melaporkan ke guru-guru kalau selama ini aku
nyontek kamu?”
“Tidak, Ef. Tapi kamu jangan mengulanginya
lagi.” Kata Felis. Lalu dia berlari masuk kelas. Efna mengikuti dari belakang
dengan langkah gemetaran.
Sesampainya di kelas. Bu Haya sudah
menulis soal ulangan di papan tulis. Felis mengerjakan dengan tenang. Kali ini
dia tak perlu lagi takut mengerjakan soal-soal itu. dia tak perlu menulis
jawaban yang salah untuk dirinya dan memberitahu jawaban yang benar untuk Efna.
Sementara Efna mengerjakan dengan
tangan gemetar dan keringat membasahi tubuhnya. Dari sepuluh soal, hanya satu
soal yang bisa dia kerjakan. Berkali-kali dia melirik Felis, menyenggol
sikutnya Felis bahkan menginjak sepatu Felis. Tapi Felis membalas dengan
gelengan kepala.
Dan saat hasil ulangan dibagikan,
“Efna? Kau kenapa? Sakit? Tak biasanya kau mendapat nilai seperti ini?” tanya
bu Haya sambil memberikan buku Efna. Mata Efna berkaca-kaca melihat angka satu
tertera di sana, bukan juara satu tapi nilainya hanya dapat satu.
“Maaf, Bu. Saya...mmm…”
“Oh, wajahmu pucat sekali. Sebaiknya
kau ke UKS setelah ini ya?”
Felis memandang nilai sepuluh di bukunya.
Ini sangat membahagiakan, tapi dia juga
kasihan melihat Efna. Sesungguhnya dia tidak tega melakukan hal ini. Tapi
bagaimanapun juga dia harus melakukannya. Sejak kelas tiga Felis sebangku
dengan Efna dan Efna selalu mencontek.
Kini, Felis lega, tidak ada lagi rahasia yang harus dia simpan. Dan yang
lebih membuatnya lega adalah, ketika dia berani berkata “Tidak” ketika Efna
minta contekan.
“Kita masih bisa belajar bersama,
Efna. Aku yakin kalau kau belajar dengan rajin kamu pasti bisa,” bisik Felis
pada Efna yang terduduk lemas di bangkunya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar