Minggu, 17 Juni 2012

Katakan, “Tidak!” (Dimuat di Lampung Post)


Felis punya rahasia! Dan hari ini dia tak mau lagi menyimpan rahasia itu.
            “Hari ini ulangan IPA kan, Fel?” Tiba-tiba Efna sudah berada di sampingnya. Felis menghentikan langkahnya dan menatap Efna dengan ragu.
            “Kenapa kau melihatku begitu, Fel? Kau tidak menjawab pertanyaanku?”
Ya Tuhan, inikah saatnya? Batin Felis ragu. Berhari-hari dia memikirkan hal ini dan tadi malam dia telah memutuskan untuk mengakhiri semuanya.
            “Ikut aku, Ef.” Felis menarik tangan Efna.
         “E..ee..eh…ke mana sih?” tanya Efna, yang mau tidak mau harus mengikuti langkah Felis yang menarik tangannya. Mereka menyusuri lorong kelas, belok kanan melewati kamar mandi, lalu belok kiri.
            “Ngapain kita ke gudang ini?” Efna semakin heran ketika Felis mengajaknya masuk ke dalam gudang.
            “Efna,” Felis menarik nafas panjang, lalu menghembuskan pelan. “Kita harus mengakhiri semunya.” Kata Felis setengah berbisik
            “Mengakhiri semuanya? Maksud kamu apa?!” Efna berkata juga dengan berbisik sambil menatap mata Felis.
            “Aku sudah tidak kuat lagi menyimpan rahasia kita. Aku capek, Ef.”
            “Eeeh? Maksudmu? Kau akan membuka rahasia kita? Kau tahu kan apa akibatnya?” Efna memegang tangan Felis dengan kuat.
            “Ya,” Felis mengangguk, “Aku tahu. Dan aku siap menanggung akibatnya,” jawab Felis.
            “Hei, kamu serius?”
            “Aku serius, Ef.”
            “Tapi, Fel, kenapa kamu tiba-tiba begini? Heii..kau tidak takut?”

            “Tidak, Ef.” Felis menggeleng. “kemarin-kemarin aku memang takut. Kau membenciku, kau menjauhiku. Tapi berhari-hari aku sudah memikirkan hal ini. Kita sudah kelas lima, sebentar lagi kelas enam. Aku ingin lulus dengan nilai yang baik dan diterima di SMP yang kuinginkan.”
            Tiba-tiba bel masuk berbunyi.
            “Sudah masuk. Yuk!” Kata Felis sambil melangkah ke luar gudang.
            “Fel, tunggu, Fel!” Efna menarik tangan Felis. “Fel, tapi jangan hari ini ya? Besok saja. Hari ini aku tidak siap.”
            “Maaf, Ef. Semua harus diakhiri mulai hari ini.”
            “Fel, tolonglah aku, sekali ini saja, pliiss..ya?!” kata Efna memohon.
            “Ef. Selama ini aku selalu takut sama kamu. Kamu selalu mengancamku tidak akan menjadikan aku teman jika aku tak memberimu contekan. Dan aku selalu nurut sama kamu. Kamu juga selalu marah-marah sama aku jika nilaiku lebih tinggi dari kamu. Dan kamu tahu, Ef? Aku kadang sengaja menjawab salah, padahal aku tahu jawabannya. Itu kulakukan agar kamu tidak membenciku.”
            Felis menatap Efna.
            “Tapi, sebentar lagi kita naik ke kelas enam Ef. Aku punya cita-cita, aku ingin masuk SMP favoritku. Aku harus lulus dengan nilai yang bagus agar diterima di sana.”
            “Tapi, Fel. Itu kan masih lama, masih satu tahun lagi.”
            “Tidak, Ef, selama ini aku belajar setiap malam tapi nilai raportku selalu di bawahmu. Padahal kamu selalu nyontek aku. Ulangan kamu nyontek aku, PR kamu nyontek aku. Aku nggak mau lagi!" tegas Felis
            “Kamu tidak takut aku membuka rahasimu Fel?”
            “Tidak.” Felis menggeleng.
            “Kaum tidak takut kalau aku mengatakan kepada semua anak-anak kelas lima kalau ibumu hanyalah pembantu dan tukang masak di rumahku? Bukankah itu sangat memalukan?” tanya Efna lagi.
            “Ya,  kemarin-kemarin aku memang takut dan malu. Tapi kupikir-pikir kenapa aku harus malu. Ibuku bekerja di rumahmu dari pagi sampai sore kan demi aku dan kakakku. Dan aku tak perlu malu karena pekerjaan ibu baik dan halal. Aku yakin teman-teman tidak akan membenciku dan menjauhiku hanya karena aku anak seorang pembantu di rumahmu.”
            “Fel?” Efna memandang Felis tidak percaya. Biasanya Felis selalu menurut dengan Efna dan tidak menolak kalau dimintai contekan PR ataupun ulangan.
            “Ayo, bel sudah berbunyi dari tadi.” Felis mulai melangkah.
            “Tunggu, Fel!”
            “Apa lagi?” kini mereka berhenti di depan kamar mandi.
            “Tolonglah aku, untuk hari ini saja. Ulangan IPA, aku nyontek kamu ya? Semalam aku tidak belajar. Mama pasti akan marah-marah sama aku kalau nilaiku jelek. Aku bisa dihukum sama mama dan gak dikasih uang saku.”
            “Tidak, Ef. Mulai hari ini, kamu harus mengerjakan sendiri soal-soal ulanganmu. Aku yakin, kalau kamu belajar dengan rajin kamu pun bisa mengerjakan. Aku juga bukan anak terpandai di kelas. Tapi kakakku selalu menyemangatiku untuk terus belajar.”
            “Fel…aku takut.” Mata Efna berkaca-kaca. “apa kamu juga akan melaporkan ke guru-guru kalau selama ini aku nyontek kamu?”
            “Tidak, Ef. Tapi kamu jangan mengulanginya lagi.” Kata Felis. Lalu dia berlari masuk kelas. Efna mengikuti dari belakang dengan langkah gemetaran.
            Sesampainya di kelas. Bu Haya sudah menulis soal ulangan di papan tulis. Felis mengerjakan dengan tenang. Kali ini dia tak perlu lagi takut mengerjakan soal-soal itu. dia tak perlu menulis jawaban yang salah untuk dirinya dan memberitahu jawaban yang benar untuk Efna.
            Sementara Efna mengerjakan dengan tangan gemetar dan keringat membasahi tubuhnya. Dari sepuluh soal, hanya satu soal yang bisa dia kerjakan. Berkali-kali dia melirik Felis, menyenggol sikutnya Felis bahkan menginjak sepatu Felis. Tapi Felis membalas dengan gelengan kepala.
            Dan saat hasil ulangan dibagikan, “Efna? Kau kenapa? Sakit? Tak biasanya kau mendapat nilai seperti ini?” tanya bu Haya sambil memberikan buku Efna. Mata Efna berkaca-kaca melihat angka satu tertera di sana, bukan juara satu tapi nilainya hanya dapat satu.
            “Maaf, Bu. Saya...mmm…”
            “Oh, wajahmu pucat sekali. Sebaiknya kau ke UKS setelah ini ya?”
            Felis memandang nilai sepuluh di bukunya. Ini sangat membahagiakan, tapi dia juga  kasihan melihat Efna. Sesungguhnya dia tidak tega melakukan hal ini. Tapi bagaimanapun juga dia harus melakukannya. Sejak kelas tiga Felis sebangku dengan Efna dan Efna selalu mencontek.  Kini, Felis lega, tidak ada lagi rahasia yang harus dia simpan. Dan yang lebih membuatnya lega adalah, ketika dia berani berkata “Tidak” ketika Efna minta contekan.
            “Kita masih bisa belajar bersama, Efna. Aku yakin kalau kau belajar dengan rajin kamu pasti bisa,” bisik Felis pada Efna yang terduduk lemas di bangkunya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...