Kami
bertemu dengannya di suatu siang yang basah, di tepian Hutan Porong-Porong.
Hujan tak lagi deras, tapi sepertinya Brin belum juga mau beranjak dari tempat
kami berteduh.
“Aku
tidak mau basah. Jadi kurasa, kita harus
benar-benar menunggu hujan berhenti.”
Aku
mengangguk. Kadang Brin memang aneh. Apalagi setelah beberapa waktu lalu dia
membuat cerpen tentang hujan. Aku semakin tidak mengerti jalan pikirannya.
“Mencintai
hujan bukan berarti harus basah-basahan kan?” aku memandangnya. Dia bicara
tanpa melihatku. Entahlah mungkin sintingnya sedang kumat.
“Hei…sedang
apa kalian?” sebuah suara membuat kami menoleh bersamaan.
“Menurutmu,
dia manusia apa bukan?” Brin berbisik.
“Tapi
sepertinya dia memang manusia. Lihatlah, kakinya menyentuh tanah.” Brin,
seperti biasa, dia selalu menjawab pertanyaanya sebelum aku jawab.
“Hei,
kenapa kalian bengong? Ayo mampirlah ke rumahku.”
Brin
menatapku meminta persetujuan, dan belum sempat aku menjawab, dia sudah
berjalan mendahuluiku. Lalu beberapa saat kemudian kami sudah duduk dengan hangat di depan perapian.
“Saya
sedang melihat-lihat keadaan Hutan Porong-Porong untuk memperkuat setting novel
saya.”
“Kau
suka menulis rupanya,” Wanita itu menuang teh, “ini minumlah biar hangat…” lalu
memberikan pada Brin.
“Oh
ya, namaku Qonita. Namamu?” tanya nenek itu sambil menuang teh ke cangkir ke
dua.
“Saya
Brin.”
“Ini
untukmu…” Qonita menaruh secangkir teh di hadapanku.
“Teman
saya ini namanya Tower. Pus Tower.” Itulah Brin. Aku selalu tidak diberi
kesempatan untuk menjawab pertanyaan. Dia...kadang menyebalkan.
Lalu
entah darimana awalnya Qonita dan Brin telah berbicara panjang, seperti sahabat
yang sudah kenal lama. Bahkan seakan mereka menganggap aku tidak ada.
“Yaa,
begitulah Brin. Hari-hariku selalu kuhabiskan dengan menulis surat,” lalu
Qonita terkekeh.
“Surat,
untuk siapa, Nek?”
“Untukku
Brin.”
“Untuk
nenek?”
“Ya.
Surat-surat yang kutulis untukku. Surat yang kutulis penuh cinta. Siapa yang
akan lebih mencintai diri kita selain kita Brin? Haha?! Apa kau percaya bahwa
di dunia ini ada orang yang benar-benar tulus mencintai kita?”
Dan
pertemuan siang itu merupakan awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Brin
selalu datang seminggu sekali ke tepi hutan porong-porong. Bahkan setelah dia
menyelesaikan novelnya tentang Rex dan Dutch.
Aku
juga heran ketika pembicaraan Brin akhir-akhir ini selalu tentang Qonita
sahabatnya itu. Tidak seperti kemarin-kemarin, telingaku bahkan seperti
terbakar setiap kali dia berkata, “Rex dan Dutch adalah cerita yang membuatku
jatuh hati, Wer…” Huah!
“Nenek
Qonita itu sebatangkara, Wer. Dia tidak punya keluarga. Sejak dulu dia tinggal
di tepi Hutan Porong-Porong. Hidup dari menjual bunga-bunga yang dia tanam. Dan
membunuh kesepian dengan menulis surat-surat untuk dirinya. Kau mengerti?
Menulis surat-surat untuk dirinya sendiri. Kasihan bukan?”
“Apa
bedanya denganmu Brin, kau juga selalu tenggelam dengan fiksi-fiksi yang kau
ciptakan.” Tentu saja itu hanya kuucapkan dalam
hati.
“aku
berharap semoga penjualan novelku bagus dan semua berjalan sesuai rencanaku,” ucap
Brin. Lalu dia akan tersenyum-senyum sendiri di depan layar laptopnya.
“Bicara saja sendiri, Brin. Sampai puas!” Lalu
aku berbaring, melengkungkan tubuhku dan tidur layaknya kucing-kucing pada
umumnya.
***
Subuh
baru saja berlalu ketika kami membelah jalanan yang dingin menuju hutan
Porong-porong. Dan sepuluh meter sebelum rumah Qonita, Brin menghentikan
motornya.
“Wer,
kau bawa surat ini, serahkan ke nenek Qonita ya?!”
Aku mengerti maksud Brin. Setelah kugigit surat
hijau toska itu, aku membawanya dengan berlari. Dan sebentar saja aku sudah
sampai di halaman rumah Qonita. Kulihat dia sedang mengikat bunga-bunga.
“Tower?!”
Aku mendekat. “Apa yang kau bawa?” dia mengambil surat dari mulutku.
“Surat
untukku? Untuk sahabatku Qonita..” Qonita membaca tulisan di amplop.
“Ya
Tuhan, ini surat pertama yang kuterima dalam hidupku, Wer. Surat dengan warna
kesukaanku.” Lalu Qonita membuka dengan pelan amplop itu, dan mengambil
selembar kertas dengan gambar bunga matahari.
Selamat
hari lahir nenek Qonita. Semoga usiamu berkah, dan harimu penuh cinta.
Salam
manis, Brin sahabatmu.
Dan
di saat yang bersamaan Brin datang.
“Kejutaaaaaan!!!!”
“Brin?
Kauu…”
“Selamat
hari lahir, Nek.” Mereka berpelukan.
“Saya
punya sesuatu untuk nenek. Kita buka di dalam ya?”
“Apa
ini Brin?” tanya nenek itu sambil menerima kado dari Brin.
“Buka
saja, Nek.”
Dan dengan senyum yang tak lepas
Qonita membuka kado itu. Lalu…
“Laptop, Brin?!”
“Untuk nenek.”
“Tidak, Brin! Aku tidak bisa
menerimanya.”
“Nenek terima ya?! Nenek kan beberapakali
sudah mencoba mengetik pakai laptop
saya,” masih sambil bicara Brin menyalakan laptop. “Oh iya, di hari ulang tahun
nenek, saya membuatkan akun facebook untuk nenek. Biar nenek tidak kesepian.
Gampang kok…Nenek juga saya masukkan ke group Untuk Sahabat yang hari ini juga ulang
tahun. Kita akan banyak mendapat teman dan kita bisa berbagi cerita.” Aku
tertawa melihat Brin yang terus bicara dan melihat wajah Qonita yang keheranan.
“Lihat, Nek. Sudah banyak yang mengkonfirmasi
…bla..bla…bla…”
“Brin, “ Qonita bicara dengan
memegang tangan Brin. Brin berpaling dari layar.
“Maafkan aku ya? Aku tidak bisa menerima semua ini. Kamu lebih
membutuhkan laptop ini. Bagiku, bertemu denganmu, dan menerima surat darimu di
hari ulang tahunku adalah hadiah paling indah sepanjang hidupku. Masukkan kembali
laptop ini. Dan kita rayakan kebahagiaan ini dengan teh hangat dan kue muffin.”
“Tapi…”
“Tidak ada kata tapi, Brin!” Qonita melangkah ke dapur. Brin menatapku,
namun aku tidak mendekat. Aku menyusul Qonita ke dapur. Yeach…rasanya kue
muffin lebih lezat dibandingkan laptop dan facebook.
Gadingkirana,
031-152022111
1.
Untuk mbak Santi (Qonita Musa): “Aku selalu merindukan saat2 di Malang dulu”
2.
Untuk semua teman facebookku, terima kasih
untuk pertemanan kita
3.
Untuk Tower semoga kau selalu bahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar