“Rahel
bilang aku gila, Ma…” Isma tiba-tiba masuk rumah dengan wajah sedih.
“Masa
sih, bercanda mungkin, Is,” jawab mama.
“Enggak
Ma. Dia nggak bercanda. Dia bilang gini, dasar orang gila. Sinting!” Aku
melirik Isma yang hampir menangis.
“Padahal…”
kini suara Isma serak, “Aku sering bilang dia cantiiiik…baiiiik…pinteeer…eh,
aku dibilang gila!” airmata Isma menetes pelan-pelan.
“Ya
sudah gak usah nangis ya. Nanti tanyakan pada Rahel, kenapa dia bilang begitu,
ya?” Mama mengelus kepala Isma.
Dan
diam-diam aku pergi ke rumah bibi Yani memanggil Rahel.
“Ada
apa, kak Dini?”
“Apa
benar kau mengatakan Isma gila, Hel?” tanyaku pada Rahel.
“Hah?
Pasti dia ngadu deh…” sahut Rahel cemberut.
“Jadi
benar, kau bilang dia gila dan sinting?” tanyaku lagi.
“Iya.”
jawab Rahel.
“Kenapa?”
“Karena
dia mau enaknya sendiri? Karena dia tidak mau mematuhi aturan permainan? Ya
udah aku bilang dia gila. Tapi maksudku bukan orang gila yang di jalan-jalan
itu.” Rahel menyandarkan punggungnya di kursi.
“Trus
maksudnya apa?” tanyaku pada sepupuku itu.
“Ya,
cuma bilang gitu aja. Cuma kayak orang gila aja gak tau aturan. Gituuu, Kak…” ucap
Rahel sambil memilin pita bajunya.
“Tapi,
Isma sedih dengan kata-katamu, Hel. Dia tadi nangis bilang ke Mama,” jelasku,
Rahel diam. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Isma adalah adikku, dan Rahel
adalah sepupuku. Mereka seumuran. Sama-sama kelas tiga. Tiap hari bermain
bersama karena rumah kami berdekatan.
“Ya
sudah,” kataku akhirnya.” Kamu ikut aku, jelaskan pada Isma tentang kejadian
tadi.”
“Iya
deeh, Kak…” kata Rahel.
Lalu
kami berjalan lewat halaman belakang yang tembus pintu dapur rumahku.
“Kamu
tidak boleh menganggap semua hal serius, Is. Bedakan apakah itu serius,
bercanda, atau hanya main-main.” Aku mendengar suara Mama bicara sama Isma.
“Assalamualaikuuuum…”
ucap kami.
“Waalaikumsalam.
Tuh Rahel datang?” kata Mama.
“Isma,
aku tadi tidak bermaksud serius mengatakan kamu gila. Kamu sih seenakmu sendiri. Kalau bermain itu ya ada
aturannya,” jelas Rahel.
“Tapi
kamu kan gak perlu mengatakan aku gila dan sinting!” Mata Isma berkaca-kaca.
“Rahel,
Isma dan Dini. Anak-anak yang shalehah. Dalam hidup pasti kita akan selalu
bertemu dengan hal-hal yang kita sukai dan tidak. Kalau kita tidak suka dengan
sesuatu, lebih baik kita mengatakan dengan baik, agar tidak terjadi salah
sangka.” Mama bicara sambil memandang
kami satu persatu.
“Selain
itu, permainan pun ada aturannya. Kalau kita ingin memainkan permainan tertentu,
kita harus mengikuti aturan permainan itu. Hal itu akan melatih kita untuk
disiplin. Sama, dalam hidup juga ada aturan, misalnya kita tidak boleh masuk ke
rumah tetangga tanpa ijin. Begitu juga di sekolah ada aturannya, seperti dalam
menjawab soal ulangan, jam masuk dan lain-lain
juga ada aturan kan?” kata Mama dengan lembut. Aku mengangguk.
Isma
dan Rahel saling pandang.
“Makanyaaa…”
kata Isma dan Rahel bersamaan. Aku mengerutkan dahiku.
“Makanya
jangan mengatakan aku gila!” celetuk Isma.
“Makanya
harus patuh peraturan!” Rahel menyahut.
“Hei,
kalian daripada saling menyalahkan, lebih baik saling minta maaf deh!” selaku.
“Ya
sudah, aku minta maaf.” Isma mengulurkan tangan.
“Aku juga minta maaf, ya..” Rahel dan Isma bersalaman. Tak lama kemudian aku
merasa laga karena mereka sudah bermain bersama lagi.
seneng bacanya nih, sederhana dan mudah dicerna tapi sarat makna. :D
BalasHapusMakasih ya :)
Hapus