Tak ada yang salah antara kau dan aku.
Mungkin yang salah hanyalah waktu.
Kau dan aku, seharusnya sejak dulu bertemu….
Lagi, Mbak Riawani Elyta memaku saya
dengan jalinan kisah yang tak memberi kesempatan untuk melepaskannya. Hal ini
pula yang sudah saya antisipasi, sehingga saya menyediakan waktu kusus untuk
membacanya. Ya, meskipun mungkin sedikit ‘terlambat’ karena pada saat saya membaca novel ini (cetakan pertama)
di toko buku sana telah beredar cetakan yang ke-dua alias cetak ulang. Keren
banget kan?
Ini adalah novel tentang cinta (semua
pasti juga tahu). Yang bahkan kovernya pun telah berbicara, bahwa pembaca akan
mendapatkan hal yang ‘dalam’ di sepanjang lembar-lembarnya. Cinta memang hal
yang tak akan lekang meski waktu terus berjalan. Cinta, kesetiaan dan
pengorbanan! Pesan-pesan yang diselipkan secara halus, tanpa menggurui namun
begitu menyentuh hingga kedalaman hati.
“Orang
bilang, pasangan hidup itu seperti belahan jiwa, biar klise, tapi nyata
adanya. Jiwa kita nggak sepenuhnya terisi
pada saat pasangan hidup kita nggak selalu ada di sisi kita, walau ada banyak
hal yang telah kita jalani bersama, dan nggak semua hal berjalan sesuai yang kita
harapkan.” (Viena: halaman 128)
Ah, saya nggak tahu harus berkomentar
dengan kalimat yang bagaimana? Yang jelas, menurut saya pribadi, novel ini masuk
akal, manusiawi, nggak dibuat-buat alias nggak di dramatisir. Khas Mbak Ria
yang cerdas, santun dan detail yang tidak mengada-ada.
Mbak Ria berhasil menghadirkan sosok
Viena dengan semua hal kompleks dalam hidupnya. Menghadirkan Haris yang bejatnya
‘sempurna’ justru tanpa ada adegan kekerasan sedikitpun. Serta Dave yang
menjadi cerita ini hidup dan bernyawa.
“Kita sama-sama bukan remaja lagi,yang hanya bisa mendengar dan merespons
suara hati yang terus mengagungkan kata cinta. Tapi kita butuh pertimbangan,
logika dan komitmen—jika memang menginginkan masa depan yang baik dengan tidak
saling menyakiti.”
(halaman 208)
Nyaris tak ada bagian yang sia-sia
dari lembar-lembarnya. Beberapa tokoh yang hanya dihadirkan sebentar pun
menjadi kepingan puzzle yang meski kecil kehadirannya sangat berperan terhadap
keutuhan cerita. Nasehat ayah Dave yang
meskipun awalnya hanya dianggap lelucon oleh
anaknya, namun bertahun kemudian menjadi kenyataan. Dialog antara anak dan ibu
yang meskipun sekilas tapi menyisakan kesan yang dalam. Juga, obrolan dengan
Daniela, “Jangan merasa cinta saja sudah cukup, kalau ternyata cinta
yang kamu punya nggak bisa membuatmu rela berkorban.” (Halaman 218). Dan tentu
saja bagian kisah paman Goh Kee yang membuat air mata saya berloncatan, “Aku tak mau protes pada Tuhan kenapa hidupku
begini. Bagiku, cinta tak lebih sekedar ucapan di bibir selama kau tak mampu
memperjuangkan apa pun.” (halaman 234)
Bahkan ketika Dave bercerita pada
Viena tentang penjual rujak dan oyster cake saat mereka makan bersama. Saya sampai
membacanya tiga kali dan merenungkan kata-kata si bapak penjual yang diceritakan Dave itu. Sederhana, tapi rasanya
ada sesuatu yang dalam banget di halaman 108 dan 109 itu.
Jadi? Ya, apalagi donk? inilah tulisan saya selang empat jam setelah membaca novel itu. Dan seperti tadi pagi, spontan
saja setelah menyelesaikan kalimat terakhir di novel ini saya langsung sms Mbak
Ria, “Novel yg daleeeeem! Suka banget!”
Judul: Yang Kedua
Penulis: Riawani Elyta
Penerbit: Bukune, maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar