Jumat, 06 Juli 2012

Yang Kedua: Bukan Romance Biasa


Tak ada yang salah antara kau dan aku.
Mungkin yang salah hanyalah waktu.
Kau dan aku, seharusnya sejak dulu bertemu….



Lagi, Mbak Riawani Elyta memaku saya dengan jalinan kisah yang tak memberi kesempatan untuk melepaskannya. Hal ini pula yang sudah saya antisipasi, sehingga saya menyediakan waktu kusus untuk membacanya. Ya, meskipun mungkin sedikit ‘terlambat’ karena pada  saat saya membaca novel ini (cetakan pertama) di toko buku sana telah beredar cetakan yang ke-dua alias cetak ulang. Keren banget kan? 

Ini adalah novel tentang cinta (semua pasti juga tahu). Yang bahkan kovernya pun telah berbicara, bahwa pembaca akan mendapatkan hal yang ‘dalam’ di sepanjang lembar-lembarnya. Cinta memang hal yang tak akan lekang meski waktu terus berjalan. Cinta, kesetiaan dan pengorbanan! Pesan-pesan yang diselipkan secara halus, tanpa menggurui namun begitu menyentuh hingga kedalaman hati.

Orang bilang, pasangan hidup itu seperti belahan jiwa, biar klise, tapi nyata adanya.  Jiwa kita nggak sepenuhnya terisi pada saat pasangan hidup kita nggak selalu ada di sisi kita, walau ada banyak hal yang telah kita jalani bersama, dan nggak semua hal berjalan sesuai yang kita harapkan.” (Viena: halaman 128)

Ah, saya nggak tahu harus berkomentar dengan kalimat yang bagaimana? Yang jelas, menurut saya pribadi, novel ini masuk akal, manusiawi, nggak dibuat-buat alias nggak di dramatisir. Khas Mbak Ria yang cerdas, santun dan detail yang tidak mengada-ada. 

Mbak Ria berhasil menghadirkan sosok Viena dengan semua hal kompleks dalam hidupnya. Menghadirkan Haris yang bejatnya ‘sempurna’ justru tanpa ada adegan kekerasan sedikitpun. Serta Dave yang menjadi cerita ini hidup dan bernyawa.

“Kita sama-sama bukan remaja lagi,yang hanya bisa mendengar dan merespons suara hati yang terus mengagungkan kata cinta. Tapi kita butuh pertimbangan, logika dan komitmen—jika memang menginginkan masa depan yang baik dengan tidak saling menyakiti.” (halaman 208)

Nyaris tak ada bagian yang sia-sia dari lembar-lembarnya. Beberapa tokoh yang hanya dihadirkan sebentar pun menjadi kepingan puzzle yang meski kecil kehadirannya sangat berperan terhadap keutuhan cerita.  Nasehat ayah Dave yang meskipun awalnya hanya dianggap  lelucon oleh anaknya, namun bertahun kemudian menjadi kenyataan. Dialog antara anak dan ibu yang meskipun sekilas tapi menyisakan kesan yang dalam. Juga, obrolan dengan Daniela, “Jangan merasa  cinta saja sudah cukup, kalau ternyata cinta yang kamu punya nggak bisa membuatmu rela berkorban.” (Halaman 218). Dan tentu saja bagian kisah paman Goh Kee yang membuat air mata saya berloncatan, “Aku tak mau protes pada Tuhan kenapa hidupku begini. Bagiku, cinta tak lebih sekedar ucapan di bibir selama kau tak mampu memperjuangkan apa pun.” (halaman 234)

Bahkan ketika Dave bercerita pada Viena tentang penjual rujak dan oyster cake saat mereka makan bersama. Saya sampai membacanya tiga kali dan merenungkan kata-kata si bapak penjual  yang diceritakan Dave itu. Sederhana, tapi rasanya ada sesuatu yang dalam banget di halaman 108 dan 109 itu.

Jadi? Ya, apalagi donk?  inilah tulisan saya selang empat jam setelah membaca novel itu. Dan seperti tadi pagi, spontan saja setelah menyelesaikan kalimat terakhir di novel ini saya langsung sms Mbak Ria, “Novel yg daleeeeem! Suka banget!”

Judul: Yang Kedua
Penulis: Riawani Elyta
Penerbit: Bukune, maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...