Sihok.
Begitu orang-orang memanggilnya. Dulu, kami akan berlari saat melihat Si hok
di kejauhan. Karena si Hok biasa mengejar anak-anak sambil berteriak, “Hook.
Hook. Hook!” Kadang, kalau kami pulang sekolah dan tidak bisa menghindari dia,
maka kami setengah takut setengah berani akan bertanya banyak hal pada si Hok.
Itupun harus bersama teman-teman, dan menahan gemetar karena takut.
“Kemana
Hok?”
“Hoook,
hook!” begitu jawabnya, sambil berputar-putar, membuat gerakan seperti orang
pasang kuda-kuda lalu terakhir dia akan menunjuk arah ke mana dia akan pergi.
Ya,
Si Hok. Begitulah orang-orang memanggilnya. Tak banyak yang tahu, itu nama asli
atau nama panggilan, karena dia hanya bisa mengucapkan satu kata “Hok!”.
Yang
kami tahu, Hok tinggal di lembah bawah, berkilo-kilo dari jalan raya. Tempatnya
curam, dengan jalan tanah setapak dan belum ada listrik. Pekerjaan Hok
sehari-hari adalah menjual daun jati. Ya, di desaku, daun jati masih laris,
untuk bungkus tempe, bungkus makanan saat orang-orang mengadakan pesta
pernikahan, juga untuk bungkus aneka dagangan di pasar. Biasanya dia akan
memikul daun bersama ibunya yang sudah tua. Kadang ibunya ikut menggendong
setali, kadang juga hanya jalan kaki.
Hingga
suatu hari, kami bertemu Hok yang pulang
dari pasar. Namun Hok tak berjalan dengan ibunya. Dia berjalan dengan
wanita muda. Sepanjang jalan, Hok tetap
bersuara “Hook, Hook.” Seperti biasanya. Sementara wanita di sampingnya
memandangnya dengan senyum tak lepas dari bibirnya. Di tangan mereka, ada
beberapa lembar rupiah yang sepertinya sedang dihitung.
Hok
tersenyum saat melewati kami, begitu juga wanita muda di sampingnya.
Dan
begitu mereka sampai di kejauhan, Hok dan perempuan itu bergandengan tangan.
Hingga pada akhirnya kami mendengar kabar, bahwa Hok telah menikah. Yang
bersama dia itu adalah istrinya. Hok yang hanya bisa mengucap satu kata itu,
menikahi seorang gadis yang hanya bisa tersenyum, tanpa bisa mengeluarkan satu
kata pun. Banyak yang heran, banyak yang merasa kasihan. Banyak yang
menyangsikan pernikahan mereka.
“Orang
bisu kok nikah dengan orang bisu?”
“Orang
gak waras kok dinikahkan!”
Begitu
komentar orang-orang. Namun dari cara
mereka—Hok dan istrinya-- saling memandang, dari cara mereka tersenyum,
dari cara mereka bergandengan dan berjalan, tersirat kebahagiaan yang tak perlu
dikatakan. Mungkin, inilah yang dikatakan bahwa cinta dan bahagia milik
semesta. Semua berhak merasakannya.
Sore
itu ketika aku pulang kampung, aku belajar sebuah cinta dari Hok dan istrinya.
aih mbak, manis sekali ceritanya ..
BalasHapusHehehe, Mbak Dey makasih dah baca :)
Hapushmmm, dan saat ini
BalasHapussaya pun ikut memetik
pelajaran
dari share tentang
Hok dan istrinya
makasih banyak ya Mbak
Terima kasih sudah mampir dan baca :)
Hapuspelajaran berharga dari kisah ini. Salut sama mba Sabrina.
BalasHapusmbak aku mau tanya nih, ttg penulisan novel untuk di ajukan karyanya setelah di print out.
biasanya mbak menyertakan kata pengantar apa tidak ??
ters msalah sinopsisnya itu cerita dari kesluruhan yg dtujukkan pada penerbit? atau sprti yg dicover belakang buku?
dtunggu jawabannya
Halo Mbak apa kabar? :)
HapusIya Mbak sinopsis sangat penting. Sinopsis keseluruhan cerita. Trus halaman2 awal juga sangat menentukan. Jadi halaman2 awal harus menarik. begitu yg pernah saya baca :)
Salam hangat, sukses untuk Mbak ya.
Makasih sudah mampir dan baca :)