“Orang yang baik itu adalah
orang yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain…”
“Akan ada waktu dimana kamu harus melakukan pekerjaan dengan tanganmu
sendiri…”
“Menikah itu butuh kompromi, Vio. Kalau pengorbananmu kelak akan
membahagiakan orang yang kamu cintai, kenapa tidak?”
“Pernikahan itu melibat dua orang, bukan sendirian. Jadi kamu harus
menyingkirkan egoismemu setelah menikah.”
Itu adalah cuplikan-cuplikan
nasehat dari mama Vio dalam novel Cinderella Syndrome. Kalimat-kalimat yang membuat saya merenung sepanjang
jalan sambil mengayuh sepeda menuju pasar, bersama langit timur yang kemerahan.
Menghirup udara pagi yang masih segar, saya tiba-tiba berfikir, kelak bacaan
seperti apa yang akan dibaca anak-anak saya di masa remajanya?
Masih adakah kelak novel-novel
seperti ini? Novel yang tidak hanya menghibur tapi benar-benar aman, membuat
pembaca merenung tanpa dipaksa dan tanpa
merasa digurui. Novel yang seperti menyimpan embun-embun sejuk yang bergantung
pada lembar-lembar halamannya.
Oh, bahkan saat menulis
ini pun ada yang merebak di pelupuk saya. Tentu saja, seorang Leyla Hana yang
telah menerbitkan 16 novel, tak diragukan kepiawaiannya dalam menjalin cerita.
Saat saya masih belajar menulis surat pembaca, masih mengirim komentar-komentar
kecil ke media, namanya sudah sering terpampang di majalah kesayangan saya,
bahkan sudah tercetak pada punggung buku.
Dan, ini novel Cinderella Syndrom.
jatuh cinta, jodoh, pernikahan, rasanya menjadi hal yang tak habis untuk
diperbincangkan. Mbak Leyla menyajikan sebuah potret yang dekat dengan kita,
namun dia mengambil dari sudut yang berbeda. Menceritakan tiga tokoh yang
menjalani kehidupannya sendiri-sendiri:
Erika, 30 tahun, tidak pernah terpikir untuk menikah sama sekali.
Menurut Erika, kehidupan pernikahan sangatlah sulit, dan ia ingin terus bebas
seumur hidupnya.
Violet, 25 tahun, seorang penulis “miskin” yang tidak mandiri.
Kemana-mana harus diantar seseorang agar tidak salah jalan. Pikirannya hanyalah
menulis, menulis, menulis. Jadi, kalau mama menyuruhnya menikah, apakah bisa?
Annisa, 28 tahun. Seorang guru TK, selalu memimpikan menikah dengan
lelaki mapan, yang bisa mengeluarkannya dari situasi paling tidak menyenangkan
dalam hidupnya.
Saya membayangkan batapa
manisnya jika novel ini menjelma ftv di siang hari. Memang, ketiga tokohnya
sama sekali tidak berhubungan dan tak saling kenal, tapi sepanjang cerita
pembaca tak akan kehilangan benang merahnya. Mendebarkan, mengharukan dan
kadang terkikik sendiri. Ya, betapa tidak? Saya melihat tokoh-tokoh itu hidup
di depan saya.
Ketika Erika yang menolak
lembaga pernikahan tiba-tiba merasa bahwa menikah adalah jalan keluar yang
terbaik bagi permasalahannya. Sementara Violet mendadak berfikir, mungkin
dengan menikah ia memiliki pengawal pribadi? Tapi haruskah ia memilih menikah? Dan di saat
yang sama, Zulfikar Firdaus, duda satu anak membuat membuat Annisa terbang ke alam
mimpi. Bisakah ia jadi istri lelaki itu?
Saya menikmati ceritanya,
tak mau menduga-duga bagaimana endingnya. Hingga pada akhirnya saya menutup
halaman terakhir dan bergumam. “Benar, hidup itu kenyataan, bukan khayalan.”
***
“Mbak
Leyla, teruslah menulis. Saya, sebagai orangtua tak akan khawatir, jika kelak,
anak-anak saya membaca novel-novel seperti ini.”
Makasiiih mba Brien... ^^
BalasHapustelah menyelipkan semangat di dinginnya udara pagi
Makasih Mbak, bukunya bikin saya merenung :)
BalasHapus