Jumat, 15 Maret 2013

Cinderella Syndrome

 “Orang yang baik itu adalah orang yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain…”
“Akan ada waktu dimana kamu harus melakukan pekerjaan dengan tanganmu sendiri…”
“Menikah itu butuh kompromi, Vio. Kalau pengorbananmu kelak akan membahagiakan orang yang kamu cintai, kenapa tidak?”
“Pernikahan itu melibat dua orang, bukan sendirian. Jadi kamu harus menyingkirkan egoismemu setelah menikah.”

Itu adalah cuplikan-cuplikan nasehat dari mama Vio dalam novel Cinderella Syndrome. Kalimat-kalimat yang membuat saya merenung sepanjang jalan sambil mengayuh sepeda menuju pasar, bersama langit timur yang kemerahan. Menghirup udara pagi yang masih segar, saya tiba-tiba berfikir, kelak bacaan seperti apa yang akan dibaca anak-anak saya di masa remajanya?

Masih adakah kelak novel-novel seperti ini? Novel yang tidak hanya menghibur tapi benar-benar aman, membuat pembaca  merenung tanpa dipaksa dan tanpa merasa digurui. Novel yang seperti menyimpan embun-embun sejuk yang bergantung pada lembar-lembar halamannya.


Oh, bahkan saat menulis ini pun ada yang merebak di pelupuk saya. Tentu saja, seorang Leyla Hana yang telah menerbitkan 16 novel, tak diragukan kepiawaiannya dalam menjalin cerita. Saat saya masih belajar menulis surat pembaca, masih mengirim komentar-komentar kecil ke media, namanya sudah sering terpampang di majalah kesayangan saya, bahkan sudah tercetak pada punggung buku.

Dan, ini novel Cinderella Syndrom. jatuh cinta, jodoh, pernikahan, rasanya menjadi hal yang tak habis untuk diperbincangkan. Mbak Leyla menyajikan sebuah potret yang dekat dengan kita, namun dia mengambil dari sudut yang berbeda. Menceritakan tiga tokoh yang menjalani kehidupannya sendiri-sendiri:

Erika, 30 tahun, tidak pernah terpikir untuk menikah sama sekali. Menurut Erika, kehidupan pernikahan sangatlah sulit, dan ia ingin terus bebas seumur hidupnya.
Violet, 25 tahun, seorang penulis “miskin” yang tidak mandiri. Kemana-mana harus diantar seseorang agar tidak salah jalan. Pikirannya hanyalah menulis, menulis, menulis. Jadi, kalau mama menyuruhnya menikah, apakah bisa?
Annisa, 28 tahun. Seorang guru TK, selalu memimpikan menikah dengan lelaki mapan, yang bisa mengeluarkannya dari situasi paling tidak menyenangkan dalam hidupnya.

Saya membayangkan batapa manisnya jika novel ini menjelma ftv di siang hari. Memang, ketiga tokohnya sama sekali tidak berhubungan dan tak saling kenal, tapi sepanjang cerita pembaca tak akan kehilangan benang merahnya. Mendebarkan, mengharukan dan kadang terkikik sendiri. Ya, betapa tidak? Saya melihat tokoh-tokoh itu hidup di depan saya.

Ketika Erika yang menolak lembaga pernikahan tiba-tiba merasa bahwa menikah adalah jalan keluar yang terbaik bagi permasalahannya. Sementara Violet mendadak berfikir, mungkin dengan menikah ia memiliki pengawal pribadi?  Tapi haruskah ia memilih menikah? Dan di saat yang sama, Zulfikar Firdaus, duda satu anak membuat membuat Annisa terbang ke alam mimpi. Bisakah ia jadi istri lelaki itu?

Saya menikmati ceritanya, tak mau menduga-duga bagaimana endingnya. Hingga pada akhirnya saya menutup halaman terakhir dan bergumam. “Benar, hidup itu kenyataan, bukan khayalan.”
***

“Mbak Leyla, teruslah menulis. Saya, sebagai orangtua tak akan khawatir, jika kelak, anak-anak saya membaca novel-novel seperti ini.”

2 komentar:

  1. Makasiiih mba Brien... ^^
    telah menyelipkan semangat di dinginnya udara pagi

    BalasHapus
  2. Makasih Mbak, bukunya bikin saya merenung :)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...