Perjalanan
Hati
Jika tidak pada tempatnya,
Maka ia tak ubahnya ilalang kering
Kusadari, bayang-bayangmu tak hadirkan rasa
benci,
tetapi rindu yang perlahan-lahan berembus
Ini cerita tentang aku
Aku yang menapaktilasi masa lalu,
mencoba mencari rasa yang terserak untuk
menetapkan hati
Aku yang berjalan mengitari hatinya,
mencoba mencari getaran itu kembali
Ketika semua terasa hampa,
apakah kau masih mau berdiri di sana....
Menungguku pulang dan memelukku erat
Seperti kata
penulisnya (Mbak Riawani Elyta), “Novel ini berkisah tentang perjalanan
sekeping hati saat diri dilanda keraguan dan kegamangan, antara hendak
menelusuri kembali jejak cinta masa lalunya, atau pun bertahan pada jalan yang sudah
ia pilih, meski jalan itu pun sudah dinodai luka permanen.”
Namun
setelah saya membacanya, sesungguhnya kisah ini bukan hanya milik Maira tapi
juga kepingan-kepingan hati yang lain. Milik Yudha—suami Maira, milik Donna dan
juga milik Andri. Orang-orang dari masa lalu mereka.
Tertegun.
Diam, lama. Begitulah setelah saya menyelesaikan lembar terakhir novel ini.
Lalu saya ingat pernah membaca di status
teman saya, “Tak ada pernikahan yang sempurna. Seperti juga tak ada pesangan
yang sempurna.
Novel ini mengaduk
emosi. Mbak Riawani tidak sekadar menceritakan, namun benar-benar menghadirkan
tokoh-tokohnya bersama dengan suara hati mereka menjadi harmoni, dengan diksi
yang berbeda dari novel-novel sebelumnya. Puitis dengan porsi yang pas. Puitis
yang tidak mengawang-awang, namun dalam dan dewasa, tanpa menghilangkan ciri khas
seorang Riawani Elyta.
Tokoh-tokoh
yang semua mempunyai peran penting, kenapa mereka ada di sana. Bukan hanya itu,
bahkan dengan karakternya masing-masing, yang tak hanya sekadar hitam dan
putih, namun punya alasan kuat kenapa mereka (dibuat) bersikap seperti itu. Kenapa
endingnya seperti itu. Semua bisa diterima, bukan hanya pelengkap, meski tokoh
pembantu. Termasuk ibu Yudha yang sekilas, juga pasangan suami istri bule. Bahkan
tokoh Ibra sekalipun. Barangkali kalau saya berada di posisinya juga akan
bersikap sama pada Maira.
Setiap buku
punya kelebihan dan kekurangannya. Tapi, dengan dua hal itulah justru sebuah
karya sempurna sebagai dirinya. Kalau tentang suka dan tidak suka itu masalah
selera. Lalu apa kekurangan novel ini? Duh, sulit banget mencari kekurangannya.
Tadinya saya mau menulis penyakit anaknya Donna. Tapi setelah saya pikir, lewat
bagian itupun ada sesuatu yang ingin disampaian penulisnya. Hanya lelaki
istimewa, untuk wanita istimewa dan anak yang istimewa.
Ngomong-ngomong,
kalau saya selalu menyukai novel-novel Mbak Riawani, bukan karena kami
bersahabat, namun karena tulisan Mbak Riawani tak hanya menjual mimpi. Saya selalu
menemukan sebuah perenungan serta pesan dalam yang dilebur Mbak Riawani dalam
karya-karyanya tanpa terkesan menggurui. Begitupun dalam novel ini. Mbak
Riawani tidak mengatakan harus begini atau jangan begitu. Tapi, semua bisa
dititipkan dengan alami lewat tokoh-tokohnya.
Ohya, saya
sukaaa dengan kalimat ibu Yudha pas telephon. “Ini bukan tentang bisa jaga diri
atau tidak. Ada saudara yang menemani atau tidak, tapi soal pantes atau tidak.”
Mungkin kelihatannya kalimat biasa, tapi maknanya dalem.
Selamat Mbak
Riawani. Jangan berhenti menulis. Semoga pesan-pesan dalam setiap buku-bukumu
sampai ke hati pembaca dan melahirkan kebaikan demi kebaikan.aamiin.
Penulis :
Riawani Elyta
Penerbit :
RakBuku
Terbit
: Mei 2013
Harga
: Rp.43.000,-
Genre
: Romance
wuih, bagus yang ngulas maupun yang buat novel hehee.. belajar dari kalian mba-mba senior..
BalasHapusreviewnya manis, Mbak.. seperti orangnya.. :)
BalasHapusMbak Nur, novelnya baguuus, dan ini hanya komen saya setelah baca. :)
BalasHapusMbak Linda, ahihihi...ada-ada saja :D
makasih Eni, terharuuu baca reviewnya, lupa sy dulu baru baca belum ninggalin komen :)
BalasHapus