“Eendracht maakt macht!” terdengar penyiar televisi
dari Flandria
“L'union fait la force!” Kalau itu teriakan kencang orang Walonia, dari radio yang bermarkas di punggung perbukitan Ardens.
“Einigkeit macht stark” Menyusul suara-suara dari Brusel.
“L'union fait la force!” Kalau itu teriakan kencang orang Walonia, dari radio yang bermarkas di punggung perbukitan Ardens.
“Einigkeit macht stark” Menyusul suara-suara dari Brusel.
Tak peduli apapun suku dan bahasa yang
kau tuturkan, ketika tim dari negaramu berlaga di tingkat dunia, kau pasti
mengharapkan hal yang sama. Kemenangan.
Suara-suara penyiar radio, siaran
pemandu dari televisi bersahutan di lorong dan sudut jalan Belgia, Ketika
Bruyne menendang bola dan meluncur ke gawang Howard.
Kekuatan Persatuan, itu
arti dari tiga kalimat di atas. Motto negara kami yang sepertinya pas untuk
penyemangat saat berlaga di 16 besar
melawan Amerika.
Setelah Brabançonne lagu kebangsaan Belgia berkumandang dan
peluit terdengar, yang hadir di tengah lapangan adalah ketegangan demi
ketegangan. Kedua kesebelasan yang sama-sama tak mengendorkan tempo permainan.
Peluang-peluang yang membuat penonton sejenak berhenti bernafas lalu
menghembuskan kekecewaan sambil memegang kepala.
Bahkan
setelah 90 menit waktu normal harus dipanjangkan lagi hingga 120 menit.
Kukira semua orang tahu, bahwa sehebat
apapun seorang pemain bola, dia seperti berlari dengan satu kaki jika berjuang
sendiri di lapangan.
Gol tidak lahir sendiri. Gol tidak tiba-tiba
tercipta. Tapi keterampilan individu tetap menjadi hal yang sangat penting
terutama untuk lepas dari kawalan lawan dan tentu saja ketika permainan memaksa
pinalti, satu lawan satu. Dan tim kami bermain sangat bagus. Menyerang tapi
juga tak melupakan bertahan.
Dan aku berteriak, “Lukaku! Lukaku!” Ketika lelaki itu memperkuat keunggulan
Belgia menjadi 2-0.
Dari sini, di rumah nenekku di tepi
sungai Schelde, aku menyaksikan pada layar kaca sambil mengangkat tangan yang
belepotan adonan.
“Dulu, aku selalu membuat Pate sebelum
Halme berangkat bertanding,” kata nenek salah satu orang yang bersemangat dengan Piala
Dunia. Dengan alasan mengenang kakek, beliau selalu membuat Pate dari daging
bebek dengan roti panggang, lalu dibagikan ke beberapa tetangga untuk nonton
bersama setiap Belgia berlaga.
“Aku hanya ingin mengenang saat-saat
dia melompat, menghalau bola di bawah
tiang gawang.”
Nenek selalu begitu, dengan bangga
selalu menyebut nama kakekku, Halme, seorang kiper di klub sepak bola lokal
tahun 50-an.
“Halme pemain hebat di mataku, meski…”
Nenek menggantung kalimatnya. Ya, aku
tahu dari ceritanya, hingga kakek
gantung sepatu, beliau tak pernah merasakan bermain di timnas. Tapi nenek
selalu mendukung cita-citanya, termasuk setiap kali tim dari negara kami
berlaga.
“Karena bagiku, mereka menjadi
kepanjang kaki dari mimpi kakekmu,” ucapnya.
Aku sendiri tak bisa menjadi salah satu
dari kaki-kaki itu. Aku gadis biasa, yang memilih bertanam kentang di bantaran
Schelde, dan mengolah sebagiannya menjadi Frites. Meski begitu, aku berusaha menjadi cucu yang
baik untuk nenek. Berbincang dengannya tentang bola dan mendengarkan
berkali-kali cerita yang sama tentang kakek di bawah mistar gawang.[]
*catatan
-Belgia mengalahkan Amerika 2-1 di babak
16 besar
-Lukaku, nama panjangnya Romelu Lukaku, pemain
dari Belgia yang bermain di Liga Inggris
-Howard, kipper Amerika yang paling
banyak melakukan penyelamatan, dari 27 tendangan ke gawang, 16 tendangan
langsung dihalau.
-Pate, Frites, makanan khas Belgia
Aku yg lebih ingin melihat Belgia menang, salut sama Howard yg tampil cemerlang di bawah mistar. Kalopun dia kebobolan, i think itu bukan murni kesalahannya, melainkan pertahananan AS yg terbuka.
BalasHapusBy the way, sempet2nya yoo mbak Shab, nulis cerpen apik ttg pertandingan yg baru berlangsung. Kata BeYe, lanjutkan! ^_^
Iyaaa...seru banget pertandingannya.
HapusDan Om Howard emang keren. :)
Ngarep mba nulis ini dalam bentuk novel. :D Meski momentnya udah lewat, tapi siapa tahu ada penerbit yang ngelirik. :D
BalasHapusDan 3 tahun berlalu sudah 😃
Hapus