Kamis, 03 Juli 2014

Melihat LUKAKU dari Tepi Sungai Schelde



“Eendracht maakt macht!”  terdengar  penyiar televisi dari Flandria
“L'union fait la force!”  
Kalau itu teriakan kencang orang Walonia, dari radio yang bermarkas di  punggung perbukitan Ardens.
“Einigkeit macht stark
Menyusul suara-suara dari Brusel.

Tak peduli apapun suku dan bahasa yang kau tuturkan, ketika tim dari negaramu berlaga di tingkat dunia, kau pasti mengharapkan hal yang sama. Kemenangan.

Suara-suara penyiar radio, siaran pemandu dari televisi bersahutan di lorong dan sudut jalan Belgia, Ketika Bruyne menendang bola dan meluncur ke gawang Howard.
Kekuatan Persatuan, itu arti dari tiga kalimat di atas. Motto negara kami yang sepertinya pas untuk penyemangat  saat berlaga di 16 besar melawan Amerika.

Setelah Brabançonne  lagu kebangsaan Belgia berkumandang dan peluit terdengar, yang hadir di tengah lapangan adalah ketegangan demi ketegangan. Kedua kesebelasan yang sama-sama tak mengendorkan tempo permainan. Peluang-peluang yang membuat penonton sejenak berhenti bernafas lalu menghembuskan kekecewaan sambil memegang kepala.
Bahkan setelah 90 menit waktu normal harus dipanjangkan lagi hingga 120 menit. 

Kukira semua orang tahu, bahwa sehebat apapun seorang pemain bola, dia seperti berlari dengan satu kaki jika berjuang sendiri di lapangan.

Gol tidak lahir sendiri. Gol tidak tiba-tiba tercipta. Tapi keterampilan individu tetap menjadi hal yang sangat penting terutama untuk lepas dari kawalan lawan dan tentu saja ketika permainan memaksa pinalti, satu lawan satu. Dan tim kami bermain sangat bagus. Menyerang tapi juga tak melupakan bertahan.

Dan aku berteriak, “Lukaku! Lukaku!” Ketika lelaki itu memperkuat keunggulan Belgia menjadi 2-0.

Dari sini, di rumah nenekku di tepi sungai Schelde, aku menyaksikan pada layar kaca sambil mengangkat tangan yang belepotan adonan.

“Dulu, aku selalu membuat Pate sebelum Halme berangkat bertanding,” kata nenek  salah satu orang yang bersemangat dengan Piala Dunia. Dengan alasan mengenang kakek, beliau selalu membuat Pate dari daging bebek dengan roti panggang, lalu dibagikan ke beberapa tetangga untuk nonton bersama setiap  Belgia berlaga.
 
“Aku hanya ingin mengenang saat-saat dia melompat, menghalau bola  di bawah tiang gawang.”
Nenek selalu begitu, dengan bangga selalu menyebut nama kakekku, Halme, seorang kiper di klub sepak bola lokal tahun 50-an.
“Halme pemain hebat di mataku, meski…”

Nenek menggantung kalimatnya. Ya, aku tahu dari ceritanya, hingga  kakek gantung sepatu, beliau tak pernah merasakan bermain di timnas. Tapi nenek selalu mendukung cita-citanya, termasuk setiap kali tim dari negara kami berlaga. 
“Karena bagiku, mereka menjadi kepanjang kaki dari mimpi kakekmu,” ucapnya.

Aku sendiri tak bisa menjadi salah satu dari kaki-kaki itu. Aku gadis biasa, yang memilih bertanam kentang di bantaran Schelde, dan mengolah sebagiannya menjadi Frites.  Meski begitu, aku berusaha menjadi cucu yang baik untuk nenek. Berbincang dengannya tentang bola dan mendengarkan berkali-kali cerita yang sama tentang kakek di bawah mistar gawang.[]

*catatan
-Belgia mengalahkan Amerika 2-1 di babak 16 besar
-Lukaku, nama panjangnya Romelu Lukaku, pemain dari Belgia yang bermain di Liga Inggris
-Howard, kipper Amerika yang paling banyak melakukan penyelamatan, dari 27 tendangan ke gawang, 16 tendangan langsung dihalau.
-Pate, Frites, makanan khas Belgia

4 komentar:

  1. Aku yg lebih ingin melihat Belgia menang, salut sama Howard yg tampil cemerlang di bawah mistar. Kalopun dia kebobolan, i think itu bukan murni kesalahannya, melainkan pertahananan AS yg terbuka.

    By the way, sempet2nya yoo mbak Shab, nulis cerpen apik ttg pertandingan yg baru berlangsung. Kata BeYe, lanjutkan! ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaaa...seru banget pertandingannya.
      Dan Om Howard emang keren. :)

      Hapus
  2. Ngarep mba nulis ini dalam bentuk novel. :D Meski momentnya udah lewat, tapi siapa tahu ada penerbit yang ngelirik. :D

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...