“Sembilan ribu lima ratus hanya
untuk 1 novel?” tanya teman sekamar saya dengan histeris.
“Nggak sayang,
beli buku mahal? Kalau majalah kan bisa dibaca ulang, isinya macem-macem.” Komentar
ibu kos, membuat saya sulit menelan ludah.
Bimbang,
karena tidak menemukan jawaban yang pas saat itu. Sembilan ribu lima ratus
tahun 2000 bukan rupiah yang kecil, mengingat jatah saya sebulan sebesar
sepuluh ribu.
Betul juga ya,
terlalu sayang uang segitu hanya untuk satu novel. nah, kan? saya ikut membenarkan
komentar mereka.
Tapi setelah membaca isinya, saya merasa beruntung. Sangat. Ada banyak
hal yang saya temukan dalam novel itu. Bahkan, pada akhirnya, menjadi ‘teman
lain’ di masa remaja saya.
Adalah tentang
Aida, yang awalnya enggan ketika harus meneruskan kuliah di pedasaan. Padahal
impiannya adalah kampus megah ternama di kota. Namun setelah banyak belajar
dari alam desa, kehidupan penduduknya dengan konflik-konfliknya,dari Nurul yang
polos dan kadang tak terduga, dari orang-orang dengan kebijaksanaan yang
menyejukkan; perlahan-lahan Aida menyadari bahwa kebersahajaan bukan berarti
kemandegan atau ketertinggalan.
Lebih dari itu,
banyak hal kemudian yang membuatnya sadar untuk senantiasa bersyukur, karena
syukur membuat hidup selalu cukup, karena syukur itu…telaga yang tak pernah
kering.
Saya belajar banyak
dari novel itu. Gaya tutur Mbak Muttaqwiati yang sederhana dan dalam, menyentuh
dengan lembut di hati saya. Mengena. Kalimat-kalimatnya, menjelma rumus yang
ketika saya menghadapi suatu masalah, bisa saya terapkan untuk mengurainya.
Beberapa waktu
kemudian, Allah mengizinkan saya menginjakkan kaki di halaman kampus UIN
Malang, dan menjadi salah satu yang memegang KTM, saat itu airmata saya tumpah
diam-diam. Saya tak peduli bagaimana harus menghemat. Saya tak peduli hanya
punya satu rok yang saya pakai selama 6 hari jam kuliah. Karena bagi saya, bisa
kuliah dan belajar banyak hal tentang kehidupan di Malang, adalah salah satu
anugerah terindah bagi saya.
Setiap kali ada
percikan di hati yang membuat tidak nyaman, saya ingat novel itu, saya ingat
satu hal. Syukur adalah telaga yang tak pernah kering. Syukur berhambur, nikmat
bertabur. Hingga kini, kalimat itu masih lekat di ingatan saya.
Beberapa hari
yang lalu, ketika saya menata rak buku, saya membaca kembali tulisan di halaman
belakang yang kosong. buku ini kubeli
dari honor pertama menulis. Terima kasih Allah.
Saya ingat, itu
honor dari buletin Depag pacitan sebesar lima belas ribu rupiah.
Judul: Aida:
Telaga yang Tak Pernah Kering
Penulis:
Muttaqwiati
Penerbit: Asy
Syaamil
Tahun terbit Nopember
2000
Aha, di deretan buku itu juga ada 9000 Bintang rupanya. Saya juga punya. Itu novel fiksi remaja islami pertama yang membuat saya terkagum dengan gaya kepenulisan Pipiet Senja. hehe. :)
BalasHapusHalo Mbak Lia...ehehe iyaa itu deretan novel dna kumcer islami. Lagi pengen baca ulang buku-buku lama. MUngkin koleksi kita mirip-mirip ya :)
Hapusjadi pengen baca bukunya...tapi bisa didapatkan dimana novelnya?
BalasHapusWaah udah lama banget, 14 tahun. Mungkin di lapak-lapak tertentu Mbak adanya. :)
Hapusmakasih ya sudah mampir :)
oooh...jadi buku ini jadi inspirasi kuat ya mba. Saya dulu juga ada buku yg saya jadikan panutan tapi skrg udah ga tau ada dimana :(
BalasHapusIya Mbak. Bagi saya, isinya ngena dan pas gitu. Eh buku apa? :)
HapusMakasih Mbak sudah mampir :)
Kayaknya saya orang ganteng pertama yang ngasih komen di sini sepertinya Mbak.. :D Saya juga punya novel serial Aida Mba.. Satu.. Hehe.. kalau gak salah yang judulnya Pendar-pendar gitu (lupa).. Tapi sekarang novel-novel terbitan Syaamil udah jarang beredar kayaknya ya Mba.. Lihat di Gramed jarang ketemu..
BalasHapusEhehe, ada Mas Untung tuh setelah kamu.
HapusYang Pendar-Pendar saya nggak punya. Eh Syamil kan emang sudah nggak ada sekarang.
Makasih ya sudah mampir :)
Wah, ada DIALOG DUA LAYAR. aku lagi pesan buku kumcer mbak Asma itu via TB Online. pernah bca dulu di pesantren,tapi pinjam.makanya pengin baca ulang. Aida juga pernah baca. :)
BalasHapusIya, dulu itu saya beli pas Mbak Asma mau datang ke Malang. Seneng donk berburu tanda tangan plus foto bareng. Sekitar tahun 2002 kalau nggak 2003 itu.
HapusKemarin akhirnya dapat kan yang diposting di fb tuh :)
Aida itu kan diriku mbak :D hehehe
BalasHapusiya nih, tokohnya datang :D Halo Mbak Aida...:)
Hapus