Minggu, 07 September 2014

Telaga yang tak Pernah Kering




“Sembilan ribu lima ratus  hanya untuk 1 novel?” tanya teman sekamar saya dengan histeris.
“Nggak sayang, beli buku mahal? Kalau majalah kan bisa dibaca ulang, isinya macem-macem.” Komentar ibu kos, membuat saya sulit menelan ludah.

Bimbang, karena tidak menemukan jawaban yang pas saat itu. Sembilan ribu lima ratus tahun 2000 bukan rupiah yang kecil, mengingat jatah saya sebulan sebesar sepuluh ribu.
Betul juga ya, terlalu sayang uang segitu hanya untuk satu novel. nah, kan? saya ikut membenarkan komentar mereka. 

Tapi setelah membaca isinya, saya merasa beruntung. Sangat. Ada banyak hal yang saya temukan dalam novel itu. Bahkan, pada akhirnya, menjadi ‘teman lain’ di masa remaja saya.

Adalah tentang Aida, yang awalnya enggan ketika harus meneruskan kuliah di pedasaan. Padahal impiannya adalah kampus megah ternama di kota. Namun setelah banyak belajar dari alam desa, kehidupan penduduknya dengan konflik-konfliknya,dari Nurul yang polos dan kadang tak terduga, dari orang-orang dengan kebijaksanaan yang menyejukkan; perlahan-lahan Aida menyadari bahwa kebersahajaan bukan berarti kemandegan atau ketertinggalan.

Lebih dari itu, banyak hal kemudian yang membuatnya sadar untuk senantiasa bersyukur, karena syukur membuat hidup selalu cukup, karena syukur itu…telaga yang tak pernah kering.

Saya belajar banyak dari novel itu. Gaya tutur Mbak Muttaqwiati yang sederhana dan dalam, menyentuh dengan lembut di hati saya. Mengena. Kalimat-kalimatnya, menjelma rumus yang ketika saya menghadapi suatu masalah, bisa saya terapkan untuk mengurainya.

Beberapa waktu kemudian, Allah mengizinkan saya menginjakkan kaki di halaman kampus UIN Malang, dan menjadi salah satu yang memegang KTM, saat itu airmata saya tumpah diam-diam. Saya tak peduli bagaimana harus menghemat. Saya tak peduli hanya punya satu rok yang saya pakai selama 6 hari jam kuliah. Karena bagi saya, bisa kuliah dan belajar banyak hal tentang kehidupan di Malang, adalah salah satu anugerah terindah bagi saya.

Setiap kali ada percikan di hati yang membuat tidak nyaman, saya ingat novel itu, saya ingat satu hal. Syukur adalah telaga yang tak pernah kering. Syukur berhambur, nikmat bertabur. Hingga kini, kalimat itu masih lekat di ingatan saya.

Beberapa hari yang lalu, ketika saya menata rak buku, saya membaca kembali tulisan di halaman belakang yang kosong. buku ini kubeli dari honor pertama menulis. Terima kasih Allah.
Saya ingat, itu honor dari buletin Depag pacitan sebesar lima belas ribu rupiah.

Judul: Aida: Telaga yang Tak Pernah Kering
Penulis: Muttaqwiati
Penerbit: Asy Syaamil
Tahun terbit Nopember 2000

12 komentar:

  1. Aha, di deretan buku itu juga ada 9000 Bintang rupanya. Saya juga punya. Itu novel fiksi remaja islami pertama yang membuat saya terkagum dengan gaya kepenulisan Pipiet Senja. hehe. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Mbak Lia...ehehe iyaa itu deretan novel dna kumcer islami. Lagi pengen baca ulang buku-buku lama. MUngkin koleksi kita mirip-mirip ya :)

      Hapus
  2. jadi pengen baca bukunya...tapi bisa didapatkan dimana novelnya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah udah lama banget, 14 tahun. Mungkin di lapak-lapak tertentu Mbak adanya. :)
      makasih ya sudah mampir :)

      Hapus
  3. oooh...jadi buku ini jadi inspirasi kuat ya mba. Saya dulu juga ada buku yg saya jadikan panutan tapi skrg udah ga tau ada dimana :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak. Bagi saya, isinya ngena dan pas gitu. Eh buku apa? :)
      Makasih Mbak sudah mampir :)

      Hapus
  4. Kayaknya saya orang ganteng pertama yang ngasih komen di sini sepertinya Mbak.. :D Saya juga punya novel serial Aida Mba.. Satu.. Hehe.. kalau gak salah yang judulnya Pendar-pendar gitu (lupa).. Tapi sekarang novel-novel terbitan Syaamil udah jarang beredar kayaknya ya Mba.. Lihat di Gramed jarang ketemu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehehe, ada Mas Untung tuh setelah kamu.
      Yang Pendar-Pendar saya nggak punya. Eh Syamil kan emang sudah nggak ada sekarang.
      Makasih ya sudah mampir :)

      Hapus
  5. Wah, ada DIALOG DUA LAYAR. aku lagi pesan buku kumcer mbak Asma itu via TB Online. pernah bca dulu di pesantren,tapi pinjam.makanya pengin baca ulang. Aida juga pernah baca. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, dulu itu saya beli pas Mbak Asma mau datang ke Malang. Seneng donk berburu tanda tangan plus foto bareng. Sekitar tahun 2002 kalau nggak 2003 itu.
      Kemarin akhirnya dapat kan yang diposting di fb tuh :)

      Hapus
  6. Aida itu kan diriku mbak :D hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya nih, tokohnya datang :D Halo Mbak Aida...:)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...