“Kutanam mawar biru di pojok halaman. Rawat dengan
baik. Kelak ayah akan datang melihat bunganya.”
Aku tidak pernah melupakan satu katapun dari kalimat
itu. Kalimat yang terucap saat senja
keemasan. Setelah beberapa saat ayah jongkok di pojok halaman, menaman sebatang
bunga mawar yang bisa kuhitung daunnya.
Aku diam saja ketika ayah membawa kepalaku dalam
dadanya yang mendamaikan, dan mendekapku
lama. Aku, bahkan bisa mendengar detag jantungnya saat itu. Detag yang cepat.
Sewaktu kutatap mata ayah, ada semburat lain di
sana. Mata itu sepertinya ingin bicara. Tetapi setelah beberapa lama, tetap
saja tak ada suara dari bibir kering dan sejak tadi gemetar itu. Hingga, ayah pergi
tanpa berucap sepatah katapun, setelah
mencium kepalaku beberapa kali. Samar kudengar isakan. Ingin sekali kulihat apa
ada air yang jatuh dari matanya. Namun langkah lebarnya membawanya dengan cepat
lenyap di ujung jalan.
Aku tak pernah tahu kalau itu adalah senja terakhirku
bersama ayah. Melihatnya, dan menyembunyikan kepalaku dalam dekapan dadanya
yang hangat.
Yang aku tahu, ayah selalu pergi di setiap senja?
dan akan datang di senja berikutnya? Jadi aku tak pernah berpikir tentang
apapun saat itu, kecuali dekapannya yang lama, tatapannya yang seakan bicara,
dan tentu saja bunga mawar di pojok halaman.
***
Senja esoknya aku duduk di samping mawar yang bisa
kuhitung daunnya. Penuh harap aku menunggu ayah muncul dari ujung jalan, dengan
langkahnya yang panjang dan mendekatiku. Meraih kepalaku, membawaku ke pelukannya
dan menciumku.
Namun berkali-kali bayangan mendekat, yang muncul
bukan ayah. Tapi orang-orang yang kemudian memandangku lama. Sebagian mereka
bergumam yang bagiku mirip dengan dengungan lalat, “Kasihan…kasihan…” kemudian
pelan-pelan mereka pergi.
Lalu hari-hariku hanya berkutat di pojok halaman. Dari
matahari memanjangkan bayang-bayangku di sebelah barat, hingga matahari
memanjangkan bayanganku di sebelah timur. Aku tak pernah meninggalkan mawar
itu, yang daunnya mulai jatuh satu-satu.
Senja itu, ayah tidak pernah mengatakan kalau daun
mawar itu akan jatuh satu-satu hingga habis tanpa sisa. Ayah hanya mengatakan
bahwa kelak, dia akan datang melihat bunganya. Ayah juga tidak memberitahu
apakah kalau batang mawar kehabisan daun itu artinya bunga akan mati, dan aku tak
usah menunggunya lagi? Atau…aku harus terus menyiramnya hingga tumbuh
tunas-tunas daun baru?
Tidak, aku tidak pernah mengerti. Yang aku tahu
hanyalah, kelak ayah akan datang melihat bunga itu. Dan aku terus berharap,
tidak lagi pada sosoknya yang tiba-tiba muncul di suatu senja dari ujung jalan.
Tapi aku berharap tunas-tunas baru dari batang mawar itu.
Lalu malam-malamku kemudian menjadi malam-malam yang
panjang. Bahkan aku pernah bangun saat purnama
tepat di atas kepala, hanya untuk duduk di pojok halaman, melihat kapan
mawar itu kembali memunculkan daunnya.
***
“Kutanam mawar biru di pojok halaman. Rawat dengan
baik. Kelak aku akan datang melihat bunganya.”
Rasanya, masih segar dalam ingatan, masih terngiang
dalam pendengaran kata-kata ayah di senja itu. Kepadaku, ya, hanya kepadaku.
Yang tak pernah aku tahu, kenapa ibu waktu itu tidak
mencegah ayah. Apakah ibu juga tidak tahu, sama seperti diriku? Atau ibu
seperti biasanya, yang memang tak pernah mengantar ayah pergi di setiap senja?
Aku hanya tahu, setelah senja hilang dan berganti
malam, kulihat ibu masih menghadap halaman belakang. Pundaknya
terguncang-guncang. Tidak ada suara. Dan aku, aku tak berani untuk
memanggilnya, atau mendekatinya. Apakah ibu begitu karena ayah? Aku juga tidak
pernah tahu, karena yang aku tahu, ibu akan begitu setiap ayah pergi di senja
hari.Dan ibu baru akan masuk ke dalam rumah saat azan magrib terdengar.
Mengusap matanya berulang kali, mata yang memerah dan basah.
***
“Kutanam mawar biru di pojok halaman. Rawat dengan
baik. Kelak aku akan datang melihat bunganya.”
Kata-kata itulah yang membuatku selalu bertahan di
sini. Di pojok halaman, berharap senja membawanya kembali. Aku masih ingat di
senja pertama saat mawar itu muncul daunnya satu. Bagiku itu seperti senja yang penuh harapan.
Tiba-tiba semangatku kembali meluap-luap setelah
beberapa senja aku diselimuti kekhawatiran. Bagiku, saat itu, munculnya tunas
baru dari batang mawar adalah kembalinya sebuah harapan. Harapan akan muncul
lagi daun-daun berikutya, lalu akan muncul bunga mawar biru yang selalu
membuatku penasaran. Bahkan lebih dari itu, karena mawar biru berarti ayah akan datang.
Aku juga tidak pernah melupakan bagaimana sulitnya
aku membahasakan perasaanku saat kuncup mawar pertama muncul. Aku bahkan tidak
tidur semalaman.
“Masuklah, nanti kamu sakit” ucap ibu dengan selimut
garis-garis hitam putih yang sudah kusam dari ambang pintu. Aku menggeleng. Aku
tak mau meninggalkan bunga itu. Aku takut jika aku tidak menjaganya, akan ada tangan
jail yang mengambilnya. Atau…akan ada binatang nakal yang memakannya.
Ibu, wanita itu tidak pernah memaksaku. Meski dia
tidak pernah bicara banyak, aku tahu ada banyak kalimat yang tersimpan di
matanya. Seperti juga setiap kali aku enggan pergi dari pojok halaman. Dia akan
masuk ke dalam rumah, mengambil sarung
kumal dan menaruh di punggungku.
Dan di senja yang entah ke berapa, aku memotong
beberapa batang mawar. Kubuat lubang di sampingnya lalu kutanam batang-batang
mawar itu. Persis seperti dulu ayah menanamnya. Dan sejak senja itu aku selalu
melakukan hal yang sama, dengan rasa percaya yang sama. Bahwa dia, lelaki yang
kupanggil ayah itu, akan datang dari ujung jalan. Meski entah kapan.
***
“Kutanam mawar biru di pojok halaman. Rawat dengan
baik. Kelak aku akan datang melihat bunganya.”
Aku bahkan sudah tidak bisa lagi menghitung senja. Sama
seperti aku sudah tidak bisa lagi menghitung bunga-bunga mawar itu. Beberapa
kali orang-orang datang, menawar-nawar ingin membeli mawar-mawar itu, aku tak
pernah memberikannya. Mawar itu bukan dagangan. Mawar itu tidak akan aku
perjual belikan. Bahkan ketika ada orang yang menawarnya dengan
lembaran-lembaran warna merah yang banyak. Aku tetap tak bergeming.
Ingin rasanya aku bertanya kepada ibu. Kenapa ayah
tak jua datang? Aku juga ingin bertanya apakah ibu yakin ayah baik-baik saja?
Apakah ibu tak punya rindu seperti yang kurasakan? Sehingga ibu tak pernah mau
sekalipun menemani aku duduk di dekat mawar-mawar itu saat senja?
Ah! Tapi toh semua itu hanya keinginan saja. Terlalu
sulit aku mengisyaratkan tumpukan tanya itu pada ibu. Karena ucapan-ucapan itu
hanya sampai tenggorokan dan lidahku sulit untuk kugerakkan. Apalagi yang
kupilih selain diam? Sementara ibu justru lebih memilih menghadap halaman
belakang dengan sesekali pundaknya terguncang-guncang.
***
“Kutanam mawar biru di pojok halaman. Rawat dengan
baik. Kelak aku akan datang melihat bunganya.”
Senja ini, halamanku penuh warna biru. Bunga itu
mekar hampir bersamaan. Dan aku tahu, aku tak perlu khawatir kalau akan
kehilangan bunganya. Karena masih banyak kuncup-kuncupnya.
“Mawar biru?”
Aku mencari suara itu, suara yang kukenal, suara
yang tidak pernah kulupakan. Aku sudah tidak bisa lagi menghitung berapa senja
dia pergi. Yang aku tahu, aku menantinya sebanyak bunga yang ada di halaman
ini.
“Mawar biru?” suara itu gemetar, suara seorang
lelaki kurus, dengan cambang dan rambut yang tidak terawat.
“Ayah?” ingin kuucapkan itu, tapi suaraku tak pernah
keluar.
Kami saling berlari mendekat. Aku segera
menyembunyikan kepalaku di dadanya. Dada yang berbeda, dada dengan tulang-tulang
yang menonjol.
“Maafkan ayah ya?”
“Pak?!”
Ibu berlari ke arah kami. Lalu tak ada suara lagi
selain isak ibu dan ayah, juga isakku. Senja tak lagi emas, langit berubah
abu-abu. Kami berpelukan erat.
“Usir dia!”
“Bakar rumahnya!”
“Tak sudi
desa ini diinjak oleh mantan narapidana sepertimu! Pergi!”
Orang-orang itu terus mendekati rumah kami dengan
obor-obor di tangan. Aku melihat ibu gemetar dan ayah yang pucat. Lalu kulihat
bunga-bunga mawar itu semakin banyak bermekaran. Tumbuh tinggi, memagari kami,
memenuhi halaman. Kutarik lengan ayah dan ibu ke dalam rumpun bunga mawar itu.
Lalu kami tenggelam di sana.[]
Aku menahan napas ketika membacanya, dan serasa turut tenggelam ketika sampai ending. Selamat, sahabatku. Jadi inspirasiku, selalu.
BalasHapusMakasih Mbak Adya.
HapusSukses untukmu yaa
Mba, menanti seseorang datang dari ujung jalan... Sesering itukah kau menanti seseorang? :)
BalasHapusBaru baca ini dan yg dimuat di ummi..keduanya menanti seseorang dtg di ujung jln..
Ahaha, masa sih? :D Makasih Mbak Rima
Hapus