Rabu, 20 Januari 2016

[Cerpen] DELING: Gadis Tenun dari Hutan Tarik




Tanah Jawa, 1293
Seorang gadis bernama Deling  selalu bergumam bahwa cita-cita terbesarnya adalah tinggal di istana.
“Lupakan mimpimu, Deling!”  begitu, selalu kata ibunya yang telah renta. “Kau tak akan pernah menyelesaikan tenunanmu jika kau terus berhayal.”
Deling menatap ibunya tak mengerti. Apa yang salah dari keinginannya? Sungguh, dia tak mau selamanya tinggal di hutan, menjadi tukang tenun yang terisolir dari dunia luar. Tak pernah berbicara kecuali kepada ibunya dan buah maja.
Deling berlari di bawah langit senja yang tembaga.
“Berhenti!” Deling yang berlari di antara pohon maja menghentikan langkahnya. Kakinya seperti menancap bumi, sementara lututnya gemetar. Selama ini, tak pernah ada seorang pun yang menyapanya apalagi membentak sedemikian rupa.
“Hai, kau mata-mata ya?”
“Mm…maksud Tuan, mata-mata apa?” Deling menjawab dengan gemetar antara terkejut dan takut.
“Apa kau tidak tahu, bahwa hutan Tarik ini telah menjadi milik kami? Di sini akan didirikan ibu kota kerajaan besar. Jadi, tak seorang pun diijinkan berkeliaran di sini, kecuali yang berkepentingan.”
“Tapi. Tapi Tuan, di sini rumah saya, dan—“
“Berani-beraninya mengaku hutan ini rumahmu?!”
“Ada apa prajurit?”  Suara itu datang dari balik pohon maja. Mereka menoleh bersamaan. Sesosok tinggi besar dengan rambut sebahu, rahang kokoh, alis tebal dan tatapan mata yang tajam, melangkah ke arah mereka.
“Ampun Kanjeng Ranggalawe,” kaya prajurit sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
“Siapa gadis ini?” tanya lelaki berwajah tembaga itu.
“Ampun Paduka. Hamba kira, dia adalah mata-mata.  Hamba bermaksud mengusir dari hutan ini. Namun dengan lancang dia mengaku bahwa hutan ini adalah rumahnya.”
“Siapa kau?” tanya Ranggalawe dengan penuh wibawa.
“Am-pun, Tuan, hamba Deling.” Deling menjawab masih dengan gemetar yang belum hilang.
“Kenapa gadis secantik kamu bisa berada di hutan ini?” Ranggalawe mengerutkan dahinya. Deling menghirup napas, mengumpulkan keberaniannya. “Karena di sini rumah hamba, Tuan.” Tiba-tiba Deling  merasa heran karena dia bisa menjawab dengan lancar.
“Dia pasti bohong, Paduka!” potong prajurit.
“Jangan asal menuduh prajurit! Tuduhan yang tidak benar bisa membuatmu celaka.” Ranggalawe menatap tajam pada prajuritnya yang kemudian menunduk pucat.
“Deling,” kali ini Ranggalawe bicara lebih lunak. “Aku Ranggalawe. Kami adalah prajurit yang diutus oleh paduka raja Aryo Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya membuka hutan Tarik ini. Kelak, di hutan ini akan didirikan ibu kota kerajaan.”
“Kerajaan?” Spontan, Deling menyahut sambil menatap  Ranggalawe. Wajahnya yang tadi menyimpan ketakutan tiba-tiba memancarkan kegembiraan.
“Ya,” Ranggalawe mengangguk, menatap wajah Deling yang sebagian tertutup rambutnya yang dipermainkan angin.
“Akhirnya, impian dan harapanku siang dan malam akan menjadi kenyataan,” Deling berucap dengan mata  berbinar.
“Impian?” Ranggalawe menangkap kalimat Deling.
“Benar Tuan. Hamba dan ibu hamba yang telah renta, selama ini tinggal di hutan ini. Pekerjaan kami menenun. Namun yang membuat hamba sedih, ibu tak pernah mengijinkan hamba keluar hutan. Ibu selalu menjual sendiri kain hasil tenunan. Maka tak ada yang lebih besar dari keinginan hamba selain keluar dari hutan dan tinggal di kerajaan.”
Keberanian Deling dan kelancarannya dalam berbicara membuat Ranggalawe kagum. Baru kali ini dia bertemu  seorang gadis yang berbicara tegas di hadapannya, bahkan dengan tidak segan menceritakan keinginannya.
“Apa aku boleh tahu di mana rumahmu?” Ranggalawe pun tak bisa menahan penasarannya.
“Dengan senang hati, Tuan.”
Kemudian mereka melangkah menyusuri jalan setapak di antara pohon maja.
Kedatangan Deling bersama Ranggalawe membuat ibu Deling terkejut hingga pingsan. Setelah sadar, berkali-kali ibu Deling bersimpuh meminta maaf kepada Ranggalawe.
“Ampunkan anak hamba, Paduka. Deling memang tidak sopan. Hamba berjanji akan lebih keras mendidiknya lagi…” ucapnya dengan suara serak.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ibu. Saya justru kagum dengan keberanian Deling. Tidak ada yang salah dari keinginannya.”
Maka sejak saat itu Ranggalawe dan Deling menjadi teman yang akrab. Selama pembukaan hutan Tarik, Ranggalawe sering berkunjung ke rumah Deling. Melihat gadis dengan bulu mata lentik  itu menenun, sambil mengajaknya berbicara apa saja, selalu membuat Ranggalawe merasa bahagia.
***
“Deling, aku datang!” hari masih pagi ketika Ranggalawe turun dari kudanya. Ibu Deling  memasak di dapur dan Deling melipat kain yang selesai ditenun.
“Aku membawa ini,” ucap Ranggalawe sambil menunjukkan buah hijau segar.
“Itu buah maja, Tuan.” Deling berjalan melewati pintu, menaruh kain di sampiran, lalu mendekati Ranggalawe.
“Kau mau?”
“Em? Untuk apa?” Dahi Deling berkerut.
“Kok tanggapanmu begitu? Tentu saja untuk dimakan. Aku ingin memakannya.”
“Ahaha…” Deling tertawa, terlihat barisan giginya yang seperti biji mentimun. “Itu masih hijau, tidak enak.”
“Ah, kelihatannya segar sekali. Perbekalan kami sudah habis. Jadi aku tadi memerintahkan prajuritku untuk memakan buah ini jika lapar, sebelum makanan kiriman datang.” Selesai berkata demikian, Ranggalawe menaruh buah maja di atas batu, membelah dengan pedangnya lalu menggigitnya.
“Hoeeeek! Cuih! Kenapa kamu tidak bilang  kalau rasanya pahit?” Spontan Ranggalawe memutahkan buah dalam mulutnya. Deling tertawa. “Lho, bukannya sudah hamba bilang? Buah itu masih muda, rasanya tidak enak.”
“Byeh! Pahit sekali!”
Di saat yang sama beberapa prajurit yang memakan buat maja mentah pun merasakan hal yang serupa. Kejadian ini, suatu ketika diceritakan oleh Ranggalawe kepada Raden Wijaya. Hingga akhirnya Raden Wijaya  memutuskan menamai kerajaan itu Majapahit.
***
“Majapahit?!” Deling mengucapkan dengan kekaguman yang terpancar dari matanya, saat Ranggalawe menceritakan hal itu. “Nama yang indah. Hamba tidak menyangka bahwa hutan yang dulu tempat hamba tinggal, benar-benar menjadi kerajaan.”
“Kau senang?” tanya Ranggalawe.
“Tentu saja, Tuan. Hamba akan melamar ke istana untuk menawarkan kain-kain hasil tenun hamba,” jawab Deling.
“Aku yakin, kau pasti akan diterima menjadi tukang tenun istana.”
“Benarkah, Tuan?” kerjap harapan terpancar jelas dari mata Deling.
“Ya, keinginanmu yang kuat, dan hasil tenunanmu yang indah, serta keyakinan yang terpancar dari matamu, membuatku  yakin bahwa impianmu akan tercapai. Datanglah ke istana seminggu lagi, dan bawalah hasil tenun terbaikmu. Raden Wijaya akan mengadakan banyak sayembara untuk merekrut pekerja istana.”
Maka, dengan persiapan yang matang, di hari yang telah ditentukan, datanglah Deling ke istana. Dan, betapa terkejutnya Raden Wijaya melihat kain-kain yang dibawa Deling. Kain hasil tenunannya sangat rapi dan indah
“Wah, baru kali ini aku melihat hasil tenunan yang begitu halus dan rapi. Kau mengerjakannya sendiri?” tanya Raden Wijaya.
“Ampun, Baginda. Ibu hamba yang mengajari hamba. Dan kain ini hamba sendiri yang mengerjakannya.”
Maka, dengan senang hati Raden Wijaya mengangkat Deling sebagai tukang tenun istana. Deling berlari pulang dengan hati bahagia. Dia mengatakan pada ibunya, bahwa ia tak pernah salah bermimpi. Ibunya yang telah renta memeluk Deling dengan hati membuncah bahagia.
Namun, kebahagiaan Deling terasa kurang lengkap ketika dia menyadari bahwa sudah beberapa hari Ranggalawe tidak lagi datang menemuinya. Bahkan ketika hari itu dia harus mulai pindah ke istana. Ranggalawe belum juga datang. Anehnya, Deling juga tidak bertemu Ranggalawe saat dia ke istana.
“Kau menunggunya?” tanya Ibu Deling. Gadis itu mengangguk. Matanya  tak lepas dari ujung jalan. Sesekali dia berjinjit begitu terdengar derap kuda melintas. Namun dia membuang napas panjang karena yang lewat hanya prajurit biasa.
Ketika matahari tak lagi memanjangkan bayang-bayang, Deling memutuskan meninggalkan rumahnya. Mungkin, Ranggalawe memang tak akan pernah menemuinya. Dia sadar, Ranggalawe adalah seorang bangsawan sementara dia hanya seorang tukang tenun. Maka dengan langkah pelan dia berjalan. Ditatapnya sekali lagi sudut-sudut halaman rumahnya. Dia kembali teringat percakapannya dengan Ranggalawe saat mereka bersama-sama.
Dan tepat, saat dia berbelok. Seekor kuda berhenti di depannya.
“Deling?”
“Tuan Ranggalawe?” Deling  merasakan kelegaan yang luar biasa.
“Aku senang kau diterima di istana,” ucap Ranggalawe setelah turun dari kudanya.
“Terima kasih, Tuan.”
“Aku yang ingin mengucapkan terima kasih padamu, Deling. Terima kasih telah menjadi sahabat yang baik untukku selama ini. Aku tak akan pernah melupakanmu.”
Deling tersenyum.
“Aku juga sekalian ingin berpamitan.”
“Berpamitan?” Deling menatap Ranggalawe penuh tanya.
“Ya, aku akan ke Tuban. Ada tugas yang harus aku emban di sana.”
“Jadi,” suara Deling seperti tersangkut di kerongkongan.
Ranggalawe menelan ludah.
“Ya,” ucapnya sambil menangguk, “kau akan tinggal di istana Majapahit seperti cita-citamu. Dan aku akan pergi ke Tuban, menjadi adipati seperti cita-citaku.”
Wajah Deling berubah mendung. Selama bersama baru kali ini Ranggalawe melihat raut kesedihan di wajah manis Deling. Berkali-kali Deling menganjur napas. Matanya tiba-tiba memanas. Ada rasa berat saat mendengar kenyataan itu. Setelah beberapa saat mereka dicekam kebisuan, Deling membuka buntalannya. Diambilnya sebuah benda dari sana.
“Hanya ini yang bisa hamba berikan pada Tuan, sebagai tanda persahabatan kita. Sebuah payung dari kain hasil tenun hamba. Bawalah jika Tuan pergi berperang.”
“Terima kasih, Deling. Aku berjanji akan menyimpannya baik-baik.” Ranggalawe menerima pemberian Deling. “Pergilah, Deling. Dan aku juga akan pergi. Jangan menoleh ke belakang, dan aku juga tak akan menoleh ke belakang,” kata Ranggalawe.
Maka, dengan berat hati, mereka melangkah menuju arah yang berlawanan. Namun, sebelum berbelok, Deling menengok ke belakang. Pipinya telah basah oleh air mata. Dan di saat yang sama Ranggalawe juga menoleh padanya dengan mata yang merah. Mereka sama-sama berhenti. Namun beberapa saat kemudian, Deling kembali melangkah dan tidak menoleh lagi.

***
Bertahun kemudian, hasil tenunan Deling menjadi kebanggaan istana. Bahkan ketika pihak kerajaan membuat motif-motif yang ingin dibubuhkan pada kain, Deling mengerjakannya dengan terampil. Motif-motif yang berabad kemudian dikenal sebagai batik.
Hampir semua kain-kain bermotif yang dipakai keluarga istana adalah hasil tenun dan hasil batik dari tangan Deling. Bahkan Raden Wijaya menginginkan kain-kain penutup meja di seluruh istana. Bendera dan umbul-umbul dengan motif surya majapahit, yakni gambar hiasan segi delapan yang kemudian dikenal sebagai lambang Kerajaan Majapahit, Deling yang mengerjakan.
Maka, dalam usianya yang masih muda, Deling telah menjadi salah satu orang yang dipercaya keluarga kerajaan. Baginya itu suatu anugerah yang luar biasa. Ingin rasanya dia bertemu Ranggalawe, bertukar cerita tentang keberhasilan mereka. Namun hingga musim berubah beberapa kali, Ranggalawe tak pernah menemuinya.
***
Hingga suatu hari, Deling mendengar kabar yang membuat hatinya begitu pilu. Ranggalawe mengadakan pemberontakan. Konon kabarnya, Ranggalawe sulit dilukai karena memakai pelindung payung sakti. Berdesir hati Deling mendengar bahwa Ranggalawe masih menyimpan payung pemberiannya. Dia sungguh tak mengerti kenapa Ranggalawe memberontak. Namun hatinya terus berharap agar Ranggalawe selamat.
Tetapi, berita duka menghampiri, Ranggalawe dan pasukannya terkepung di sungai Tambak Beras. Dan Ranggalawe dinyatakan gugur.
Berhari-hari Deling mengurung diri di kamar. Air matanya tak henti mengalir. Ada rasa yang menyayat hatinya, sama seperti rasa saat kepergian ibunya tak lama setelah ia bekerja di istana. Bagi Deling, sejak saat itu, hidup di istana tak seindah bayangannya. Andai dia boleh memilih, dia lebih suka berada di hutan Tarik, di mana dia bisa bercerita tentang cita-cita bersama Ranggalawe.
Namun  takdir telah berkata.  Hingga musim silih berganti Deling masih merasakan kesedihan yang sama. Hampir semua hal yang dia kerjakan melemparkan ingatannya pada hari-hari yang pernah dilalui bersama Ranggalawe.
Deling bergetar saat menggoreskan canting, dan melukis motif gedeg rubuh, sebuah corak yang mirip anyaman bamboo. Percakapan bersama Ranggalawe membanjiri ingatannya.
“Kenapa namamu Deling?” tanya itu seperti bergema di telinganya.
 “Kata ibu saya, saya lahir di bawah pohon bambu,” Deling bergumam sendiri sambil menahan rasa pedih di hatinya, mengulang jawabannya beberapa tahun lalu.
“Kenapa semua hal yang kulakukan selalu mengingatku padamu, Ranggalawe? Bukankah beberapa hal tak ada kaitannya denganmu sama sekali?” ucap Deling lirih.
Berkali-kali ia mengusap matanya yang basah. Pandangannya yang kabur, membuatnya menaruh kain yang baru separuhnya ia lukis. Motif Mrico bolong, pesanan dari keputren itu belum selesai dikerjakannya. Dia kembali teringatkan  saat Ranggalawe datang sambil mengunyah merica.
“Aku terkena batuk pilek setelah berhari-hari kehujanan.” Begitu jawab Ranggalawe saat Deling bertanya.
Deling menarik nafas panjang. “Aku tak boleh terus menerus seperti ini,” ucapnya dalam hati. “Yang pergi, biarlah pergi. Menangisi tak akan bisa membuatnya kembali.” Deling duduk bersila, memejamkan matanya, menarik napas panjang dan menghembuskan pelan-pelan.
Pada akhirnya, Deling berusaha Mengikhlaskan kepergian Ranggalawe sebagaimana dulu dia berusaha mengikhlaskan kepergian ibunya.
Bermusim-musim berikutnya. Ketika Deling melipat kain-kain yang selesai dia batik, tanpa sadar ia bergumam. “Aku bukan hanya gadis hutan tukang tenun, Ranggalawe. Keyakinanmu terbukti, aku bisa menjadi lebih dari apa adanya diriku ketika aku terus belajar dan mencoba. Tak mudah menjalankan perintah dari pihak istana yang menginginkan motif-motif yang kadang sulit. Aku harus belajar berhari-hari, mencoba berkali-kali sebelum aku benar-benar melukisnya pada kain hasil tenun terbaik. Berkali-kali aku gagal, tapi aku selalu ingat pesanmu; ‘jika kau berhenti pada kegagalanmu kau tak akan pernah tahu di mana kau akan menemui keberhasilanmu’, dan aku membuktikannya kini.”
Deling tersenyum. Dipandangnya kain lebar bergambar daun-daun bambu menjuntai dengan burung merak bertengger di atasnya, motif pring sedapur, pesanan sang permaisuri.
Kau tahu Ranggalawe, keluarga istana, selalu puas dengan hasil kerjaku. Orang-orang selalu memuji kain-kain yang kubuat. Padahal, untuk menghasilkan satu kain batik yang indah, aku selalu menyisakan berlembar-lembar kain yang salah. Ya, orang-orang hanya melihat hasil, sedangkan kau mengajarkan sebuah proses.”
Begitulah, bagi Deling, merelakan Ranggalawe bukan berarti melupakan. Dia masih selalu mengenang dan menggumam berulang-ulang, seperti berbicara pada sahabatnya. Sahabat yang telah meninggalkannya, namun selalu ada di hatinya.
Bertahun-tahun, Deling  menjadi salah satu pegawai istana yang membawahi bagian sandang. Ya, Batik-batik zaman itu masih sebatas dipakai dilingkungan keraton saja, sehingga menjadi sesuatu yang agung dan sangat berharga.
***
Trowulan 2012.
Aku merentangkan kedua tanganku yang kaku. Cerita yang baru saja selesai kutuliskan telah membawaku ke tanah ini. Trowulan. Aku seperti berdiri diantara reruntuhan kota kuno. Bukti-bukti bahwa di sini dulu pernah berdiri ibu kota kerajaan besar, yang menguasai hampir 1/3 nusantara membuatku terpaku.
Jangan lupa, mampir ke  Kampung Batik Mojopahit ya.
Sebuah pesan, muncul di layar ponselku, sekaligus memudarkan lamunanku. Beberapa saat kemudian aku telah berada diantara batik-batik yang dipajang dengan indah. Sungguh aku tak pernah menyangka, dari sinilah batik yang kini mendunia itu berasal.
Kupandangi dan kusentuh satu persatu kain-kain dengan warna sejuk temaram itu. Pring sedapur, mrico bolong, sisik gringsing, koro renteng, rawan indek dan matahari. Nama-nama motif yang unik, yang kini telah dipatenkan.
Sidoarjo,Januari-Februari 2012. 

 *Cerpen ini ada dalam buku Kisah yang Hilang: Dongeng Museum Nusantara

6 komentar:

  1. Seakan masuk ke hutan Tarik dan kerajaan Mojopahit ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, aku sewaktu nulis membayangkan ini kayak sandiwara zaman dulu. Makasih Mbak Heni, sudah mampir :)

      Hapus
  2. Ranggalawe ....ingat kisah heroiknya...pinternya mbak Eni Shabrina, bisa ada kaitan dengan Deling sebagai bagian dari warisan nusantara :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Dwi, itu tadi pas nulis ingat sandiwara zaman dulu, hehehe. Makasih ya Mbak, sudah mampir :)

      Hapus
  3. Cantik
    Secantik dan unik penulisnya
    😍

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...