Tanah Jawa, 1293.
Seorang gadis bernama Deling selalu bergumam bahwa cita-cita terbesarnya
adalah tinggal di istana.
“Lupakan mimpimu, Deling!” begitu, selalu kata ibunya yang telah renta.
“Kau tak akan pernah menyelesaikan tenunanmu jika kau terus berhayal.”
Deling menatap ibunya tak mengerti.
Apa yang salah dari keinginannya? Sungguh, dia tak mau selamanya tinggal di
hutan, menjadi tukang tenun yang terisolir dari dunia luar. Tak pernah
berbicara kecuali kepada ibunya dan buah maja.
Deling berlari di bawah langit
senja yang tembaga.
“Berhenti!” Deling yang berlari di antara
pohon maja menghentikan langkahnya. Kakinya seperti menancap bumi, sementara
lututnya gemetar. Selama ini, tak pernah ada seorang pun yang menyapanya
apalagi membentak sedemikian rupa.
“Hai, kau mata-mata ya?”
“Mm…maksud Tuan, mata-mata apa?”
Deling menjawab dengan gemetar antara terkejut dan takut.
“Apa kau tidak tahu, bahwa hutan
Tarik ini telah menjadi milik kami? Di sini akan didirikan ibu kota kerajaan
besar. Jadi, tak seorang pun diijinkan berkeliaran di sini, kecuali yang
berkepentingan.”
“Tapi. Tapi Tuan, di sini rumah
saya, dan—“
“Berani-beraninya mengaku hutan ini
rumahmu?!”
“Ada apa prajurit?” Suara itu datang dari balik pohon maja.
Mereka menoleh bersamaan. Sesosok tinggi besar dengan rambut sebahu, rahang
kokoh, alis tebal dan tatapan mata yang tajam, melangkah ke arah mereka.
“Ampun Kanjeng Ranggalawe,” kaya
prajurit sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
“Siapa gadis ini?” tanya lelaki
berwajah tembaga itu.
“Ampun Paduka. Hamba kira, dia
adalah mata-mata. Hamba bermaksud mengusir
dari hutan ini. Namun dengan lancang dia mengaku bahwa hutan ini adalah
rumahnya.”
“Siapa kau?” tanya Ranggalawe
dengan penuh wibawa.
“Am-pun, Tuan, hamba Deling.” Deling
menjawab masih dengan gemetar yang belum hilang.
“Kenapa gadis secantik kamu bisa
berada di hutan ini?” Ranggalawe mengerutkan dahinya. Deling menghirup napas, mengumpulkan
keberaniannya. “Karena di sini rumah hamba, Tuan.” Tiba-tiba Deling merasa heran karena dia bisa menjawab dengan
lancar.
“Dia pasti bohong, Paduka!” potong
prajurit.
“Jangan asal menuduh prajurit!
Tuduhan yang tidak benar bisa membuatmu celaka.” Ranggalawe menatap tajam pada
prajuritnya yang kemudian menunduk pucat.
“Deling,” kali ini Ranggalawe
bicara lebih lunak. “Aku Ranggalawe. Kami adalah prajurit yang diutus oleh
paduka raja Aryo Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya membuka hutan Tarik ini.
Kelak, di hutan ini akan didirikan ibu kota kerajaan.”
“Kerajaan?” Spontan, Deling
menyahut sambil menatap Ranggalawe.
Wajahnya yang tadi menyimpan ketakutan tiba-tiba memancarkan kegembiraan.
“Ya,” Ranggalawe mengangguk,
menatap wajah Deling yang sebagian tertutup rambutnya yang dipermainkan angin.
“Akhirnya, impian dan harapanku
siang dan malam akan menjadi kenyataan,” Deling berucap dengan mata berbinar.
“Impian?” Ranggalawe menangkap
kalimat Deling.
“Benar Tuan. Hamba dan ibu hamba
yang telah renta, selama ini tinggal di hutan ini. Pekerjaan kami menenun.
Namun yang membuat hamba sedih, ibu tak pernah mengijinkan hamba keluar hutan.
Ibu selalu menjual sendiri kain hasil tenunan. Maka tak ada yang lebih besar
dari keinginan hamba selain keluar dari hutan dan tinggal di kerajaan.”
Keberanian Deling dan kelancarannya
dalam berbicara membuat Ranggalawe kagum. Baru kali ini dia bertemu seorang gadis yang berbicara tegas di
hadapannya, bahkan dengan tidak segan menceritakan keinginannya.
“Apa aku boleh tahu di mana
rumahmu?” Ranggalawe pun tak bisa menahan penasarannya.
“Dengan senang hati, Tuan.”
Kemudian mereka melangkah menyusuri
jalan setapak di antara pohon maja.
Kedatangan Deling bersama Ranggalawe
membuat ibu Deling terkejut hingga pingsan. Setelah sadar, berkali-kali ibu
Deling bersimpuh meminta maaf kepada Ranggalawe.
“Ampunkan anak hamba, Paduka.
Deling memang tidak sopan. Hamba berjanji akan lebih keras mendidiknya lagi…”
ucapnya dengan suara serak.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan,
Ibu. Saya justru kagum dengan keberanian Deling. Tidak ada yang salah dari
keinginannya.”
Maka sejak saat itu Ranggalawe dan
Deling menjadi teman yang akrab. Selama pembukaan hutan Tarik, Ranggalawe
sering berkunjung ke rumah Deling. Melihat gadis dengan bulu mata lentik itu menenun, sambil mengajaknya berbicara apa
saja, selalu membuat Ranggalawe merasa bahagia.
***
“Deling, aku datang!” hari masih
pagi ketika Ranggalawe turun dari kudanya. Ibu Deling memasak di dapur dan Deling melipat kain yang
selesai ditenun.
“Aku membawa ini,” ucap Ranggalawe
sambil menunjukkan buah hijau segar.
“Itu buah maja, Tuan.” Deling
berjalan melewati pintu, menaruh kain di sampiran, lalu mendekati
Ranggalawe.
“Kau mau?”
“Em? Untuk apa?” Dahi Deling
berkerut.
“Kok tanggapanmu begitu? Tentu saja
untuk dimakan. Aku ingin memakannya.”
“Ahaha…” Deling tertawa, terlihat
barisan giginya yang seperti biji mentimun. “Itu masih hijau, tidak enak.”
“Ah, kelihatannya segar sekali. Perbekalan
kami sudah habis. Jadi aku tadi memerintahkan prajuritku untuk memakan buah ini
jika lapar, sebelum makanan kiriman datang.” Selesai berkata demikian, Ranggalawe
menaruh buah maja di atas batu, membelah dengan pedangnya lalu menggigitnya.
“Hoeeeek! Cuih! Kenapa kamu tidak
bilang kalau rasanya pahit?” Spontan
Ranggalawe memutahkan buah dalam mulutnya. Deling tertawa. “Lho, bukannya sudah
hamba bilang? Buah itu masih muda, rasanya tidak enak.”
“Byeh! Pahit sekali!”
Di saat yang sama beberapa prajurit
yang memakan buat maja mentah pun merasakan hal yang serupa. Kejadian ini,
suatu ketika diceritakan oleh Ranggalawe kepada Raden Wijaya. Hingga akhirnya
Raden Wijaya memutuskan menamai kerajaan
itu Majapahit.
***
“Majapahit?!” Deling mengucapkan
dengan kekaguman yang terpancar dari matanya, saat Ranggalawe menceritakan hal
itu. “Nama yang indah. Hamba tidak menyangka bahwa hutan yang dulu tempat hamba
tinggal, benar-benar menjadi kerajaan.”
“Kau senang?” tanya Ranggalawe.
“Tentu saja, Tuan. Hamba akan
melamar ke istana untuk menawarkan kain-kain hasil tenun hamba,” jawab Deling.
“Aku yakin, kau pasti akan diterima
menjadi tukang tenun istana.”
“Benarkah, Tuan?” kerjap harapan
terpancar jelas dari mata Deling.
“Ya, keinginanmu yang kuat, dan
hasil tenunanmu yang indah, serta keyakinan yang terpancar dari matamu, membuatku
yakin bahwa impianmu akan tercapai.
Datanglah ke istana seminggu lagi, dan bawalah hasil tenun terbaikmu. Raden
Wijaya akan mengadakan banyak sayembara untuk merekrut pekerja istana.”
Maka, dengan persiapan yang matang,
di hari yang telah ditentukan, datanglah Deling ke istana. Dan, betapa
terkejutnya Raden Wijaya melihat kain-kain yang dibawa Deling. Kain hasil
tenunannya sangat rapi dan indah
“Wah, baru kali ini aku melihat
hasil tenunan yang begitu halus dan rapi. Kau mengerjakannya sendiri?” tanya
Raden Wijaya.
“Ampun, Baginda. Ibu hamba yang
mengajari hamba. Dan kain ini hamba sendiri yang mengerjakannya.”
Maka, dengan senang hati Raden
Wijaya mengangkat Deling sebagai tukang tenun istana. Deling berlari pulang
dengan hati bahagia. Dia mengatakan pada ibunya, bahwa ia tak pernah salah bermimpi.
Ibunya yang telah renta memeluk Deling dengan hati membuncah bahagia.
Namun, kebahagiaan Deling terasa
kurang lengkap ketika dia menyadari bahwa sudah beberapa hari Ranggalawe tidak
lagi datang menemuinya. Bahkan ketika hari itu dia harus mulai pindah ke
istana. Ranggalawe belum juga datang. Anehnya, Deling juga tidak bertemu
Ranggalawe saat dia ke istana.
“Kau menunggunya?” tanya Ibu
Deling. Gadis itu mengangguk. Matanya tak lepas dari ujung jalan. Sesekali dia
berjinjit begitu terdengar derap kuda melintas. Namun dia membuang napas panjang
karena yang lewat hanya prajurit biasa.
Ketika matahari tak lagi
memanjangkan bayang-bayang, Deling memutuskan meninggalkan rumahnya. Mungkin,
Ranggalawe memang tak akan pernah menemuinya. Dia sadar, Ranggalawe adalah
seorang bangsawan sementara dia hanya seorang tukang tenun. Maka dengan langkah
pelan dia berjalan. Ditatapnya sekali lagi sudut-sudut halaman rumahnya. Dia
kembali teringat percakapannya dengan Ranggalawe saat mereka bersama-sama.
Dan tepat, saat dia berbelok.
Seekor kuda berhenti di depannya.
“Deling?”
“Tuan Ranggalawe?” Deling merasakan kelegaan yang luar biasa.
“Aku senang kau diterima di
istana,” ucap Ranggalawe setelah turun dari kudanya.
“Terima kasih, Tuan.”
“Aku yang ingin mengucapkan terima
kasih padamu, Deling. Terima kasih telah menjadi sahabat yang baik untukku
selama ini. Aku tak akan pernah melupakanmu.”
Deling tersenyum.
“Aku juga sekalian ingin
berpamitan.”
“Berpamitan?” Deling menatap Ranggalawe
penuh tanya.
“Ya, aku akan ke Tuban. Ada tugas
yang harus aku emban di sana.”
“Jadi,” suara Deling seperti
tersangkut di kerongkongan.
Ranggalawe menelan ludah.
“Ya,” ucapnya sambil menangguk,
“kau akan tinggal di istana Majapahit seperti cita-citamu. Dan aku akan pergi
ke Tuban, menjadi adipati seperti cita-citaku.”
Wajah Deling berubah mendung.
Selama bersama baru kali ini Ranggalawe melihat raut kesedihan di wajah manis
Deling. Berkali-kali Deling menganjur napas. Matanya tiba-tiba memanas. Ada
rasa berat saat mendengar kenyataan itu. Setelah beberapa saat mereka dicekam
kebisuan, Deling membuka buntalannya. Diambilnya sebuah benda dari sana.
“Hanya ini yang bisa hamba berikan
pada Tuan, sebagai tanda persahabatan kita. Sebuah payung dari kain hasil tenun
hamba. Bawalah jika Tuan pergi berperang.”
“Terima kasih, Deling. Aku berjanji
akan menyimpannya baik-baik.” Ranggalawe menerima pemberian Deling. “Pergilah,
Deling. Dan aku juga akan pergi. Jangan menoleh ke belakang, dan aku juga tak
akan menoleh ke belakang,” kata Ranggalawe.
Maka, dengan berat hati, mereka
melangkah menuju arah yang berlawanan. Namun, sebelum berbelok, Deling menengok
ke belakang. Pipinya telah basah oleh air mata. Dan di saat yang sama
Ranggalawe juga menoleh padanya dengan mata yang merah. Mereka sama-sama berhenti.
Namun beberapa saat kemudian, Deling kembali melangkah dan tidak menoleh lagi.
***
Bertahun kemudian, hasil tenunan Deling
menjadi kebanggaan istana. Bahkan ketika pihak kerajaan membuat motif-motif
yang ingin dibubuhkan pada kain, Deling mengerjakannya dengan terampil.
Motif-motif yang berabad kemudian dikenal sebagai batik.
Hampir semua kain-kain bermotif
yang dipakai keluarga istana adalah hasil tenun dan hasil batik dari tangan
Deling. Bahkan Raden Wijaya menginginkan kain-kain penutup meja di seluruh istana.
Bendera dan umbul-umbul dengan motif surya majapahit, yakni gambar
hiasan segi delapan yang kemudian dikenal sebagai lambang Kerajaan Majapahit,
Deling yang mengerjakan.
Maka, dalam usianya yang masih muda,
Deling telah menjadi salah satu orang yang dipercaya keluarga kerajaan. Baginya
itu suatu anugerah yang luar biasa. Ingin rasanya dia bertemu Ranggalawe,
bertukar cerita tentang keberhasilan mereka. Namun hingga musim berubah
beberapa kali, Ranggalawe tak pernah menemuinya.
***
Hingga suatu hari, Deling mendengar
kabar yang membuat hatinya begitu pilu. Ranggalawe mengadakan pemberontakan.
Konon kabarnya, Ranggalawe sulit dilukai karena memakai pelindung payung sakti.
Berdesir hati Deling mendengar bahwa Ranggalawe masih menyimpan payung
pemberiannya. Dia sungguh tak mengerti kenapa Ranggalawe memberontak. Namun
hatinya terus berharap agar Ranggalawe selamat.
Tetapi, berita duka menghampiri,
Ranggalawe dan pasukannya terkepung di sungai Tambak Beras. Dan Ranggalawe
dinyatakan gugur.
Berhari-hari Deling mengurung diri
di kamar. Air matanya tak henti mengalir. Ada rasa yang menyayat hatinya, sama
seperti rasa saat kepergian ibunya tak lama setelah ia bekerja di istana. Bagi
Deling, sejak saat itu, hidup di istana tak seindah bayangannya. Andai dia
boleh memilih, dia lebih suka berada di hutan Tarik, di mana dia bisa bercerita
tentang cita-cita bersama Ranggalawe.
Namun takdir telah berkata. Hingga musim silih berganti Deling masih
merasakan kesedihan yang sama. Hampir semua hal yang dia kerjakan melemparkan
ingatannya pada hari-hari yang pernah dilalui bersama Ranggalawe.
Deling bergetar saat menggoreskan
canting, dan melukis motif gedeg rubuh, sebuah corak yang
mirip anyaman bamboo. Percakapan bersama Ranggalawe membanjiri ingatannya.
“Kenapa namamu Deling?” tanya
itu seperti bergema di telinganya.
“Kata ibu saya, saya lahir di bawah pohon
bambu,” Deling bergumam sendiri sambil menahan rasa pedih di hatinya, mengulang
jawabannya beberapa tahun lalu.
“Kenapa
semua hal yang kulakukan selalu mengingatku padamu, Ranggalawe? Bukankah
beberapa hal tak ada kaitannya denganmu sama sekali?” ucap
Deling lirih.
Berkali-kali ia mengusap matanya
yang basah. Pandangannya yang kabur, membuatnya menaruh kain yang baru
separuhnya ia lukis. Motif Mrico bolong, pesanan dari keputren itu belum
selesai dikerjakannya. Dia kembali teringatkan
saat Ranggalawe datang sambil mengunyah merica.
“Aku terkena batuk pilek setelah
berhari-hari kehujanan.” Begitu jawab Ranggalawe saat Deling bertanya.
Deling menarik nafas panjang. “Aku tak
boleh terus menerus seperti ini,” ucapnya dalam hati. “Yang pergi, biarlah
pergi. Menangisi tak akan bisa membuatnya kembali.” Deling duduk bersila,
memejamkan matanya, menarik napas panjang dan menghembuskan pelan-pelan.
Pada akhirnya, Deling berusaha
Mengikhlaskan kepergian Ranggalawe sebagaimana dulu dia berusaha mengikhlaskan
kepergian ibunya.
Bermusim-musim berikutnya. Ketika Deling
melipat kain-kain yang selesai dia batik, tanpa sadar ia bergumam. “Aku bukan
hanya gadis hutan tukang tenun, Ranggalawe. Keyakinanmu terbukti, aku bisa
menjadi lebih dari apa adanya diriku ketika aku terus belajar dan mencoba. Tak
mudah menjalankan perintah dari pihak istana yang menginginkan motif-motif yang
kadang sulit. Aku harus belajar berhari-hari, mencoba berkali-kali sebelum aku
benar-benar melukisnya pada kain hasil tenun terbaik. Berkali-kali aku gagal,
tapi aku selalu ingat pesanmu; ‘jika kau berhenti pada kegagalanmu kau tak akan
pernah tahu di mana kau akan menemui keberhasilanmu’, dan aku membuktikannya
kini.”
Deling tersenyum. Dipandangnya kain lebar
bergambar daun-daun bambu menjuntai dengan burung merak bertengger di atasnya,
motif pring
sedapur, pesanan sang permaisuri.
“Kau tahu Ranggalawe, keluarga istana, selalu puas
dengan hasil kerjaku. Orang-orang selalu memuji kain-kain yang kubuat. Padahal,
untuk menghasilkan satu kain batik yang indah, aku selalu menyisakan
berlembar-lembar kain yang salah. Ya, orang-orang hanya melihat hasil, sedangkan kau
mengajarkan sebuah proses.”
Begitulah, bagi Deling, merelakan
Ranggalawe bukan berarti melupakan. Dia masih selalu mengenang dan menggumam
berulang-ulang, seperti berbicara pada sahabatnya. Sahabat yang telah
meninggalkannya, namun selalu ada di hatinya.
Bertahun-tahun, Deling menjadi salah satu pegawai istana yang
membawahi bagian sandang. Ya, Batik-batik zaman itu masih sebatas dipakai
dilingkungan keraton saja, sehingga menjadi sesuatu yang agung dan sangat
berharga.
***
Trowulan 2012.
Aku merentangkan kedua tanganku yang kaku.
Cerita yang baru saja selesai kutuliskan telah membawaku ke tanah ini. Trowulan.
Aku seperti berdiri diantara reruntuhan kota kuno. Bukti-bukti bahwa di sini
dulu pernah berdiri ibu kota kerajaan besar, yang menguasai hampir 1/3
nusantara membuatku terpaku.
Jangan lupa, mampir ke Kampung Batik Mojopahit ya.
Sebuah pesan, muncul di layar ponselku, sekaligus memudarkan lamunanku. Beberapa saat kemudian
aku telah berada diantara batik-batik yang dipajang dengan indah. Sungguh aku
tak pernah menyangka, dari sinilah batik yang kini mendunia itu berasal.
Kupandangi dan kusentuh satu
persatu kain-kain dengan warna sejuk
temaram itu. Pring sedapur, mrico bolong, sisik gringsing, koro
renteng, rawan indek dan matahari. Nama-nama motif yang unik, yang kini telah
dipatenkan.
Sidoarjo,Januari-Februari
2012.
*Cerpen ini ada dalam buku Kisah yang Hilang: Dongeng Museum Nusantara
Seakan masuk ke hutan Tarik dan kerajaan Mojopahit ...
BalasHapusHehehe, aku sewaktu nulis membayangkan ini kayak sandiwara zaman dulu. Makasih Mbak Heni, sudah mampir :)
HapusRanggalawe ....ingat kisah heroiknya...pinternya mbak Eni Shabrina, bisa ada kaitan dengan Deling sebagai bagian dari warisan nusantara :)
BalasHapusMbak Dwi, itu tadi pas nulis ingat sandiwara zaman dulu, hehehe. Makasih ya Mbak, sudah mampir :)
HapusCantik
BalasHapusSecantik dan unik penulisnya
😍
Jadi ingat Tutur Tinular.
BalasHapus