Selasa, 12 Januari 2016

Langkah yang Gemetar [Republika 23 Agustus 2015]

Langkah yang Gemetar adalah cerpen pertama yang dimuat Republika. Dulu, seringkali email mental sampai kadang merasa mungkin alamatnya yang salah.
Tapi, memang alamatnya ya ini: sekretariat@republika.co.id 
Setelah email terkirim pun bukan berarti naskah mulus di meja redaksi. Saya mengirim hingga beberapa cerpen.
Republika akan memberi kabar jika naskah diterima, biasanya di hari Kamis. 
Jadi kalau kirim ke sana, silakan cek email di hari Kamis ya :) 

Cerpen ini selain tayang di Republika.co.id  juga tayang di Kliping Sastra.
Selamat membaca :) 




Jika Yaroh dilahirkan kedua kali ke dunia ini, dia pasti tetap memilih untuk dipertemukan dengan Khoz. Seorang lelaki yang mengajarinya membawa lebih sedikit daripada yang ditinggalkan. Mengambil secukupnya daripada yang dia berikan pada alam.
            “Karena bumi diciptakan bukan hanya untuk kau dan aku,” Begitu selalu ucap Khoz.
            Mereka bertemu 44 tahun yang lalu, ketika Khoz  ditugaskan menjadi mandor hutan di wilayah hutan pinus pegunungan Gembes.
            Yaroh masih ingat benar, bagaimana  tanggapan orang-orang desanya perihal kedatangan Khoz. Waktu itu, pak Lurah mengumpulkan semua warga di balai desa dan Khoz untuk pertama kalinya mengenalkan diri.
            “Saya mengajak semua yang ada di sini untuk sama-sama menjaga setiap jengkal tanah yang kita pijak.”
            Tapi kemudian sebagian warga menganggap Khoz terlalu banyak aturan. Orang-orang yang sebelumnya menjadi kelompok penebang kayu dan menjualnya kepada pengepul dari daerah lain, merasa sangat terganggu dengan lembaran-lembaran aturan yang ditunjukkan Khoz.
            “Tuhan menciptakan bumi ini untuk kita. Kita boleh menebang kayu-kayu hutan itu. Tapi yang sudah mencapai usia tertentu. Yang tidak boleh adalah menebang untuk dijual demi kepentingan pribadi. Karena hutan ini milik kita bersama. Kayu-kayunya, sumber airnya diberikan Tuhan untuk kita semua. Silakan kalau mau mengambil untuk membuat rumah. Yang penting, kita mengganti dengan menanam 10 pohon dari 1 pohon yang kita ambil.”
            Para guluk –sebutan untuk penebang dan pemikul kayu—merasa mata pencaharian mereka tertutup. Mereka menganggap semua yang disampaikan Khoz omong kosong, dan masih tetap menebang kayu di malam hari. Tapi Khoz mencari cara lain. Lelaki itu mendekati para hansip.
            “Bapak-bapak adalah orang-orang pilihan, pemegang tugas mulia di desa ini. Tak jauh beda dengan prajurit, polisi, tentara….”
            Dan para hansip yang biasanya hanya dikumpulkan untuk lomba baris berbaris menjelang Agustusan itu terbakar semangatnya. Mereka merasa bahwa keberadaan mereka benar-benar berharga, bukan hanya diakui setahun sekali untuk menghibur warga dalam lomba gerak jalan dan panjat pinang. Tapi, seragam, sepatu dan tongkat mereka adalah simbul tugas mulia.
Maka, entah bagaimana, ratusan anggota hansip itu bersama penduduk lainnya sepakat untuk kembali mengaktifkan ronda malam. Termasuk salah satunya mengahalangi para guluk malam mengangkut kayu dari hutan.
            Khoz juga mendekati anak-anak yang gemar menangkap ayam hutan, burung dan monyet-monyet.
            “Mereka juga punya keluarga seperti kita. Bayangkan jika ibumu tak pulang dari pasar. Bagaimana perasaanmu jika bapakmu tak kembali dari ladang?” Begitulah cara Khoz mengambil hati anak-anak.
            Tak berhenti sampai di situ, Khoz juga datang ke acara-acara di sekolah-sekolah. Bahkan setiap malam, Khoz berusaha datang ke mushola yang berbeda untuk lebih dekat dengan warga.
            Maka, tidak butuh waktu lama, keberadaan Khoz sudah menjadi buah bibir. Lelaki itu memang serba biasa dalam penampilannya. Tapi, semua hal yang memancar dari dalam dirinya, membuat para gadis-gadis desa di jaman itu diam-diam bermimpi untuk menjadi labuhan hati bagi Khoz.
            Nyatanya, pada Yarohlah, Khoz mempercayakan rumah bagi hatinya. Tak ada kemewahan apapun yang dijanjikan lelaki itu. Dari awal mereka telah sepakat untuk hidup menyatu dengan alam. Yaroh yang lahir dari keluarga petani tak mempermasalahkan hal itu.
            Kadang Yaroh dengan senang hati ikut Khoz patroli hutan sambil membawa benih-benih tanaman.
            “Siapa yang memanennya Khoz?” Begitu awalnya tanggapan Yaroh, untuk segala benih tanaman yang ditanam lelaki itu di tepi hutan.
            “Burung-burung. Monyet. Orang-orang yang mungkin lewat. Tak ada yang mubadzir. Kalaupun membusuk dan jatuh ke bumi, mereka tetap berguna sebagai penyubur tanah.”
            Bagi Khoz, tak perlu memikirkan hal yang besar untuk melakukan sesuatu yang luar biasa. Perlakukan alam tempatmu berdiri dengan baik. Itu saja prinsipnya. Seringkali Yaroh berpikir, terbuat dari apa hati lelaki itu?
Bertahun-tahun kemudian Khoz telah menjadi salah satu inspirasi bagi masyarakat di sekitar pegunungan Gembes. Namun, begitu pensiun, Khoz mengajak Yaroh untuk pulang ke bekas rumah orang tuanya. Karena bagi Khoz, masih ada hal yang harus dia lakukan.
Dan, di sinilah mereka kini berada. Tinggal tak jauh dari bantaran sungai Grindulu. Satu-satunya sungai yang menjadi denyut jantung warga Pacitan.
Setiap hari, Khoz akan mendayung geteknya menyusuri sungai grindulu. Mengambil sampah-sampah, membabat eceng gondok, atau menanam bibit-bibit yang dibawanya.
            Lelaki itu juga tak segan-segan menegur jika kebetulan memergoki warga yang membuang sampah ke sungai.
            “Sia-sia saja…” komentar sebagian orang.
            Tapi begitulah Khoz, baginya kebaikan sekecil apapun tak ada yang sia-sia.
            “Saya mendaftarkan bapak menjadi kandidat orang-orang yang peduli lingkungan.” Suatu hari, seorang pemuda yang sering melihat kegiatan Khoz, mendekatinya.
            “Oh!” Lelaki itu kaget. Lalu buru-buru menggeleng. “Jangan! tidak perlu. Aku tidak mencari itu.”
            “Tapi, dengan muncul ke publik, bapak akan menjadi inspirasi. Siapa tahu banyak anak muda yang akan mengikuti apa yang bapak lakukan?” Pemuda itu memohon. Dan lelaki tua itu tak bisa menolak.
            Ketika pada akhirnya Khoz berdiri di panggung, menerima penghargaan dan berjabat tangan dengan pak Bupati, sejak itulah profilnya mulai muncul di koran-koran. Di situs-situs lingkungan hidup, dan suaranya beberapa kali terdengar dari radio.
            “Itu semua, buah yang layak kau petik dari apa yang selama ini kau tanam Khoz.” Yaroh menanggapi dengan bangga.
            “Bulan depan aku ikut pelatihan di Centre for Orangutan Protection. Aku akan magang setahun di cabang mereka. Dan tahun depan aku akan daftar sekolah polisi kehutanan.” Julang, cucu satu-satunya, dari anak lelaki semata wayang mereka, sangat memuja Khoz. “Aku akan mengikuti jejak eyang.” Begitu ucap remaja 18 tahun itu.            “Eyang bangga padamu.”
Yaroh bisa melihat dengan jelas binar dari mata Khoz.
Itu sebelum dua hari kemarin. Ketika Khoz masih bangun dengan wajah berseri-seri. Kerutan-kerutan usia bahkan tak bisa menyembunyikan kebahagiaan lelaki itu.
Tapi semua hilang sejak dua hari kemarin. Baru dua hari, namun seakan merenggut semua yang dimiliki Khoz. Bahkan berjalan saja, Khoz gemetaran. Wajahnya pucat. Matanya layu.
“Itu bukan salahmu, Khoz.” Yaroh memeluk lelaki yang sangat dicintainya itu.
“Tapi aku gagal…” bahu Khoz melorot. “Aku seperti karung tua tak berharga.”
Sepanjang kebersamaan mereka, baru hari ini Yaroh melihat air mata merembesi pipi Khoz.
“Jangan berkata begitu…” Yaroh sekuat tenaga menahan agar tak menangis. Tapi nyatanya, kedua pasangan lanjut usia itu tersedu-sedu di beranda.
“Aku malu,” suara Khoz serak. “Aku gagal.”
“Jaya sudah dewasa. Biar hukum yang memproses.”
Kedua manula itu sama-sama berharap semua hanya mimpi dan mereka selekasnya bangun. Tapi tertangkapnya Jaya, anak semata wayang mereka sebagai salah satu tersangka jaringan penjualan satwa langka menjadi pukulan menyakitkan bagi mereka. Terutama Khoz. Kejadian itu bahkan tak berselang lama dari penghargaan yang diterimanya.
 “Ini ujian Khoz. Berat. Sakit.” Yaroh mengelus punggung suaminya. “Tapi Julang pasti lebih tertekan. Cucu kita pasti merasa lebih sakit lagi. Kita harus kuat untuknya.”
Khoz menarik napas panjang. Lalu berdiri dan meraih topi bambunya. Dia berjalan gemetar, melintasi jalan tanah menuju tepi sungai Grindulu.
Yaroh mengusap matanya yang berkaca-kaca. Tepat ketika dua orang yang mengaku wartawan memasuki halaman rumahnya.
“Apakah benar ini rumah pak Khoz, ayah dari Jayadi, alias Jaya?”
Yaroh, wanita dengan rambut bersemburat putih itu menganjur napas dalam. Dia  membuang pandangannya ke kejauhan. Di bantaran sungai Grindulu, Khoz terlihat berdiri, membungkuk, berdiri, membungkuk. Memasukkan bibit-bibit bakau ke dalam perahu kayunya.[]

5 komentar:

  1. Suka dengan semangat mba eni shab nulis cerpen. Aku kadang kepengen, tp selalu ga pede hehe. Cerpen ini ngingetin aku pada seorang penulis islami yg bahkan anaknya sendiri lepas jilbab. Hff.. Memang mudah memberitahu orang lain tp tidak mudah memberitahu keluarga sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku kan terinspirasi juga dari semangatmu Mbaaak. :)
      Makasih sudah mampir yaaa :)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...