Tapi, memang alamatnya ya ini: sekretariat@republika.co.id
Setelah email terkirim pun bukan berarti naskah mulus di meja redaksi. Saya mengirim hingga beberapa cerpen.
Republika akan memberi kabar jika naskah diterima, biasanya di hari Kamis.
Jadi kalau kirim ke sana, silakan cek email di hari Kamis ya :)
Cerpen ini selain tayang di Republika.co.id juga tayang di Kliping Sastra.
Selamat membaca :)
Jika
Yaroh dilahirkan kedua kali ke dunia ini, dia pasti tetap memilih untuk
dipertemukan dengan Khoz. Seorang lelaki yang mengajarinya membawa lebih
sedikit daripada yang ditinggalkan. Mengambil secukupnya daripada yang dia
berikan pada alam.
“Karena bumi diciptakan bukan hanya
untuk kau dan aku,” Begitu selalu ucap Khoz.
Mereka bertemu 44 tahun yang lalu,
ketika Khoz ditugaskan menjadi mandor
hutan di wilayah hutan pinus pegunungan Gembes.
Yaroh masih ingat benar,
bagaimana tanggapan orang-orang desanya
perihal kedatangan Khoz. Waktu itu, pak Lurah mengumpulkan semua warga di balai
desa dan Khoz untuk pertama kalinya mengenalkan diri.
“Saya mengajak semua yang ada di
sini untuk sama-sama menjaga setiap jengkal tanah yang kita pijak.”
Tapi kemudian sebagian warga
menganggap Khoz terlalu banyak aturan. Orang-orang yang sebelumnya menjadi
kelompok penebang kayu dan menjualnya kepada pengepul dari daerah lain, merasa
sangat terganggu dengan lembaran-lembaran aturan yang ditunjukkan Khoz.
“Tuhan menciptakan bumi ini untuk
kita. Kita boleh menebang kayu-kayu hutan itu. Tapi yang sudah mencapai usia
tertentu. Yang tidak boleh adalah menebang untuk dijual demi kepentingan
pribadi. Karena hutan ini milik kita bersama. Kayu-kayunya, sumber airnya
diberikan Tuhan untuk kita semua. Silakan kalau mau mengambil untuk membuat
rumah. Yang penting, kita mengganti dengan menanam 10 pohon dari 1 pohon yang
kita ambil.”
Para guluk –sebutan untuk penebang dan pemikul kayu—merasa mata
pencaharian mereka tertutup. Mereka menganggap semua yang disampaikan Khoz
omong kosong, dan masih tetap menebang kayu di malam hari. Tapi Khoz mencari
cara lain. Lelaki itu mendekati para hansip.
“Bapak-bapak adalah orang-orang
pilihan, pemegang tugas mulia di desa ini. Tak jauh beda dengan prajurit,
polisi, tentara….”
Dan para hansip yang biasanya hanya
dikumpulkan untuk lomba baris berbaris menjelang Agustusan itu terbakar
semangatnya. Mereka merasa bahwa keberadaan mereka benar-benar berharga, bukan
hanya diakui setahun sekali untuk menghibur warga dalam lomba gerak jalan dan
panjat pinang. Tapi, seragam, sepatu dan tongkat mereka adalah simbul tugas
mulia.
Maka,
entah bagaimana, ratusan anggota hansip itu bersama penduduk lainnya sepakat
untuk kembali mengaktifkan ronda malam. Termasuk salah satunya mengahalangi
para guluk malam mengangkut kayu dari
hutan.
Khoz juga mendekati anak-anak yang
gemar menangkap ayam hutan, burung dan monyet-monyet.
“Mereka juga punya keluarga seperti
kita. Bayangkan jika ibumu tak pulang dari pasar. Bagaimana perasaanmu jika
bapakmu tak kembali dari ladang?” Begitulah cara Khoz mengambil hati anak-anak.
Tak berhenti sampai di situ, Khoz juga
datang ke acara-acara di sekolah-sekolah. Bahkan setiap malam, Khoz berusaha
datang ke mushola yang berbeda untuk lebih dekat dengan warga.
Maka, tidak butuh waktu lama,
keberadaan Khoz sudah menjadi buah bibir. Lelaki itu memang serba biasa dalam
penampilannya. Tapi, semua hal yang memancar dari dalam dirinya, membuat para
gadis-gadis desa di jaman itu diam-diam bermimpi untuk menjadi labuhan hati
bagi Khoz.
Nyatanya, pada Yarohlah, Khoz
mempercayakan rumah bagi hatinya. Tak ada kemewahan apapun yang dijanjikan
lelaki itu. Dari awal mereka telah sepakat untuk hidup menyatu dengan alam.
Yaroh yang lahir dari keluarga petani tak mempermasalahkan hal itu.
Kadang Yaroh dengan senang hati ikut
Khoz patroli hutan sambil membawa benih-benih tanaman.
“Siapa yang memanennya Khoz?” Begitu
awalnya tanggapan Yaroh, untuk segala benih tanaman yang ditanam lelaki itu di
tepi hutan.
“Burung-burung. Monyet. Orang-orang
yang mungkin lewat. Tak ada yang mubadzir. Kalaupun membusuk dan jatuh ke bumi,
mereka tetap berguna sebagai penyubur tanah.”
Bagi Khoz, tak perlu memikirkan hal
yang besar untuk melakukan sesuatu yang luar biasa. Perlakukan alam tempatmu
berdiri dengan baik. Itu saja prinsipnya. Seringkali Yaroh berpikir, terbuat
dari apa hati lelaki itu?
Bertahun-tahun
kemudian Khoz telah menjadi salah satu inspirasi bagi masyarakat di sekitar
pegunungan Gembes. Namun, begitu pensiun, Khoz mengajak Yaroh untuk pulang ke
bekas rumah orang tuanya. Karena bagi Khoz, masih ada hal yang harus dia
lakukan.
Dan,
di sinilah mereka kini berada. Tinggal tak jauh dari bantaran sungai Grindulu. Satu-satunya
sungai yang menjadi denyut jantung warga Pacitan.
Setiap
hari, Khoz akan mendayung geteknya
menyusuri sungai grindulu. Mengambil sampah-sampah, membabat eceng gondok, atau
menanam bibit-bibit yang dibawanya.
Lelaki itu juga tak segan-segan menegur
jika kebetulan memergoki warga yang membuang sampah ke sungai.
“Sia-sia saja…” komentar sebagian
orang.
Tapi begitulah Khoz, baginya
kebaikan sekecil apapun tak ada yang sia-sia.
“Saya mendaftarkan bapak menjadi
kandidat orang-orang yang peduli lingkungan.” Suatu hari, seorang pemuda yang
sering melihat kegiatan Khoz, mendekatinya.
“Oh!” Lelaki itu kaget. Lalu
buru-buru menggeleng. “Jangan! tidak perlu. Aku tidak mencari itu.”
“Tapi, dengan muncul ke publik,
bapak akan menjadi inspirasi. Siapa tahu banyak anak muda yang akan mengikuti
apa yang bapak lakukan?” Pemuda itu memohon. Dan lelaki tua itu tak bisa
menolak.
Ketika pada akhirnya Khoz berdiri di
panggung, menerima penghargaan dan berjabat tangan dengan pak Bupati, sejak
itulah profilnya mulai muncul di koran-koran. Di situs-situs lingkungan hidup,
dan suaranya beberapa kali terdengar dari radio.
“Itu semua, buah yang layak kau
petik dari apa yang selama ini kau tanam Khoz.” Yaroh menanggapi dengan bangga.
“Bulan depan aku ikut pelatihan di
Centre for Orangutan Protection. Aku akan magang setahun di cabang mereka. Dan
tahun depan aku akan daftar sekolah polisi kehutanan.” Julang, cucu
satu-satunya, dari anak lelaki semata wayang mereka, sangat memuja Khoz. “Aku
akan mengikuti jejak eyang.” Begitu ucap remaja 18 tahun itu. “Eyang bangga padamu.”
Yaroh
bisa melihat dengan jelas binar dari mata Khoz.
Itu
sebelum dua hari kemarin. Ketika Khoz masih bangun dengan wajah berseri-seri.
Kerutan-kerutan usia bahkan tak bisa menyembunyikan kebahagiaan lelaki itu.
Tapi
semua hilang sejak dua hari kemarin. Baru dua hari, namun seakan merenggut
semua yang dimiliki Khoz. Bahkan berjalan saja, Khoz gemetaran. Wajahnya pucat.
Matanya layu.
“Itu
bukan salahmu, Khoz.” Yaroh memeluk lelaki yang sangat dicintainya itu.
“Tapi
aku gagal…” bahu Khoz melorot. “Aku seperti karung tua tak berharga.”
Sepanjang
kebersamaan mereka, baru hari ini Yaroh melihat air mata merembesi pipi Khoz.
“Jangan
berkata begitu…” Yaroh sekuat tenaga menahan agar tak menangis. Tapi nyatanya,
kedua pasangan lanjut usia itu tersedu-sedu di beranda.
“Aku
malu,” suara Khoz serak. “Aku gagal.”
“Jaya
sudah dewasa. Biar hukum yang memproses.”
Kedua
manula itu sama-sama berharap semua hanya mimpi dan mereka selekasnya bangun.
Tapi tertangkapnya Jaya, anak semata wayang mereka sebagai salah satu tersangka
jaringan penjualan satwa langka menjadi pukulan menyakitkan bagi mereka.
Terutama Khoz. Kejadian itu bahkan tak berselang lama dari penghargaan yang
diterimanya.
“Ini ujian Khoz. Berat. Sakit.” Yaroh mengelus
punggung suaminya. “Tapi Julang pasti lebih tertekan. Cucu kita pasti merasa
lebih sakit lagi. Kita harus kuat untuknya.”
Khoz
menarik napas panjang. Lalu berdiri dan meraih topi bambunya. Dia berjalan
gemetar, melintasi jalan tanah menuju tepi sungai Grindulu.
Yaroh
mengusap matanya yang berkaca-kaca. Tepat ketika dua orang yang mengaku
wartawan memasuki halaman rumahnya.
“Apakah
benar ini rumah pak Khoz, ayah dari Jayadi, alias Jaya?”
Yaroh,
wanita dengan rambut bersemburat putih itu menganjur napas dalam. Dia membuang pandangannya ke kejauhan. Di
bantaran sungai Grindulu, Khoz terlihat berdiri, membungkuk, berdiri,
membungkuk. Memasukkan bibit-bibit bakau ke dalam perahu kayunya.[]
Suka dengan semangat mba eni shab nulis cerpen. Aku kadang kepengen, tp selalu ga pede hehe. Cerpen ini ngingetin aku pada seorang penulis islami yg bahkan anaknya sendiri lepas jilbab. Hff.. Memang mudah memberitahu orang lain tp tidak mudah memberitahu keluarga sendiri.
BalasHapusAku kan terinspirasi juga dari semangatmu Mbaaak. :)
HapusMakasih sudah mampir yaaa :)
cerpenya bagus
BalasHapusInspiration, I love that :)
BalasHapusThanks ya sudah baca :)
Hapus