![]() |
Foto Pinterest |
Aku
terbangun ketika mendengar lelaki itu terbatuk-batuk. Tubuh kurusnya menggeliat
beberapa kali, lalu kembali tidur. Aku mengubah posisi dudukku, mendongak pada awan yang dihalau angin. Menyalak saat kulihat bulan redup tergelincir ke
balik punggung bukit.
“Ghrook…ghrook..”
Lelaki
itu kembali bersuara. Aku menjulurkan kepala, menjilat kakinya, menemukan aroma
yang sangat kukenali. Aku menyebut aroma tanpa tuan. Lelaki itu memang selalu
berkeliaran sepanjang siang. Seperti aku. Kami berjalan mencari apa saja yang
bisa masuk ke lambung kami.
Lalu
di malam hari, kami akan sama-sama tersungkur di pos gardu ini. Lelaki itu
segera meringkuk beralaskan kain yang sudah tak jelas warnanya. Tapi aku masih
ingat, apa warna kain persegi panjang itu dulu. Aku juga masih ingat apa
gambarnya. Lelaki itu, meringkuk, dengan baju yang sudah robek di beberapa
bagiannya, memeluk buntalan karung kusam.
Aku
masih ingat, sejak kapan lelaki itu menyeret langkahnya ke sana-kemari, dan
tidur di mana saja dia menguap. Seperti aku yang menganggap sepanjang jalan
adalah rumahku. Menganggap gardu tua ini sebagai tempat tidur ternyamanku. Dan
pada akhirnya aku harus sering mengalah
ketika dia menempatinya, meski aku telah menandainya dengan air kencing sebagai
batas teritori. Namun dia tidak
peduli. Dan sejak saat itu kami berbagi
tempat di gardu tua ini.
Aku
menyalak lagi dan lelaki itu menggeliat, menggumam tidak jelas sambil mengusap
liur yang meleleh di ujung bibirnya, lalu
meringkuk lagi. Aku melengkungkan badanku, berputar beberapa kali, menjilati
korengku dan akhirnya menaruh kepalaku di kakinya.
Baru
saja aku memejamkan mata, kudengar
suara-suara yang semakin mendekat, aku bangun lagi. Memutar tubuhku, menatap
beberapa orang yang lewat. Mereka membawa benda-benda gemuk di punggung. Sebagian
di pundak, dan beberapa pria membawanya dengan memikul. Kaki-kaki mereka
seperti punya mata, dengan lincah menghindari lubang-lubang yang bergenang air.
Sejak
jembatan yang menghubungkan desa ini dengan desa seberang terputus, aku tak
pernah lagi melihat kendaraan yang lewat. Sejak saat itu pula orang-orang
berjalan beramai-ramai setiap pagi. Aku pernah mengikuti mereka, yang ternyata
masuk ke sungai menuju seberang sana. Sebagian badan orang-orang itu terendam
hingga lutut. Beberapa naik rakit bamboo,
berpegang pada seutas tali yang dibentangkan.
Aku
sendiri, tidak peduli jembatan itu ambruk atau berdiri. Sungai itu meluap atau
kering. Sebagai anjing kampung yang lahir di sini, aku tak pernah ke desa seberang.
Aku cukup berkeliaran di wilayahku sendiri saja. Mencari makan dari
tempat-tempat sampah dan melongok ke rumah-rumah warga. Kadang kalau beruntung
aku akan mendapat makanan yang dilempar ibu-ibu dari balik pintu dapurnya. Kalau
tidak, aku terpaksa mengorek-ngorek tempat sampah, bergantian dengan beberapa
kucing-kucing liar.
Perihal
lelaki kurus itu sendiri, aku punya kenangan khusus tentangnya. Dulu, ketika
aku masih muda, sebuah truk menyerempetku. Kakiku terluka dan tak sanggup
berjalan. Lalu lelaki itu datang, membawaku pulang. Membalut luka-luka dan
memberiku makan. Berhari-hari aku meringkuk di samping halaman menunggu
luka-lukaku kering. Ketika aku berangsur sembuh, dia melepasku kembali ke
jalanan. Namun setiap aku datang, dia masih sering melempariku makanan.
Tulang-tulang. Kue basi. Gorengan jamuran.
Hingga
suatu hari, di rumah lelaki kurus –yang waktu itu masih gemuk dengan perut
buncit-- sering didatangi banyak orang.
Beberapa berpakaian bagus, tapi beberapa orang memakai baju yang sama. Warnanya
sama, dan ada gambar dipunggungnya. Beberapa orang di antara mereka,
merentangkan kain lebar di depan rumah itu. Lalu beberapa kain dengan warna yang
sama tiba-tiba memenuhi jalan-jalan desa. Tidak hanya itu, beberapa hari kemudian,
bermacam-macam kain berdesakan di pinggir jalan. Ada yang diikat dengan kayu,
tapi ada juga yang dipaku di pohon. Aku bahkan sering mendengar pohon-pohon itu
menjerit kesakitan.
Satu
hal yang tak pernah kumengerti, beberapa hari kemudian orang-orang berbondong-bondong ke lapangan desa, memakai
baju dengan warna dan gambar yang sama. Mereka berdiri di bawah sinar matahari
yang garang, mendengarkan beberapa orang yang berteriak-teriak di panggung.
Setelah itu seorang penyanyi membuat semua badan bergoyang-goyang. Lalu kulihat
wajah-wajah penuh peluh pulang menuju rumah masing-masing.
Esoknya
lagi, orang-orang kembali berkumpul di lapangan desa, memakai baju yang sama
tapi dengan warna dan gambar yang berbeda dari kemarin. Begitu seterusnya untuk
beberapa hari. Aku juga melihat wajah-wajah manusia yang sangat besar menempel di papan lebar dan berdiri di
pinggir-pinggir jalan. Tersenyum, siang dan malam.
Aku
bahkan sangat terkejut, ketika melewati rumah lelaki kurus itu –yang dulu masih
gendut dengan perut buncit—di depan rumahnya, wajahnya yang jauh lebih besar
menempel di papan, tersenyum kepadaku. Dia tidak mengusirku sama sekali saat
aku lewat, bahkan saat tak sengaja aku menumpahkan sampah. Aku semakin heran,
saat di beberapa perempatan desa, aku menemui wajahnya menempel di kayu-kayu
dan di pohon-pohon. Berdesakan dengan wajah-wajah lain yang saling tersenyum di
antara kain-kain yang berkibar.
“Pilih
siapa?”
“Pilih
semua saja!”
Ya,
berhari-hari, sejak kain warna-warni berdesakan dengan wajah-wajah senyum itu,
aku sering mendengar orang-orang berbicara berbisik-bisik. Menyebut nama si ini
yang begini, juga si itu yang begitu. Aku hanya bisa menegakkan telingaku,
mendengarkan mereka diam-diam dan menyimpannya dalam ingatanku. Tidak, aku
tidak akan mengatakan pada siapapun, juga kepadamu.
Dan,
waktu menjawab semuanya. Aku menunggui gunungan sampah di depan balai desa
ketika beberapa orang mengucapkan bunyi
“Sah! Tidak sah! Tidak sah! Sah! Sah! Tidak sah.” Begitu seterusnya hingga
matahari bersembunyi di balik gunung sebelah barat.
Saat
aku ingin pulang ke gardu ini, aku melewati rumah lelaki kurus itu—waktu itu
masih gemuk dengan perut buncit—beberapa orang meninggalkan rumahnya tanpa
senyum.
“Edaaan!
Goblook!” Entah siapa yang berteriak dari dalam rumah itu. Lalu kudengar
tangisan dan aku pergi begitu saja, meringkuk di gardu desa yang gelap.
Beberapa
orang yang lewat berbisik, “Banyak yang rusak.”
Kejadian
itu terjadi beberapa tahun lalu, saat itu aku masih cukup muda, berkeliaran ke
mana-mana. Mengorak-ngorek beberapa tempat sampah, mencari sisa-sisa makanan
yang masih terasa nikmat di lidah.
Sekarang
aku sudah tidak sekuat dulu lagi. Beberapa bagian tubuhku luka-luka, berdarah
dan bernanah. Beberapa anak kecil sering berteriak padaku, “Anjing gilaaa…anjing
gilaaa!” sambil melempariku batu.
Aku
hanya bisa menyalak, lalu berlari dan baru berhenti saat aku yakin anak-anak
itu tidak lagi mengejarku. Aku terkapar dengan nafas tersengal, sesekali
menjilati lukaku. Saat itulah dari arah yang berbeda, anak-anak kecil mengarak
lelaki kurus itu sambil berjoget, “Ooorang gilaaa…ooorang gilaa!”
Memang
itulah, satu hal yang sama antara aku dengan lelaki kurus—yang dulu masih
gendut dengan perut yang buncit—itu. Beberapa hari setelah orang-orang tanpa
senyum meninggalkan rumahnya, anak dan istrinya juga pergi. Dia berdiam
sendiri, duduk di halaman, hingga dua orang datang dan menempel kertas di pintu
rumahnya. Lalu dia menyeret kakinya meninggalkan rumah itu dengan menyampirkan
karung di pundaknya.
Sejak
saat itu, aku sering melihatnya bicara sendiri. Tertawa sendiri. Bahkan
menangis sendiri. Berapa kali aku melihat air mata yang membasahi wajahnya yang
ditumbuhi cambang liar. Lalu hari-harinya akan dihabiskan dengan berkeliling
menyusuri jalan-jalan desa. Mengambil apa saja yang menarik perhatiannya, lalu
memasukkan ke dalam karung. Daun kering, sampah busuk, sobekan kain, sandal
jepit putus, apa saja, apa saja. Dan aku senang mengikutinya.
Orang-orang
hanya memandangnya sambil berbisik-bisik, “Kasihan ya…kasihan…” sementara yang
lain menanggapi, “Dia pernah jadi orang besar, sekarang dia gelandangan. Dulu
kita wong cilik, sampai sekarang tetap wong cilik. Dia menang apa kalah ndak
ngaruh sama kita…”
Namun
beberapa orang masih ada yang sering memberi dia makan di atas daun pisang.
Lalu dia akan makan dengan lahap, menyuap besar-besar. Biasanya dia akan
menyisakan makanannya untukku. Setelah selesai makan, aku menjilat wajahnya
sebagai ucapan terima kasihku. Dia hanya diam.
Ya,
tak ada kesepakatan apapun antara aku dan lelaki kurus itu. Kalau aku berbagi
tempat dengannya di malam hari, itu sebagai ucapan terima kasihku karena dia
sering menyisakan makanannya untukku. Aku
pernah ingin sekali punya keluarga. Punya tuan tempat aku mengabdi dan punya
rumah untuk pulang. Aku dulu sering memimpikan bagaimana rasanya tidur di dalam
rumah-rumah yang hangat itu.
Dan
kini, aku merasa lelaki kurus ini telah menjadi keluargaku. Tak masalah siapa
yang menjadi tuan diantara kami berdua. Yang aku tahu, sebagai anjing kampung
yang sudah tua dan sakit-sakitan, aku selalu menggeser tubuhku menyisakan
tempat untuknya. Kami saling berhimpitan mengusir hawa dingin saat malam
berhujan.
Kami bersama telah begitu lama. Bulan sudah
berubah berulang ulang, musim sudah berganti berkali-kali. Lelaki itu semakin
sering terlambat bangun. Kadang kudengar dia terbatuk. Lalu merintih-rintih.
Tapi sejak kemarin lelaki itu hanya diam. Aku menjilati wajahnya. Dingin. Aku
mendorong dengan mocongku. Dia masih tak bergerak. Aku menyalak-nyalak lebih
keras. Tapi lelaki itu tetap diam.[]
Perihnya sebuah kekalahan jika tujuan awal berjuang sekedar "kemenangan semu" :(
BalasHapusDan, binatang selalu tulus :)
HapusSelalu suka dengan gaya bercerita Mbak Shabrina.. :)
BalasHapusAlhamdulillah. Makasih Mbak Arinta :)
HapusBaguss bangettt..
BalasHapusAku Suka, Kak :D
Kerennn ^^
BalasHapusSelalu suka dengan gaya bercerita Mbak Shabrina.. :)
BalasHapusWow!!!!!
BalasHapusWow!!!!!
BalasHapusMba Shabrina ini ya, 'nakal' deh bikin geregetan bacanya.
BalasHapusSedih endingnya ...
BalasHapusSedih endingnya ...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus