Rabu, 17 Februari 2016

Kelinci Tiga Bulan


Aku Ciki, kelinci berbulu putih, dengan ujung hidung yang hitam. Aku tinggal bersama keluargaku di kandang yang tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu kecil.

Kandangku terbuat dari kawat-kawat yang dianyam. Kandang kami memanjang dan berpetak-petak. Setiap petak berisi kelinci yang sama. Kadang berisi tiga, kadang juga empat, tetapi selalu besarnya sama. Kelinci kecil dengan kelinci kecil. Kelinci besar dengan kelinci besar.

Oh ya, kuberitahu dulu, kami tidak membangun kandang sendiri, itu semua adalah peternakan kelinci milik Pak Marno.

Tetapi, aku, yang baru berusia dua bulan, masih tinggal bersama ibu dan tiga saudaraku yang lain. Ibuku sering berpesan kepada kami, bahwa suatu hari nanti, kami harus siap berpisah dengan ibu. Karena, Pak Marno selalu memisahkan kelinci-kelinci yang berumur tiga bulan dari induknya. Bahkan ada yang baru berusia dua setengah bulan sudah dipisahkan dari induknya!

Aku tidak pernah bertanya kepada ibu kenapa harus begitu. Tentu saja aku ingin tahu. Tapi, aku selalu takut membayangkan hidup berpisah dari ibu. Mengerikan rasanya tiba-tiba harus menjauh dari punggung ibu yang hangat.

Aku tidak tahu seberapa lama tiga bulan itu. Aku belum banyak pengalaman. Yang aku tahu, setiap bangun pagi, aku masih bersama ibu dan dua saudaraku yang lain. Namun, aku selalu mengintip ke kandang-kadang lain. Ibu sering berpesan agar kami tidak takut. Kami harus berani.

Biasanya, setiap pagi Pak Marno selalu mengambil beberapa kelinci untuk dibawa keluar. Kadang kelinci itu ada yang kembali di sore hari. Tetapi banyak juga yang tidak kembali. Kelinci-kelinci besar biasanya jarang kembali ke kandang.
***
Suatu pagi, Pak Marno mendekati kandang kami. Tak ada makanan di tangannya. Aku mendekati ibu. Ibu menatap Pak Marno dengan mata berair.
"Waktunya kalian pindah kelinci-kelinci manis," kata Pak Marno.

Aku semakin merapatkan badanku ke punggung ibu. Tiba-tiba.
"Hup!"
Tangan Pak Marno menangkap dua saudaraku, kemudian dengan cepat dimasukkan ke kandang yang lain. Aku melihat mereka mencakar-cakar dinding kawat. Tapi Pak Marno segera menutup pintunya. Aku melompat ke balik punggung ibu saat Pak Marno kembali mendekat.
"Ayo anak manis. Jangan takut."

Aku benar-benar gemetar. Kulihat mata ibu yang basah. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada ibu, tetapi tangan Pak Marno yang kuat lebih dulu mencengkeram kedua telingaku. Aku dibawa ke kandang lain, berkumpul bersama saudaraku.

Kami bertiga mencakar-cakar. Membuat bunyi berisik. Ibu menatap kami dari jauh. Pak Marno sudah pergi, tapi tak lama kemudian dia kembali lagi. Kali ini, dengan jagung-jagung di keranjang. Ibu diberinya sepotong. Tapi ibu tidak menyentuhnya. Ibu duduk di sudut kandang. Terus menatap ke arah kami.

Satu hari, dua hari, tiga hari. Kami masih bisa melihat ibu yang duduk diam di pojok kandang. Tetapi di hari berikutnya. Ibu tak ada lagi di sana. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu ibu.

Tak lama setelah itu, aku pun dibawa pergi dari kandang. Itulah awal petuanganku. Petualangan yang membutuhkan banyak keberanian.[]

Cuplikan dari novel Petualangan Ciki Kelinci.
Diterbitkan oleh Bestari Zikrul Hakim tahun 2010.

 *Gambar kelinci dari pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...