Rabu, 10 Februari 2016

Lon, sebuah prolog*

Lon
foto dari pinterest

Langit berselimut gumpalan awan kelabu. Udara dingin menembus kulitku, seakan menusuk ke dalam tulang. Daun-daun masih basah, bergoyang ditiup angin. Kuhirup aroma sisa hujan semalam sambil menatap sosoknya.

Seperti kemarin-kemarin, setiap kali hujan datang dia selalu duduk di sini, di atas batu menghadap sungai Talau yang membelah kampung. Memeluk erat kakinya dengan dagu bertopang di lutut. Matanya tak lepas dari air kecoklatan yang mengalir deras. Sementara bibirnya terkatup rapat.

Dia selalu begitu setiap kali hujan tiba. Berdiam lama dalam posisi yang sama. Kadang aku memandanginya lekat-lekat, memastikan kalau dia tidak berubah menjadi patung. Biasanya, aku akan merasa karena melihat gerakan punggungnya yang samar naik turun.

Meski aku tak suka berdiam lama dalam udara yang dingin, namun tidak ada keinginanku sedikitpun untuk meninggalkannya.

Sejak hari itu, hari terakhir kali aku elihat Royo, hari kami beriringan menempuh perjalanan panjang ke arah matahari tenggelam, aku bisa merasakan ada kesedihan yang terpancar dari matanya.

Aku masih ingat sepanjang jalan itu dia terus mengusap pipinya yang basah. Bibirnya gemetar dan menggumamkan kata yang tak kumengerti. 

Selama berhari-hari aku tak pernah melihat senyumnya. Bahkan dia menjadi jarang bersuara. Rambutnya dibiarkan berantakan, dan sebagian menutupi wajahnya.

Setelah beberapa musim berganti dan kami tak pernah berjalan ke timur lagi, aku baru menyadari bahwa banyak hal telah berubah. Tak ada aroma bunga kopi yang berjatuhan. Tak ada aroma Royo yang selalu kurindukan.

Lalu sejak itu aku tahu, naluriku semakin kuat meyakini, bahwa apapun yang terjadi, aku berjanji pada diriku sendiri, akan terus di sampingnya dan mengikuti kemanapun dia pergi.

Maka, jika kau bertanya padaku apa yang kuinginkan di dunia ini. Aku akan menjawab, pertama aku ingin melihat senyumnya, dan yang kedua aku ingin kembali bertemu dengan Juanito dan Royo.

Namun, apakah kau yakin, esok matahari akan terbit lagi, setelah tenggelam senja ini?

Ya, inilah aku. seekor anjing tua yang menyimpan cerita tentang Marsela. Dia telah memberiku banyak hal sempurna. Dan mengakui bahwa aku ada dalam hidupnya, bagiku itu sesuatu yang luar biasa. Mungkin tak banyak anjing yang seberuntung diriku.

Maka, ketika aku tak bisa memberi lebih dari yang dia berikan, aku hanya bisa membalas dengan kesetiaan. Terus mengikutinya kemana pun dia pergi, hingga kakiku tak sanggup melangkah lagi.[]

*Prolog dalam novel Always Be in Your Heart.

2 komentar:

  1. kembali terlempar ke ermera, ke luasnya kebun kopi tempat sela dan juanito bercerita-cerita saat remaja...

    BalasHapus
  2. Ayo kita ke Ermera :D metik kopi hihihi

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...