Menjelang
tengah malam, Jas mematikan traktornya. Aku segera meniup lampu minyak di meja.
Tak berapa lama, terdengar kecipak air dari kamar mandi di belakang rumah. Aku
tak bersuara, hingga pintu terbuka, dan cahaya bulan menghambur masuk
ruangan. Aku bisa melihat bayangan Jas
yang melangkah masuk.
“Kamu selalu pulang jam segini?”
“Ibu?”
Aku menyulut lampu minyak di meja.
“Kapan Ibu datang?” Jas duduk di
depanku, sambil mengusap rambutnya yang basah.
“Sore tadi. Ibu bawa opor, biar
kupanasi dulu.”
“Bu, jangan repot-repot.”
Tanpa bicara, aku menuju pojok
ruangan dengan lampu minyak di tangan. Menaruh pada papan kecil di dinding kayu,
kemudian menyalakan kompor, dan menjerang panci tanggung berisi opor.
Aroma harum segera memenuhi ruangan
tanpa sekat ini.
“Ayo makan.”
Tak
lama, kami telah duduk menghadap meja kayu. Dalam cahaya lampu minyak, aku masih bisa
melihat jakun Jas bergerak, menelan ludah.
Dia
menyendok sepotong besar lontong berlumur kuah opor. Aku mengamati tak berkedip.
Tenggorokanku seperti dipenuhi dedak jagung ketika suapan-suapan berikutnya, Jas
mengunyah seperti orang yang berbulan-bulan tidak makan.
Untuk
beberapa saat, hanya terdengar bunyi sendok dan kerupuk.
“Jadi kamu baru masak sepulang dari
sawah tengah malam begini?” tanyaku, setelah Jas mengosongkan piringnya. Aku
bertanya begitu karena sewaktu aku datang tak ada makanan.
Dia mengangguk. “Sekalian untuk
sarapan.”
“Kamu menyiksa dirimu sendiri.”
“Hanya mengejar masa tanam, Bu.”
Aku
menatap Jas lekat-lekat. Cambangnya tumbuh tak beraturan. Rambutnya menyentuh
tengkuk. Wajahnya yang dulu bersih, kini coklat kehitaman terbakar matahari.
Betapa cepat waktu mengubahnya.
“Ibu
minta maaf…”
Jas mengangkat kepala.
“Akhir-akhir ini ibu menyadari ada
keputusan masa lalu yang keliru.”
“Ibu tidak perlu minta maaf.” Jas
melipat kedua tangannya di atas meja. “Mbak Yun berhasil kan?”
“Tapi—“ Aku menelan ganjalan di tenggorokanku.
“Aku tidak apa-apa, Bu.”
***
Rasanya baru kemarin, kami bertengkar di meja
makan. Terbayang jelas, Jas masih mengenakan
seragam abu-abu putih. Dia berteriak tak terima, ketika kukatakan itu terakhir kali dia sekolah,
karena kami akan meninggalkan Jawa dan transmigrasi
ke Sumatra. Dia merasa tidak adil.
Kami memang memutuskan pergi setelah
Pak Lurah memberitahu, bahwa di tanah trans peluang Yuni yang lulusan SPG, untuk
di angkat menjadi pegawai negeri lebih terbuka. Lagipula, saat itu hampir semua
harta kami habis untuk membiayai sekolah Yuni selama tiga tahun.
Aku berjanji Jas akan sekolah lagi.
Tapi, aku salah, jangankan melanjutkan SMA, bahkan SMP-pun berjarak ratusan
kilo jauhnya. Di wilayah transmigrasi hanya ada satu sekolah SD.
Yuni memang menjadi guru, tetapi
butuh proses beberapa tahun untuk diangkat menjadi pegawai negeri. Sementara Jas,
tumbuh menjadi pemuda pemberontak dan pemalas. Dia sama sekali tak mau turun ke
sawah. Setiap kali bapaknya mengajak bekerja, Jas justru mengungkit semua hal
tentang dirinya. Sekolah, masa depan. Dan menimpakan kesalahan padaku yang
berujung pada pertengkaran.
Jas baru berubah bertahun-tahun
kemudian, ketika dia jatuh hati pada Marini, seorang guru pendatang baru. Dia
mulai mau turun ke sawah. Berkecipak dengan lumpur. Lalu memberanikan diri
melamar Marini. Dan, mereka menikah.
Aku merasakan tahun-tahun kelegaan.
Setidaknya, Jas tidak hidup sebagai pengangguran. Sebagai kepala rumahtangga,
dia cukup bertanggung jawab, dan menjalani hari-hari sebagaimana umumnya para
petani trans. Hingga anak-anak mereka lahir, dan tumbuh besar.
Tetapi, aku seorang ibu. Aku bisa merasakan ada
sesuatu yang terjadi pada kehidupan Jas. Apalagi ketika dia memilih tinggal di
pondok ladang dari pada tinggal di rumahnya.
“Kalian bertengkar?” tanyaku waktu itu.
“Hanya berselisih paham.”
Tetapi,
suatu siang, ketika aku hendak mengantar kue untuk cucuku, tanpa sengaja, aku
mendengar pertengkaran hebat antara Jas dan Marini. Menantuku bicara panjang lebar. Perihal kegagalan
panen, cara kerja Jas yang tidak tepat, mengungkit latar belakang pendidikan,
hingga harta.
Rasanya
kepalaku mendidih saat itu. Aku kembali berjalan pulang dengan sempoyongan. Aku
menunggu Jas bercerita. Tetapi dia selalu bilang semua baik-baik saja.
Malam-malamku tak pernah tenang
setelah mendengar pertengkaran itu. Aku selalu diliputi rasa bersalah pada Jas.
Ketika aku mengatakan semuanya pada suamiku, dia justru menyalahkan aku karena
telah menguping rumah tangga Jas.
***
Sekarang, aku di sini, benar-benar
melihat dengan mata kepala bagaimana anak lelakiku bekerja membanting tulang
tanpa kenal waktu. Ingin kukatakan padanya, bahwa sebagai kepala rumah tangga
dia harus tegas. Ingin kukatakan padanya, bahwa sebagai mertua, aku telah
terluka oleh kata-kata istrinya. Tetapi, melihat Jas duduk kelelahan dan nampak
lebih tua dari usianya, aku menelan kembali semua kalimat yang kusiapkan di
sepanjang perjalanan.
“Ayo kita tidur,” ucapku memecah
keheningan.
Jas mengangguk. Dia berdiri dan membersihkan
ranjang kayu beralas tikar. “Tapi tak ada kasurnya.”
“Di hutan pun ibu bisa tidur.”
Kami berbaring bersisihan dalam
keremangan cahaya lampu minyak yang bergoyang-goyang ditiup angin. Tak lama,
terdengan dengkur halus Jas. Aku mengingat sesuatu dan membangunkannya.
“Jas.”
“Jas.”
Tak ada jawaban. Aku miring ke arah
Jas, mengulurkan tangan ingin menggoyangkan tubuhnya, tetapi buru-buru kutarik
kembali.
Kutatap wajah Jas yang kelelahan.
Bahkan dalam tidur pun, terlihat garis-garis di dahinya. Aku ingat, terakhir
kali kami tidur bersisihan adalah saat dia selesai dikhitan. Setelah itu, Jas
benar-benar tak pernah berbaring di sampingku.
Andai dulu, kami bertahan untuk
tidak pergi hingga Jas lulus sekolahnya, apakah kejadiannya akan lain? Apakah
Jas akan memiliki kehidupan yang lebih membahagiakannya?
Masalahnya, dulu aku tak pernah
berpikir mengirim kembali Jas ke Jawa untuk melanjutkan sekolahnya. Padahal
saat itu, mungkin penghasilan kami cukup untuk membiayai Jas. Tetapi, aku
justru selalu memarahinya dan menuntutnya bekerja di sawah dengan bapaknya.
Memikirkan semua itu, aku tak bisa
tidur. Bagaimana perasaan Jas, menjalani malam-malam sendiri di tempat
terpencil seperti ini? Tiba-tiba pikiran lain kembali melintas. Aku menatap Jas
dan berniat membangunkannya.
“Jas.”
Kali ini, aku menepuk-nepuk lengannya.
“Jas.”
“Hm.” Jas bergerak. “Bu? kenapa?”
“Apa kamu sudah Isya?”
“Aduh!” Jas bangun seketika. “Aku
bahkan belum Magrib, Bu.” Jas turun dari ranjang dan tergesa berjalan keluar.
Aku merasakan kelegaan ketika
mendengar kecipak air dari kamar mandi belakang.
“Jangan terbiasa menunda sholat,”
kataku begitu dia masuk.
“Aku biasa pulang magrib dan balik
lagi setelah isya,” kata Jas ketika kembali ke dalam rumah. “Tapi tadi
nanggung, jadi kuteruskan.”
Jas mengambil tikar gulung dari
pojok ruangan, menggelar di lantai dan berdiri di sana. Mataku memanas saat melihat
Jas yang rukuk dan sujud seperti itu. Kukira, ketika dia menghadapi masalah dan
menjauh dari keluarga, dia juga menjauh dari yang Maha Kuasa. Ternyata
kekhawatiranku tak terbukti.
Aku tidur dengan perasaan lega.
Paginya, ketika bangun, Jas bahkan sudah menyiapkan dua gelas kopi di meja.
“Jadi kemarin Ibu ke sini di antar
siapa?” tanya Jas setelah aku selesai Subuh.
“Naik ojek.” Aku berjalan medekati
kompor dan membuka dandang yang berisi nasi. “Aku minta dijemput lagi nanti jam
delapan.”
“Jaga kesehatanmu, Jas,” kataku lagi
sambil menarik kursi.
“Sena ingin kuliah ke Jawa, Bu. Jadi
aku harus bekerja keras.”
Aku menyesap kopiku. Kalimat Jas
membuatku tak bisa bicara. Aku tahu sekarang. Jas tak ingin Sena mengalami
nasib seperti dirinya. Aku mengerti, kenapa Jas memilih mengalah pada istrinya.
Itu dia lakukan demi anak-anaknya. Dan, aku tak perlu memberi komentar apapun,
yang bisa jadi justru terkesan menghakiminya.
Pagi itu, sepanjang jalan
meninggalkan pondok Jas, kulafalkan doa-doa untuk Jas, anak lelakiku yang
pernah kukecewakan, dulu.[]
Sidoarjo Februari 2016
Ngena banget Mbak. Suka ^_^
BalasHapusMakasih, Hana, sudah mampir :)
HapusSelamat berjuang, jas. Anak lelaki hebat bagi setiap ibu
BalasHapusYa, Jas, anak lelaki hebat bagi setiap ibu, dan bapak hebat untuk anaknya :)
HapusYa Allah.... aku berharap menjadi ibu yang terus berjuang untuk anak-anak, aku kesampingkan sis hatiku yang lain. Selamat berjuang, Jas!
BalasHapusSemoga kita jadi ibu yang baik untuk anak-anak kita :)
Hapuslike this...
BalasHapusbtw. mau tanya dikit nih.. masa tanam sama pulang malam itu korelasinya seperti apa? apakah seharian penuh sampai hari gelap seorang petani harus di sawah?
makasih sebelumnya..
Sebelum sawah siap tanam, harus dibajak dulu. Nah, pekerjaan membajak ini yang membuat Jas bekerja tak kenal waktu, demi mencapai target. Di awal ada traktor soalnya. Begitu ya, mbak Shabrina? :)
HapusEniwey, selamat mbak. Cara bertutur mbak selalu manis dan smooth.
Mbak Prima, makasih sudah mampir. :)
HapusIya bener seperti yang dikatakan Mas Irvan. Jas mengejar masa tanam. Karena kadang tanaman kalau ditanam lewat masa tanam, dan tumbuh berjarak beda jauh sama tanaman lain bisa kurang bagus.
Mas Irvan, makasih sudah sudah mampir :)
Jas, anak laki-laki tangguh yang tak ingin terdengar mengeluh di depan sang ibu. Waktu bisa mengubah segalanya.
BalasHapusSelamat mbak Eni, duuh itu Republika kok "korupsi" huruf H untuk nama Shabrina WS :D
Mbak Dwi, makasih sudah baca. 😊 iyaaha kuranga 'h' 😃
HapusKoq saya jadi ingin menangis untuk Jas? Mbak Shab, tanggung jawab!! :'(
BalasHapusPeluk peluuk Mbak Arinta, makasih yaa 😊
Hapuswhuaa ini ni... daleum banget, brin. sebagai ibu aku berdoa semoga dijauhkan dari berbuat kesalahan pada anak2ku T_T
BalasHapusKak Marisa,makasih Dear sudah mampir 😊
HapusDuh, nangis bacanya. Jadi inget anak-anakku. Jangan sampe aku jadi ibu yang menyakiti. :(((((
BalasHapusWaaaah ada Mbak Haya mampir. Makasih, Mbak 😊
HapusMenyentuh sekali.
BalasHapusTerima kasih Mbak 😊
HapusSelalu suka dengan cerita Mbak Shabrina :*
BalasHapusKau suka Jas? 😃 xixixi
HapusSedih bacanya. Pasti rasanya ingin mengulang kembali masa lalu
BalasHapusAndai waktu bisa diputar ulang 😊
HapusMakasih sudah mampir Mbak 😊
menyentuh sekali.. aku jg gak mau mengecewakan anak2 dgn pilih kasih :(
BalasHapusSemoga kita menjadi orangtua yang baik,😊
HapusMakasih Mbak
mbak... apik banget
BalasHapusSuwun, Mbak 😊
HapusTahun 2020 saya baru baca mba', bagus sekali masyaAllah, sedih bacanya
BalasHapus