Lelaki
itu bersandar di bawah pohon turi. Di
sampingnya, kendi berisi air putih, sepotong singkong bakar di atas daun talas layu,
dan cangkul bergagang kokoh tergeletak tak jauh darinya. Tulang-tulang dadanya
menonjol. Keringat bercucuran,. Rambutnya lepek. Berkali-kali ia menarik nafas
berat sambil memandangi hamparan tanaman cabe di hadapannya.
“Panennya si Darmin langsung
dibelikan motor baru.”
“Tukijo beli mobil bekasnya pak Lurah.”
“Katiran sudah mulai beli pasir, mau
mbangun rumah.”
Masih jelas suara-suara itu. Di ladang,
di perempatan jalan, di tempat-tempat mencuci untuk umum, juga di truk-truk pengangkut orang-orang yang hendak
ke pasar.
Berita
panas itu dengan cepat menyebar ke seluruh kampung. Membuat orang-orang
tersulut tekadnya. Inilah saatnya petani harus mengubah nasib. Dari wong cilik, menjadi wong nduwe.
Dan berbondong-bondonglah para
petani mulai membersihkan ladang mereka. Tidak ada lagi rasa sayang untuk
menghabisi singkong yang perkilonya hanya seharga logam bergambar bunga melati.
Membabat jagung-jagung yang membuat jempol bengkak saat memipilnya untuk
dijual. Bahkan, harga kedelai yang katanya menjanjikan tak cukup membuat air liur
mereka menetes.
Ayam-ayam, kambing-kambing dan
sapi-sapi di keluarkan dari kandang,
dibawa ke pasar untuk dijadikan uang. Emas-emas yang tersimpan rapi dalam
kantong di bawah tikar tempat tidur juga ikut melayang. Semuanya menjadi wujud yang sama. Benih cabe, poliback,
plastik-plastik penutup, mulsa, aneka pupuk dan obat semprot serta ratusan
batang lanjaran dari kayu.
“Harga terus naik!”
Tak
ada yang lebih menarik dibicarakan selain cabe! Petani mana yang tidak ngiler setiap kali mendengar harga cabe semakin
melambung? Dari yang biasanya tiga ribu, lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh
ribu, sampai lima puluh ribu. Bahkan, sembilan puluh ribu.
“Edan!”
Pun
bagi lelaki itu, lelaki yang kini bersandar di batang pohon turi. Kalau saja…
“Jangan dijual kambingnya, Pak. Kita
kan sudah sepakat, itu satu-satunya persiapan untuk khitan Jalu, empat bulan
lagi.” Begitu ucapan istrinya, pada suatu malam saat dia mengutarakan niatnya.
“Jangan jadi kuno, Bu. Yang lain
berani maju, masa kita tidak?”
“Tapi Jalu sudah ngotot minta sunat liburan sekolah nanti?”
“Empat bulan waktu yang cukup untuk
umur cabe, Bu.”
Lalu, benar-benarlah lepas
satu-satunya kambing di kandang mereka. Kambing yang dibeli dari uang hasil
buruh tanam padi. Satu juta seratus, masih kurang sembilan ratus ribu lagi
untuk modal awal menanam cabe-cabe yang menggiurkan itu.
“Aku tidak setuju kita hutang segitu banyak, Pak. Uang dari mana
untuk mengembalikan?”
“Orang takut itu ndak akan bisa maju, Bu. Setuju atau
tidak, aku akan tetap mencari tambahan untuk modal.”
Begitulah, dengan tekat yang kuat
dan perasaan membuncah ia merasa telah bisa mengalahkan ketakutannya untuk
maju. Sekarang, atau tidak untuk
selamanya. Batinnya. Entah
mendapatkan kata-kata dari mana.
Lalu esoknya ia bangun bersama suara
ayam jantan. Dengan cepat kaki telanjangnya menyusuri jalan setapak menuju
ladang. Menjebol singkong-singkong, mencabut beberapa tanaman jahe, mencangkul
bongkahan-bongkahan tanah, menggemburkan dan membuatnya menjadi rata.
Pagi-pagi berikutnya –seperti petani
lain di kampungnya—ia merawat tanaman
cabenya dengan penuh kasih sayang. Mengawasi perkembangannya: ngocor, nyemprot obat, memberi pupuk sesuai usia, juga menaruh
lanjaran-lanjaran penyokong cabe agar tidak ambruk.
Lelaki itu, yang kini mengipasi
badannya dengan caping yang sudah tidak berbingkai, kembali mengembuskan napas
berat. Dia pandangi hamparan pohon cabe di hadapannya. Apa yang salah? Bukankah hidup harus berusaha? batinnya.
Lahir dan besar di kampung itu, lalu
menjadi petani, baginya bukan pilihan. Tapi seperti sebuah keharusan yang
harus dijalani. Tak ada yang diwariskan oleh kedua orangtuanya selain
keterampilan mencangkul dan menanam. Seperti kebanyakan orang-orang di kampungnya.
Dulu, dia dan orang-orang di
kampungnya, pernah menjuakkan harapan,
saat musim-musim kaos dibagi gratis dan bendera warna-warni dikibarkan di
tiang-tiang. Saat beberapa orang bicara dari atas panggung, menjanjikan akan
didirikannya pasar induk di kecamatan yang kelak bisa menampung apa saja hasil
bumi. Pasar yang menjadi tempat pesta para petani, sehingga tak ada lagi
permainan harga oleh tengkulak dari kota.
Namun hingga kini, bertahun-tahun
kemudian, kabar itu hanya seperti ikan asin yang aromanya menyengat saat dibakar, lalu akan menghilang begitu
saja setelah dingin.
Bulan belum berputar penuh, tapi
harga cabe semakin jatuh. Para petani mulai gaduh, gundah, gemetar, sambil
sebisanya terus menghibur diri. Terus memupuk keyakinan, bahwa seturun-turunnya
harga, tak akan sampai merugikan mereka.
foto ambil dari klipingsastra.com |
Lelaki itu, yang masih bersandar di
pohon turi, mengusap wajahnya.
“Kalau
sudah begini, lalu apa yang harus kita lakukan, Pak?” susah payah ia menelan ludah. Pertanyaan
istrinya semalam seperti duri dadap yang menancap di gendang telinganya.
“Ingat!
Jangan sekali-kali kau berniat bunuh diri seperti Parji!” bisik istrinya.
Ya, Parji adalah puncak kenyataan paling
menakutkan dari cabe. Dia salah satu
orang yang paling percaya bahwa cabe bisa mengubah nasibnya. Parji berani hutang dua ekor sapi, dan menyewa
berpetak-petak ladang sebagai modal.
“Tinggal
mengalikan saja tho hasilnya, dan
keuntungan sudah bisa dihitung.” Begitu kata Parji. Hingga diapun memberanikan
diri untuk mencoba. Melepas seekor kambingnya dan mencari tambahan dengan
berhutang.
Namun,
sebulan kemudian harga cabe yang semula 40 ribu, sudah merosot ke 30 ribu, 24
ribu, 19 ribu, 15 ribu. Dan minggu lalu, saat cabe-cabe masih sangat hijau,
harga semakin jatuh ke tujuh ribu, kemudian tiga ribu.
Lelaki
itu ingat. Bagaimana Parji menjerit seperti orang kesetanan. Berlari ke ladang.
Membabat cabe-cabenya. Kemudian penduduk
menemukannya gantung diri di pohon randu. Nyawanya sudah tak bisa diselamatkan.
Sementara istri Parji yang semula berkali-kali
pingsan, kini hanya tertawa-tawa sambil
menyebut hutang-hutang suaminya.
“Kalau
saja….” Lelaki itu berkata.
Ya,
kalau saja dulu ia menuruti kata-kata istrinya. Tak perlu menjual kambing yang hanya
satu-satunya harta simpanan mereka. Tak perlu berhutang yang semakin menambah
beban. Dan tak perlu membabat semua tanaman ladang yang masih bisa untuk
dimakan.
Lalu dengan keadaan seperti ini, pada siapa
dia dan para petani lainnya mengadukan nasib mereka? Nyatanya, wong cilik tetaplah wong cilik. Hanya seperti anak kecil yang bola matanya naik ke atas
dan ke bawah ketika melihat orang dewasa bermain yoyo.
“Aku
jadi sunat kan, Mak?” pertanyaan Jalu tadi pagi masih terngiang jelas.
“Tanya
saja sama bapakmu!” jawab istrinya.
Wanita
itu meliriknya tajam. Tak harus dikasih tahu. Dia mengerti makna lirikan itu.
Lagi, lelaki itu menganjur napas
panjang. Diraihnya kendi berisi air, lalu diteguknya pelan. Siapa sesungguhnya
yang menaikturunkan harga? Tanyanya dalam hati. Semilir angin membuat dia
kembali menyandarkan badannya ke pohon turi.
Semalam,
lelaki itu telah menghitung, mengira-ngira berapa uang yang akan didapat jika
dia menjual cabenya sekarang. Masih hijau, masih terlalu murah. Namun menunggu
seminggu lagi juga tak ada jaminan harga bisa naik , bahkan bisa-bisa tambah
merosot. Sementara cabenya sekarang saja sudah kelihatan kurang segar.
Sehelai
daun turi jatuh di kepalanya. Andai saja dia tidak pernah mendengar bahwa ada
kehidupan setelah mati. Andai saja dia tidak pernah mendengar bahwa semua yang
dilakukan di dunia dimintai pertanggungjawaban. Andai saja tidak ada Sayekti,
wanita yang telah lima belas tahun menemani hidupnya. Andai saja tak ada Jalu,
anak semata wayang yang dititipkan Tuhan di tahun ke sembilan pernikahan
mereka. Mungkin, lelaki itu tak perlu berpikir dua kali untuk mengikuti langkah
Parji.[]
tears*
BalasHapusbenar benar potret petani kita .... ini harus dibaca sama Jokowi dan pak mentri
Ya, sedih klo lihat kenyataan yang begini.
HapusMakasih sudah baca 😊
kontemplatif. like as usual...
BalasHapusMmakasih sudah mmampiiir Jeng
HapusTerharu, sediih dan nemu ide hehehe...Barokallah ya
BalasHapusAyoo Mbak,lahirkan idenya 😉
Hapusah, jadi sedikit terobati kangennya baca cerpenmu, mbak :) Ini cerpen pertama yg tokohnya bukan hewan, hehe.. Jadi manis dan sedu sedan saat realita sosial diangkat ke dalam fiksi. Suka :)
BalasHapusCeritanya bener-bener menyentuh relung hati terdalam mbak.
BalasHapusSuka bangettttt ceritanya..diksinya mengalir indah dan manis Mbak.
BalasHapus