#EMILIA
Aku berusia tiga belas tahun, ketika
bendera merah putih turun di Timor Timur, dan bendera merah hitam bergambar
bintang putih dinaikkan di langit Timor Leste. Tetapi saat itu aku sudah
menyadari berjalan ke barat atau menetap di timur, separuh hidupku sama saja
tetap hilang.
Konon, merah putih yang selalu aku beri hormat
setiap upacara hari Senin itu turun dalam sunyi. Bahkan tanpa kehadiran Xanana.
Referendum 99, adalah peristiwa yang akan mengendap lama dalam ingatan jangka
panjang seseorang yang mengalaminya. Pada akhirnya tertulis dalam sejarah,
bahwa sebagai profinsi yang termuda saat itu, Lorosae mandiri untuk membangun tanah sendiri.
“Ini
bukan tentang bendera yang kita kibarkan. Tapi tentang tanah, di mana dari sana
Tuhan memberi kita makan. Kehidupan.” Aku mendengar itu dari papa.
“Tidak.
Ini tentang bagaimana caraku menghormati leluhurku, yang menjadi perantara aku
ada.” Pendapat berbeda terlontar dari
mama.
Sejak
kabar referendum dihembuskan, keluarga kami telah melalui malam-malam untuk
menentukan pilihan, hingga akhirnya terbelah menjadi dua kubu. Pihak mama yang
didukung oleh Antoni dan Carolin. Sementara aku berada di pihak papa.
Sebenarnya
waktu itu, aku juga ingin bersama Antoni dan Carolin mengikuti mama. Namun,
entah bagaimana aku seperti merasakan sorot luka di sepasang mata papa. Maka,
pilihanku saat itu sama sekali bukan perihal di negara mana aku tinggal, tapi
bersama siapa aku akan melalui pagi, siang dan malam-malam.
“Ini
hanya sementara kan?” waktu itu aku bertanya penuh harap. Namun, lagi-lagi, aku
menangkap dua pasang mata milik papa dan mama saling bertukar pandang.
Semulanya,
aku mengira bahwa perpisahan keluarga kami memang karena pilihan yang berbeda
saat jajak pendapat itu. Namun, ketika papa tak pernah mengajakku menengok
mama, aku tahu bahwa semua tak lagi soal di bawah bendera mana keluarga kami
berdiri.
“Kami
tak bisa bersama-sama sebagai suami istri lagi, Emili.” Begitu kata papa ketika
aku mengajak pergi ke perbatasan Atambua untuk berjumpa dengan mama dan
saudara-saudaraku. “Mamamu yang meminta menyembunyikan ini dari kalian.”
“Tapi Antoni dan Carolin tetap anak papa
‘kan?” Aku bertanya tentang hal lain. Pikiran anak-anakku tidak menuntut diberi
alasan saat itu. “sebagaimana aku tetap anak mama? Tidakkah papa ingin bertemu
mereka?”
Aku
mengingat dengan samar, saat itu, rahang papa mengeras, sebelum akhirnya kami
berjalan ke perbatasan, menuju jembatan air mata di Atambua.
Papa
memberiku tape recorder hitam kecil
lengkap dengan baterai dan kaset kosong.
“Untuk
merekam perbincangan nanti,” kata papa.
“Agar bisa diputar ulang kalau kau rindu mereka kelak.”
Tapi,
kaset itu tetap tak merekam pembicaraan apapun. Tak ada pertemuan. Aku bahkan
menjadi orang terakhir yang meninggalkan jembatan air mata itu.
Pertemuan-pertemuan
selanjutnya, aku memilih untuk tidak pergi. Aku hanya menitipkan kaset berisi
ungkapan rindu pada Mama, Antoni dan Carolin lewat Abilio, sahabat sekaligus
tetanggaku yang juga sama-sama menghadapi kenyataan harus berpisah dengan
keluarga.
Bedanya,
Abilio bisa bertemu dan melepas rindu
dengan mereka, sementara dengan raut sedih dia menyerahkan kembali kaset yang
kutitipkan.
Dan
hari ini, enam belas tahun dari waktu itu, aku meninggalkan Dili. Tentu
kepergianku sudah melalui pertimbangan
yang lama. Aku telah siap dengan segala risiko. Bahkan jika nanti tidak bertemu
dengan mereka.
Enam
belas tahun. Aku membingkai wajah mama, Antoni dan Carolin dengan perasaan
rindu. Bagaimana tanggapan mereka ketika nanti melihat kedatanganku? Apakah aku
akan mendapat sambutan rindu yang sama besar seperti rindu yang aku bawa?
“Aku
pernah berada di posisimu Emili,” ucap Abilio yang sejak tadi diam. Beberapa
tahun lalu, lelaki itu juga menemukan
keluarga besarnya. Paman, bibi dan kakaknya lewat media sosial kemudian
dilanjutkan dengan pertemuan sesungguhnya.
Saat
itu aku ikut membuat akun di media sosial juga.
“Percayalah,
ini akan menjadi salah satu jalanmu. Biar
Antoni atau Carolin mudah kalau mencarimu.”
“Yaa…ya.”
Aku tidak menutupi rasa putus asa.
Kenyataannya
setelah mempunyai akun media sosial pun, tak semudah itu menemukan keluargaku.
Tidak Carolin, tidak juga Antoni. Apalagi mama.
Berkali-kali aku memasukkan nama-nama itu di kotak
pencari. Begitu banyak nama sama yang muncul, namun tak satupun itu milik dari
salah satu keluargaku.
Lalu,
beberapa bulan yang lalu, Abilio membawa kabar yang membuatku seperti tak
menginjak bumi.
“Aku
yakin ini Antoni. Lihat, tahi lalat di atas alis matanya. Dia jangkung dan kurus.
Dan ini Carolin, dia banyak berubah, tapi senyum dan lesung pipi itu tetap
miliknya.”
Gambar
itu mengabur seiring mataku yang perih.
“Mereka
di Sambas, Kalimantan Barat,” ucap Abilio. “Ini lokasi transmigrasi.”
Aku
membuka peta. Kucari letak Sambas, Kalimantan Barat. Sebuah kabupaten yang
berbatasan langsung dengan Malaysia.
“Tapi
ini foto setahun lalu. Diambil seorang relawan dari Indonesia Mengabdi.”
Jelas
sudah, bukan Antoni atau pun Carolin yang memosting foto mereka ke media. Tapi
orang lain. Harapanku kembali ciut.[bersambung ke sini]
*Esperansa adalah naskah juara 2 lomba novelet/cerber Femina 2016/2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar