Kamis, 06 September 2018

ESPERANSA 3 [Pemenang 2 Novelet/cerber Femina]



#Emilia
Aku masih ingat, ketika papa mengajakku mengikuti gelombang rakyat Timtim untuk mendengar pidato Xanana.

“Kita bertemu dalam situasi yang penuh penderitaan.” Begitulah Xanana membuka pidatonya. “Kita masih mencari saudara-saudara kita yang hilang. Kita akan memanggil saudara-saudara kita yang  masih jauh untuk membangun sesuatu yang baru.”

Aku berusia tiga belas tahun saat itu. Namun aku tahu, apa yang dikatakan Xanana untuk memanggil saudara yang masih jauh itu tak akan pernah terjadi pada diriku.

Ketika orang-orang di lapangan sebagian saling berpelukan dan  terisak-isak, aku pun berkali-kali mengusap air mata dengan lengan bajuku. Sementara tangan kananku berkeringat   dalam genggaman papa.

Saat itu, ingin rasanya aku terbang dan menyusul di mana mama dan saudara-saudaraku berada. Bahkan, ketika orang-orang membakar semangat dengan meneriakkan; “Viva Timor Leste!” aku hanya terpaku. Aku tidak mengerti apa yang akan terjadi setelah itu. Barangkali, selamanya aku akan hidup bersama papa dan benar-benar tak pernah lagi bertemu mama dan saudaraku.

Heh!” Abilio menyikut lenganku.

Kenangan itu pecah, dan hilang begitu saja dari lamun.

“Ya Tuhan kau melamun terus,” Abilio membuka permen dan mengangsurkan kepadaku. “Biar tidak kerasukan.”

Aku tertawa tanpa suara, meraih permen di telapak tangan Abilio.

Ketika pesawat mulai lepas landas meninggalkan bumi Loro Sae, semangatku seakan ikut meninggi. Sekarang aku hanya tinggal menghitung mundur jarak saja, untuk bertemu dengan orang-orang yang sudah bertahun-tahun pergi dari hidupku.

Dulu, aku sering bermimpi perihal mama, Carolin dan Antoni. Kadang mereka seakan berkumpul bersama di tengah ladang, memetik biji-biji kopi. Tapi begitu karung-karung terisi, mama dan kedua saudaraku mendadak lenyap. Aku sendirian di tengah ladang. Lalu pohon-pohon pelindung seakan menjulur,  menutup semua langkahku. Aku berteriak-teriak memanggil mama, Antoni dan Carolin. Tapi yang muncul kemudian adalah papa sambil membawa segelas air putih.

“Kau lupa berdoa.”

 Biasanya baru keesokan harinya aku bercerita dengan papanya perihal mimpiku

“Mungkin, kalian saling merindukan. Tuhan memberikan pertemuan lewat mimpi.”

“Tapi kenapa mereka selalu menghilang? Apakah itu pertanda buruk?”

“Kamu harus percaya mimpi-mimpi yang baik. Kepercayaanmu akan menjadi harapan.”

Selalu, selalu begitu kalimat papa setiap aku cerita perihal mimpi-mimpi yang sama.

Tahun-tahun berikutnya, seiring Timor Leste yang mulai bangkit dan tumbuh, perkembangan kopi di negeri ini memberi harapan besar pada masyarakat sekitar. Mereka yang bertahan merawat kebun kopi pasca suasana perekonomian yang tidak menentu, akhirnya mulai memetik hasil.

Papa memang tidak bekerja di kebun kopi. Dia menjalani peran sebagai pengepul dari petani. Mencari pembeli yang bisa menawar dengan harga bagus. Hasil kerja itulah yang kemudian membawa kehidupan kami membaik. Aku bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi.

Tetapi, pertanyaan-pertanyaan perihal mamaku tak pernah berubah. Semakin  dewasa, aku semakin ingin tahu, apa sebab yang membuat mama begitu keras meninggalkan papa. Lelaki yang begitu sempurna menjalankan peran sebagai ayah sekaligus sebagai ibu. Sesungguhnya, aku tak pernah mendapati cela dari lelaki itu.

Sebab itulah, dulu waktu kuliah, aku pernah diam-diam pergi ke Atambua, ke tepi sungai Talau tempat mukim para pengungsi eks Timor Timur. Aku menemui pengurus di sana untuk mencari apakah ada daftar nama keluargaku. Namun, aku tidak menemukannya. Tidak pernah ada nama mereka. Kenyataan itu memberi pukulan menyakitkan jauh di lubuk hatiku.

Jadi, ketika saat ini kesempatan datang, aku tak menyia-nyiakannya lagi.

***

“Sebenarnya, kau tidak perlu mengantarku sejauh ini,” kataku pada Abilio begitu kami sampai di Pontianak. Sebelumnya kami berhenti di Bali untuk berganti pesawat.

Matahari sudah tenggelam ketika kami sampai di hotel. Seperti beberapa informasi yang aku kumpulkan, perjalanan ini tak bisa ditempuh dalam sehari penuh, bahkan tidak dalam dua hari. Kami harus menginap dan menyambung perjalanan dengan bus menuju Sambas.

“Oh, jadi aku sangat menggangumu?”

“Bil. Maksudku bukan begitu.”

“Aku tidak mengerti sepanjang jalan itu terus yang kau katakan.”

“Aku juga tidak mengerti, Bil.” 

“Aku pastikan tidak akan ada yang cemburu, ok?”

Aku tertawa. Ya, Abilio baru saja putus dengan pacarnya yang cemburuan. Tetapi bukan itu alasanku. Main film adalah salah satu mimpinya. Setelah dia lolos casting, justru dia pergi bersamaku. Tentu hal wajar kalau aku khawatir ini akan sedikit menghambat persiapannya.

“Ok. Istirahatlah.”

Kami berjalan menuju kamar masing-masing. Baiklah, aku memang harus mengakui kalau keberadaan Abilio bersamaku cukup membantu. Aku belum pernah pergi sejauh ini sendirian. Tetapi, ya tetap saja rasanya begitu berhutang ketika ada seseorang mengorbankan waktu dan tenaga hanya untuk kepentingan pribadi kita, kan?

Tentu saja itu tak kuucapkan pada Abilio. Karena lelaki itu pasti akan marah, kalau semua kebaikan selalu ingin dibalas kebaikan. “Memangnya kau akan melakukan kebaikan hanya jika orang lain melakukannya padamu? Dan tidak akan melakukan jika orang itu tidak melakukan hal yang kau anggap menguntungkan dan baik untukmu?” Aku tersenyum membayangkan dia mengomel.

Sambil mengunci pintu kamar, aku mengakhiri pikiran perihal Abilio. Aku membersihkan diri kemudian berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar. Sekarang aku berada di tanah ini. Semakin dekat jarak antara aku dan keluargaku.

Kuraih guling dan mendekapkan di dada. Ada desir-desir halus dari dalam sana. Sesuatu yang terasa sebagai kekhawatiran, ketakutan dan sekaligus harapan.

 Berapa mil jarak antara Sambas dan Dili? Aku menelepon papa, mengabari kalau perjalanan lancar. Papa menyuruhku hati-hati. Aku mengakhiri pembicaraan setelah mengucapkan selamat tidur.

Dahulu, setiap pagi, setelah menyiapkan sarapan dan makan siang, mama akan pergi ke pasar. Di sana ada kios kecil tempat wanita itu menjahit. Dari menerima bahan untuk dijadikan baju, atau sekadar memotong dan mengecilkan pakaian, hingga jahitan-jahitan kecil, seperti pemasangan identitas sekolah ataupun celana sobek.

Aku menyukai tempat itu. Potongan ingatanku, menyimpan keakraban penuh. Bahkan hingga aku dewasa, setiap kali memasuki pasar, seakan bisa mencium aroma kebersamaan dengan mama. Dulu, biasanya dengan bekal makan dan minum yang cukup mama selalu mengajakku ke tempat kerja. Menyisakan ruang di antara kain-kain untuk tempat aku tidur jika lelah dan mengantuk. Bahkan sepulang sekolah, aku memilih menyusul mama ke pasar.

“Begini caranya.” Mama pernah mengajariku bagaimana membuat tali rambut dari kain sisa. Bentuk sederhana yang kukuasai adalah menjahit kain kecil panjang, kemudian dibalik setelah semua terjahit, sehingga bekas jahitannya berada di dalam, lalu dimasukkan karet ke dalamnya. Sederhana. Tidak perlu mesin. Tapi selalu membuat teman-teman memujaku.

Ada juga bentuk yang lebih rumit. Kain-kain kecil dijahit sendiri-sendiri hingga banyak, setelah itu dironce dengan karet. “Asal kau lebih sabar, hasilnya akan cantik.”

Pasca referendum, yang tersisa hanya satu pita kecil yang mengikat rambutku. Itu pun, hilang saat pelajaran olahraga. Tali rambut yang kini kupakai kubeli di toko souvernir milik temanku.
*** 


Jam 5 pagi, aku sudah berada dalam bus, menempuh perjalanan panjang dari Pontianak menuju Sambas. Saat memasuki terminal matahari telah di atas kepala.
“Benar-benar harus menginap lagi di sini,” kata Abilio setelah bertanya pada sopir bus.
“Memang kan.” Aku tidak kaget. Informasi yang aku baca masih butuh waktu sekitar 5 jam untuk sampai di Aruk. Tentu saja kalau memaksakan perjalanan, kami akan kemalaman sampai di perbatasan. Lagi pula, kami masih harus menempuh perjalanan lagi menuju lokasi transmigrasi itu.
Aku dan Abilio menghabiskan sisa hari dengan jalan-jalan dan cari makan. Kami ke hotel menjelang malam. Dan pagi harinya, kami melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum. Kota Sambas-Galing-Sasak-Tanjung-Kaliau-Aruk.  Aku membuka catatan rute yang kami tempuh.
Terguncang-guncang dalam angkutan menyusuri jalan yang semula mulus, lalu memasuki jalan aspal mengelupas, melewati ruas jalan dengan pengerasan, dan kendaraan  merayap di punggung bukit Piantus.
Perjalanan ini, mengingatkan aku pada jalur panjang antara Atambua-Dili. Sekali lagi, aku disengat pertanyaan yang mencengkeram dada. Demi apa mama pergi dari Lorosae, meninggalkan kami, untuk segala yang tidak pasti di tempat seperti ini?
Tetapi, bahkan perjalanan yang kutempuh kali ini, juga untuk sesuatu yang tidak pasti. Karena tiada jaminan, apa aku nanti bisa bertemu mereka atau tidak.
Dulu, aku pernah bertanya pada papa, perihal ketidak mengertianku akan keputusan mama. Bagiamana pun aku ingin memahami, tetap saja bagiku ada sesuatu yang ganjil dalam perpisahan keluarga kami.
“Kadang kupikir mama terlalu egois, Pa.”
“Tidak, Emili. Mamamu sangat baik. Lagi pula, tiap orang berhak memilih. Dan kau juga tahu, bukan hanya kita yang mengalami perpisahan seperti ini.”
Memang, banyak keluarga yang berpisah karena peristiwa referendum itu. Tetapi keputusan mama memisahkan diri, rasanya berbeda dengan yang lain. Mama sama sekali tidak punya keluarga di Indonesia. Wanita itu lahir di Lorasae. Sekolah dan besar hingga menikah tanpa pernah sekali pun meninggalkan tanah itu.
Oh iya, konon memang ada neneknya mama di Kupang, tapi sudah lama tiada. Jadi, ketika tiba-tiba mama memilih pergi, apalagi pada akhirnya kuketahui pergi ke tempat sejauh ini, hal itu seakan membawa utang penjelasan yang entah mengapa ingin aku tagih.
 “Suatu hari kau akan mengerti Emili. Jika Tuhan mengizinkan, kita pasti akan kembali dipertemukan. Percayalah.”
Aku percaya, ingin selalu percaya. Itu sebabnya aku tak henti berdoa. Tetapi begitu mama dan kakak adikku berjalan ke barat, mereka seperti hilang di tempat matahari tenggelam.
Rupanya, di pulau inilah tujuan mereka. Sebelumnya, aku memang cukup lama menekuri peta dan rute perjalanan. Ada beberapa lokasi transmigrasi di wilayah ini. Dan dari informasi yang aku dapat, tempat yang kutuju, berada di tengah perkebunan sawit.
“Luar biasa.” Abilio memasukkan kepala ke dalam lubang kaosnya, saat kendaraan terguncang-guncang, menerobos gulungan debu yang ditinggalkan truk pengangkut material di depan kami. Untunglah angkutan yang kami tumpangi bisa menyalip, sehingga tidak terus menerus dihujani debu.
Angkutan beberapa kali menaikkan dan menurunkan penumpang. Kami istirahat di pasar Galing untuk makan siang. Jalur selanjutnya lebih ekstrem lagi. Selain debu, jalan juga naik turun, hingga perbatasan.
Beberapa web perjalan mengatakan jalur yang aku tempuh sekarang adalah jalur pantura yang  akan berakhir di PPLB Aruk. Katanya lagi, memang  relatif sepi jika dibandingkan dengan perbatasan Entikong Sanggau.
“Akhirnya!”
Perjalanan selama lebih dari 80 km berakhir juga, setelah selama lima jam kami terguncang-guncang dalam angkutan. Kami turun di Sajingan. Aku menghidupkan ponsel. Tidak ada sinyal.
“Langsung?” tanya Abilio.
Aku mengusulkan untuk mencari minum dan…tiba-tiba baru terpikir oleh-oleh apa yang sebaiknya aku bawa. Aku cukup lama di depan toko sebelum memutuskan membeli dua kaleng biscuit rasa durian dan kelapa. Entahlah, bingung.
Abilio sudah mendapatkan dua motor ojek. Sepertinya dia sudah selesai menawar harga. Kami masing-masing naik ke boncengan. Meninggalkan kecamatan Sajingan. Kami memasuki jalan kecil, kemudian berbelok ke jalan tanah yang membelah perkebungan sawit. Hampir satu jam kemudian, pada akhirnya, aku memasuki sebuah perkampungan dengan rumah-rumah menyebar di area miring di tengah lahan gersang.
Aku menyerahkan helm kepada tukang ojek. Nanar kutatap sekitar. Di depanku sebuah bangunan sepi dengan tulisan kantor KUPT. Aku mengaitkan kedua tangan yang berkeringat.
“Sepertinya itu bangunan sekolah. Kita tanya ke sana.” Abilio menunjuk bangunan lain, memanjang berbentuk rumah panggung. Ada bendera merah putih yang berkibar di tengah lapangan. Oh Tuhan, ini salah satu tempat di blog relawan Indonesia Mengabdi. Sekonyong-konyong aku diserbu rasa mulas.
"Emilia, kau sudah berjalan sejauh ini. Optimis. Ok?" 
Aku meniup udara, menatap jauh ke depan. Pada jalan tanah kekuningan yang membelah perkampungan.

[Bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...