#Mira
Aku
baru saja mengikat benang, ketika dari luar kudengar suara teriakan.
“Mamaa?
Lihat siapa yang bersamaku.”
Kutaruh
kain di atas mesin jahit, lalu melangkah ke beranda. Dua orang asing membungkuk
melepas sepatunya. Begitu mereka menegakkan badan, aku langsung membungkam
mulut.
“Mamaaa?”
“Ya
Tuhan.” Apakah ini benar-benar nyata?
“Aku
Emili.”
Entah
siapa yang mulai, kami sudah saling berpelukan. Sangat lama. Aku merasakan
tubuhnya terguncang-guncang. Air matanya hangat menempel di pipiku.
“Emili…”
Enam
belas tahun, sejak aku meninggalkannya. Kini, dia tumbuh menjadi perempuan
dewasa yang matang. Sangat cantik. Garis-garis wajah Faustino mengalir penuh di
wajahnya. Alisnya, matanya, bibirnya.
Aku
masih ingat dengan jelas bagaimana malam-malam kegalauan saat ia menangis
kencang. Dia tidak mau diam dalam gendongan Faustino. Aku menyusuinya tanpa
air, hanya untuk memberinya ketenangan dan kehangatan.
Aku
abaikan sakit hatiku. Nyatanya, naluriku sebagai seorang ibu tetap saja lebih
besar daripada rasa marah seorang wanita yang diduakan.
Emilia
bukan bayiku. Faustino membawanya dalam usia tiga bulan. Suatu malam. Di bawah
guyuran hujan yang tak henti-henti.
“Tolong,
dia menangis terus sepanjang perjalanan.”
Kau
tahu, bagaimana rasanya dikhianati? Tetapi, bisakah kau bayangkan saat buah
pengkhianatan dibawa ke hadapanmu, dan kau harus mendekapnya? Aku masih muda
waktu mengalaminya. Rasanya ingin
kucekik saja bayi yang terus menangis itu.
“Tolonglah
Mira, demi kemanusia?”
Lalu
kemana rasa kemanusiaannya saat berkhianat hingga lahir bayi itu? Aku seperti
disiram lilin panas. Diriku mematung. Bahkan menangis saja tak bisa. Sekuat
apapun aku menjauh dari masa lalu,
peristiwa malam itu tetap saja terputar detail dalam ingatanku.
“Aku
tidak mohon ampunanmu. Aku pantas disiksa. Tapi aku mohon, beri sedikit
kehangatan pada bayi tak berdosa ini.”
Pundak
Faustino teguncang-guncang saat memeluk kakiku. Aku benci dia memohon. Kenapa
bayi itu dibawa kepadaku. Apakah dia tidak memikirkan, tiap aku menatap sosok
kecil itu, artinya aku selalu mengingat pengkhianatannya? Lalu tinggal bersama?
Menyaksikan sosok itu tumbuh, sama saja aku memelihara dendam dari luka yang
dia tanam.
Tetapi,
naluri kecil jauh dalam hatiku menjerit. Ketika ada anjing liar saja aku beri
minum, ini jelas-jelas bayi sekarat, masihkah aku menutup mata dengan egoku?
Setelah pergolakan batin hebat, aku meraih bayi itu. Kulitnya seperti es.
Seketika, aku seakan memukul genderang perang, melawan rasa sakitku.
Mula-mula
ragu, aku mendekap tubuh ringkih dalam selimut itu. Tangisnya reda. Dia
menghabiskan sebotol susu sebelum terlelap. Tak ada lagi wajah cemas. Besoknya,
besoknya dan besoknya lagi, aku merawat bayi itu sebagaimana aku merawat anakku
sendiri. Tetapi, entah berapa lama, aku tak bicara pada Faustino.
Lelaki
itu harus tahu, ketika aku mau merawat anaknya, bukan berarti aku menerima pengkhianatannya. Sama sekali tidak.
Bahkan meski pun setiap hari Faustino meminta maaf. Kesalahan, tetap saja ada
hukumannya, bukan?
“Ini
kesalahanku. Membawanya tidak hanya berarti mengingatkan aku pada dosaku
padamu. Tetapi aku juga tahu, bahwa ini juga menyakitimu. Tapi aku tak punya
pilihan. Karena bagiku, hanya kamu tempat aku pulang.”
Karena bagiku, hanya kamu
tempat aku pulang. Harusnya itu kalimat yang menyejukkan. Tetapi
saat itu justru membuatku mual. Faustino perayu ulung. Dia tidak hanya pintar
menyusun kata-kata manis, tapi juga memperlakukan orang lain dengan manis. Dia
membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mencuci pakaian kotor, tidak hanya
popok Emilia namun semuanya. Tetapi, dia mengkhianati janji suci pernikahan
kami. Itu, yang tidak bisa kuterima.
Dan
meskipun aku tidak menanggapi kata-katanya, Faustino tetap menjelaskan kenapa
dia membawa pulang Emilia ke rumah kami. Aku ingin menyuruhnya diam, tetapi
alih-alih, aku mendengarkan. Katanya, yang terjadi dengan wanita yang tidak
ingin kuketahui siapa namanya itu adalah kesalahan tak sengaja. Jadi, karena
wanita yang tidak ingin kuketahui siapa namanya itu akan melanjutkan
pendidikan, dia tidak mau merawat Emilia. Dia akan menaruh Emilia di panti
asuhan.
Faustino
tidak ingin bayi malang itu menanggung derita akibat dari dosa kedua
orangtuanya. Setidaknya, meskipun ibunya tak mau merawatnya, Faustino tidak
ingin menambah dosa dengan menelantarkan. Faustino ingin bertanggungjawab, membesarkan dengan layak.
Sekarang
bayi itu ada di sini, dalam dekapanku. Setelah enam belas tahun lalu aku
membuat keputusan besar meninggalkan mereka.
“Mama,”
Emilia menatapku dengan pipi basah. “Bertahun-tahun aku rindu pertemuan ini.
Aku sering mimpi kita sama-sama tapi mama selalu menghilang.”
Tenggorokanku
terasa sakit. Bagaimana pun juga, waktu menumbuhkan rasa cintaku padanya. Aku
memberinya kasih sayang sama besar, seperti aku menyayangi Antoni dan Carolin.
“Mama
juga merindukanmu,” aku mengusap pipinya yang basah.
“Kami
sering bercerita tentangmu.” Carolin menyahut. “Bagaimana kabar papa?”
Pertanyaan
itu menyengatku.
“Papa
baik. Menitip salam untuk kalian,” Emilia mengusap pipinya. “Antoni mana?”
“Kakak
kerja. Malam biasanya baru datang. Kerja di perkebunan sawit.”
“Aku
membawa berkarung-karung pertanyaan sejak dulu,” kata Emilia. “Tetapi menemukan
kalian nyata di hadapanku, pertanyaan-pertanyaan itu lenyap.” Dia memandang
kami bergantian. “Rasanya lega luar biasa. Oh, Carol.”
Sekarang,
air mataku tak terbendung. Aku melihat gerakan tulus penuh kerinduan dari
Emilia saat memeluk kami. Apakah itu artinya, Faustino tidak menceritakan siapa
dirinya?
“Mama.
Tahun-tahun tanpamu begitu berat—“ Emilia menekan ujung matanya. “Tapi aku
tidak pernah menangis. Sekarang, bertemu kalian airmataku malah tumpah.”
Aku
tidak menampik, kalau kami juga harus melalui hari-hari berat pasca jajak
pendapat itu. Membawa Carolin dalam gendonganku, dan menggandeng Antoni. Saking
ketakutan, aku bahkan mengikat pergelangan tangan Antoni dengan kain yang
kuikat di pinggangku.
Di
barak pengungsian Atambua aku tidak berhenti lama. Begitu ada rombongan menuju
Kupang, aku mengajak anak-anak bergabung bersama mereka. Kami naik kapal menuju
Jawa. Aku memang pergi tidak untuk menjadi pengungsi sementara yang kemudian
kembali pulang. Aku berjalan ke barat karena harus melanjutkan kehidupan.
Bagiku,
cukup sudah takdir kebersamaan dengan Faustino dan Emilia. Aku tahu segala
risiko yang harus kutanggung. Membesarkan Antoni dan Carolin. Ketika
orang-orang memilih integrasi karena tetap ingin bergabung di bawah NKRI, aku
memilih integrasi karena ingin merdeka dari tekanan batin yang dilakukan
Faustino kepadaku.
Aku
memutuskan berhenti di Surabaya. Kusewa kamar kecil tak jauh dari Pasar Turi.
Aku melapor kepada pemilik kos dan RT setempat siapa diriku. Bukan meminta
belas kasihan, aku hanya ingin menjadi warga yang baik. Semua itu sudah kupikirkan masak-masak
sebelumnya. Dengan begitu, kuharap Antoni dan Carolin bisa mendapat hak pendidikan
yang sama sebagaimana anak-anak Indonesia. Benar saja, mereka menerimaku dengan
ramah. Carolin diterima di SD Negeri tak
jauh dari tempat kos. Tapi, Antoni tidak mau sekolah lagi. Dia bersikeras ingin
membantuku.
Ada
masa dimana setiap hari aku berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk
mencari kerja. Apa saja kulakukan. Dari membantu di warung. Tukang sapu,
mencuci setrika dari rumah ke rumah, bahkan menjadi pemulung. Hingga akhirnya
aku menetap menjadi pembantu rumahtangga dengan waktu kerja dari jam 6 pagi
hingga jam 6 sore.
Antoni
kuminta menjaga adiknya di kos sekaligus mengantar jemput sekolah. Kubilang
padanya itu tugas mulia. Memang benar seperti itu, bagiku Antoni adalah
malaikat yang dikirim Tuhan untuk menjaga kami. Bahkan hingga hari ini. Antoni
masih betah melajang, karena baginya, yang nomor satu dalam hidupnya adalah aku
dan adiknya.
Pernah
kubilang padanya, dia berhak bahagia. Menyuruhnya jatuh cinta dan membangun
masa depan. Tapi jawabnya, “Kebahagiaanku saat ini mama dan Carol. Aku tak
perlu memaksakan hidup bersama orang lain dan berpura-pura bahagia.”
Kadang
aku merasa bersalah pada Antoni, tak bisa mengantarkan ke jenjang pendidikan
yang tinggi. Tapi aku percaya bahwa perjalanan kami telah mendidiknya menjadi
lelaki dewasa yang bertanggungjawab. Dia juga yang mengusulkan agar kami ikut
program transmigrasi demi masa depan Carolin.
Barangkali
memang garis takdir, atau balasan kasih
sayang yang diberikan Tuhan atas usaha dan doa kami. Di tempat ini, kami punya
rumah yang menjadi milik kami seutuhnya. Memiliki pekarangan setengah hektar dan satu setengah hektar
lahan garapan.
Carolin
langsung diterima menjadi guru. Sebelumnya dia telah menyelesaikan pendidikan
di Unesa. Sedangkan Antoni bekerja keras menggarap lahan. Dia begitu bangga
menjadi petani katanya. Sebenarnya, menggarap lahan mentah bukan hal mudah.
Semua warga mengeluhkan itu. Tahun pertama benar-benar ujian. Hingga penghujung
tahun kami belum mendapat hasil panen apapun. Banyak warga trans yang pulang
kampung karena merasa putus asa. Tapi bagi kami, di sini rumah terakhir.
“Wow!
Mama masih menjahit?” Emilia menunjuk mesin jahit di dekat jendela.
“Untuk
melatih mata tua.” Aku tertawa.
Kami
sudah duduk di ruang tamu dan melanjutkan cerita. Ya, di masa-masa sulit itu, Antoni bekerja di
lahan sawit dengan gaji yang sangat rendah. Aku memasang plang di depan rumah
untuk jasa menjahit. Namun karena kami semua berada di musim paceklik, tak ada
seorang pun datang untuk menjahit baju.
Baru
dua tahun ini mulai ramai. Aku melayani pesanan menjahit sekaligus menyediakan
bahan. Pelangganku bisa memilih
modelnya, dan aku akan mencarikan kain ke pasar Mundu Malaysia.
“Wow,
cantik-cantik.” Emilia melihat baju-baju di gantungan. Saat itu aku baru sadar
ada orang lain diantara kami.
“Oh
maaf sampai lupa, kau…?”
“Abilio,
Tante.”
Kami
berjabat tangan.
“Oh
Tuhan, aku pangling.”
“Beda
ya, Ma? Main film dia.”
“Oh
artis ya?”
Pemuda
itu tersenyum sambil menggeleng.
Emilia
kembali duduk di sampingku. Lalu dia bercerita suasana di pengungsian, dan
bagaimana dia memaksa papanya ke Atambua untuk mencariku.
“Ada
titipan dari papa.” Emilia membuka tasnya.
Dadaku berdenyut. Aku tidak mengharapkan
apapun dari Faustino. Hidupku baik-baik saja tanpa lelaki itu.
“Ada
kaset di dalam.” Emilia menyodorkan tape
recorder kecil. “Tapi sebelum mama memutarnya, aku ingin tunjukkan sesuatu
dulu. Bil, bisakah kau meninggalkan kami sebentar?”
“Tentu.
Aku sudah tidak sabar ingin memotret pemandangan luar.”
Emilia tertawa. “Bawakan aku foto
yang banyak.”
***
Kami
duduk berdua setelah kepergian Abilio. Carolin sibuk di dapur. Emilia mengambil
ponsel, menyentuh layarnya, dan membiarkan di telapak tangannya.
“Pergilah. Dia tetap mamamu.
Orang yang bisa mendiamkan tangismu saat kecil. Satu-satunya orang yang bisa
memahamimu saat kau merajuk.”
Sekujur
tubuhku kaku. Meski enam belas tahun tak
mendengarnya, tetap saja aku
mengenalinya.
“Papa tidak ingin bertemu
mama?”
“Keadaan tidak lagi sama,
Emili.”
“Tapi selama ini papa tak
pernah mencari pengganti mama?”
“Itu bukan tujuan hidup
papa.”
Suara
itu terdengar jelas dalam keheningan kami.
“Papa masih mencintai mama,
bukan?”
Aku
menahan napas.
“Untuk apa mempertahankan
orang yang kita cintai, kalau ia tak bahagia bersama kita?”
Tanpa
kuminta, gulungan masa lalu menghantam
ingatanku. Cinta. Bahagia. Luka. Lukaku memang sembuh seiring waktu. Kami
melalui masa sulit untuk merekatkan retakan-retakan biduk rumahtangga. Saat
layar kembali terkembang, aku hamil. Tuhan menghadiahi kami Carolin. Hingga
bertahun-tahun hidup kami kembali normal.
Tetapi
aku lupa, bahwa waktu bisa membawa kembali yang telah terjadi. Suatu malam, di
tengah suasana Timor Timur yang tak menentu, Faustino mengatakan, bahwa wanita
yang tak ingin keketahui siapa namanya itu, ingin bertemu dengan Emilia.
Awalnya,
aku tidak masalah saat mengetahui mereka kembali bertemu dan menjalin
komunikasi. Tidak masalah juga kalau Emilia bertemu dengan ibu kandungnya.
Tetapi, kalimat Faustino yang mengatakan bahwa kami harus berlaku adil. Bahwa
selama ini kami telah memisahkan wanita itu dengan putrinya, bahwa Emilia
berhak punya kehidupan yang normal. Aku sungguh-sungguh tidak terima.
Apa
maksudnya? Bagaimana yang terjadi sesungguhnya? Faustino yang membawa bayi itu,
atau ibunya yang tak ingin merawatnya?
Dan tentang kehidupannya yang menderita karena tak bisa bersama putrinya,
apakah Faustino pikir aku bahagia menerima semuanya?
Jadi,
saat itu aku curiga, pertemuan mereka, lebih dari sekadar pertemuan biasa.
Tetapi bisa jadi mereka mengulang masa lalu yang sama. Dan aku tidak mau
mendapat luka yang sama. Sebab itulah aku memilih pergi.
“Mama…”
Emilia menyentuh lenganku. Aku mencoba tersenyum meski pipiku terasa kaku. “Aku
memahami rasa kehilangan papa atas kepergian mama. Papa bahkan menunggalkanmu
dalam hidupnya. Berkali-kali kukatakan aku siap jika dia menikah lagi. Tetapi
berkali-kali pula dia menolak.”
Emilia
meremas tanganku.
“Karena
cintaku pada mama dan papa sama besarnya, itu sebabnya aku mencari mama. Juga
Antoni dan Carolin.”
“Mama
minta maaf. Karena keputusanku, kalian jadi terpisah satu sama lain.”
“Kita
semua korban sejarah, Ma. Banyak juga yang mengalami nasib seperti kita.
Terpisah karena pilihan. Bill juga, belum lama bertemu dengan keluarganya yang
di Bandung.”
Gestur Emilia berubah santai. Tapi
aku masih terus bertanya-tanya, benarkah Faustino tak pernah cerita kenyataan
yang sesungguhnya pada Emilia?
“Tapi lihatlah, Ma. Betapa kompaknya
aku dan Carolin. Kami sama-sama menjadi guru. Itu cita-cita kami waktu kecil.”
“Kalian memang anak-anak hebat yang
membanggakan.”
“Papa dan mama yang telah mendidik
kami dengan hebat.”
Aku menelan ludah, tidak tahu harus
senang atau sedih.
“Jadi, apa mama tidak ingin dengar
pesan papa di kaset itu? Aku sangat penasaran, kalau boleh tahu.”
“Oh, tentu saja boleh.” Tapi aku
tidak tahu apa yang dikatakan Faustino dalam rekamannya. Apa akan ada
hubungannya dengan Emilia atau tidak. Dan aku sungguh-sungguh tidak percaya,
kalau sampai detik ini Emilia belum tahu siapa ibu kandungnya.
“Emili.” Aku menyentuh lengannya.
“Waktu telah membuat kau tumbuh dewasa, dan kami para orang tua menua.” Aku
bingung menemukan kalimat yang tepat. “Aku tidak tahu apa yang dikatakan
papamu, dan apapun itu, aku ingin kita menyikapinya secara dewasa.”
Aku menangkap raut cemas di matanya.
“Tentu,” ucapnya terdengar gugup.
“Ayo putarlah.”
Emilia menekan tombol play. Jari-jari kami bertaut dalam
suasana yang sunyi. Aku bisa mendengar gesekan pita berputar.
“Mira,” suara berat itu memecah
hening. Kami sama-sama memandang tape
recorder seakan-akan pemilik suara ada di sana.
Aku menahan napas menunggu lanjutan
kata Faustino.
“Apa kabar?” Sesaat jeda. “Aku minta
maaf, Mira.” Kembali hening. “Aku tahu, kesalahanku pantas untuk tidak
dimaafkan. Kepergianmu menyadarkan betapa aku ini lelaki bodoh. Aku tak bisa membedakan mana cinta dan
nafsu. Aku menerima rasa sakit dan kehilangan sebagai hukuman. Seringkali aku
disergap kecemasan yang membuatku menjadi lelaki pengecut. Ayah yang pengecut.
Aku tidak bisa membayangkan, setelah kehilangan kalian, lalu harus kehilangan Emili.”
Aku dan Emilia saling berpandangan.
“Sekali lagi kukatakan, Mira. Bahwa
dia hanya datang ingin membawa Emili. Tetapi dalam situasi yang tidak menentu
seperti itu, aku harus mengambil keputusan yang adil untuk putriku. Tak bijak
rasanya, menyerahkan Emili pada orang yang selama ini asing dalam hidupnya. Dia
dalam suasana duka karena kepergian kalian. Aku pun tidak sanggup harus
menjelaskan semuanya pada Emili. Aku tidak sanggup melukainya. Sebab itu sama
saja melukai diriku sendiri.”
Tangan Emilia dingin, dia melepaskan
genggamanku.
“Kau tahu, aku mengajarkan
kebaikan-kebaikan kepada Emili. Dia begitu memujaku, hingga ketika kau pergi,
dia dengan suka rela memilih bersamaku. Aku tak sanggup melihatnya terluka
karena orang yang dia percaya adalah pendosa.
Aku mohon, Mira, katakan semua padanya. Bagaimana pun, dia telah dewasa.
Dia berhak tahu siapa sebenarnya dirinya.”
“Ap-ap, apa ini?”
Aku menatap Emilia yang gemetar.
Genangan air di matanya siap tumpah. Aku meraih tangannya. “Emili.” Demi Tuhan,
rasanya aku pun ikut membeku. Aku sama sekali tidak menyangka kalau Faustino
sebegitu pengecut hingga menyerahkan hal besar ini kepadaku.
Berkali-kali aku menghela napas. Mungkin benar aku telah
berdamai dengan masa lalu. Aku menyebutnya, telah selesai dengan diriku
sendiri. Bagaimana pun juga, aku menerimanya sebagai ujian yang harus aku
jalani, yang pada akhirnya aku merasa kuat dan lapang saat semua kupasrahkan
pada Tuhan.
Tetapi, mungkin, ketika Faustino
benar-benar menyadari kekeliruannya, tentu tidak mudah bagi lelaki itu
melupakan begitu saja. Karena sudah pasti, perasaan bersalah akan tersandang di
punggungnya. Ya, aku tahu dia berada di posisi sulit. Tetapi saat ini, tentu
Emilia pihak yang paling merasakan sakit.
“Aku kira papamu sudah menceritakan
semuanya?” kataku hati-hati.
“Rahasia besar macam apa ini?”
Tatapan Emilia menuntut jawaban.
“Ini yang kubilang, bahwa kita harus
menghadapinya dengan dewasa.” Aku menggenggam tangannya. Lalu kuceritakan
pertama dia datang malam itu. Aku tidak mau menutupi apapun, bahkan sakit
hatiku.
Meski
pada akhirnya aku mencintai Emilia. Menyayanginya seperti darah dagingku
sendiri. Tetapi, semua belum usai, hingga sakit kedua yang menjadi sebab utama
aku pergi. Sebab jika yang dimaksud
Faustino kehidupan sempurna Emilia adalah saat dia tinggal dengan kedua
orangtuanya, maka saat yang sama, memang aku yang harus pergi.
Kukatakan juga pada Emilia, kalau aku
sungguh-sungguh tidak tahu siapa ibu kandungnya. Bahkan namanya. Aku memang
tidak ingin tahu dan tidak mau mencari tahu, sebab aku tak siap membenci. Cukup
aku menerima Emilia hadir sebagai takdir yang aku sayangi. Ya, aku mengatakan
semuanya, karena bagiku Emilia berhak tahu.
Sebenarnya, kepada Antoni dan
Carolin aku juga cerita. Bukan aku ingin membagi sakit hati. Sekali lagi,
anak-anak berhak tahu kenapa orang tua mengambil jalan yang mungkin membuat
mereka bertanya-tanya. Aku katakan pada mereka bahwa aku tidak harus mendapat
pembenaran atau simpati dari kisahku.
Tentu
saja aku tidak mengajak melakukan penghakiman. Tetapi aku ingin mereka mengambil pelajaran. Bahwa
dalam hidup ini, hal-hal tertentu, kekeliruan dari kesenangan sesaat yang
diambil seseorang, bisa jadi membuat banyak orang terluka.
“Oh
Tuhan,” Air mata Emilia jatuh di punggung tanganku. Aku menyekanya. Tidak
seperti saat datang, bagaimana dia memancarkan kecantikan dan percaya diri.
Kini, aku bisa dengan jelas melihat luka dari matanya.
“Aku
berharap ini mimpi.” Emilia membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangan.
Kami
saling diam. Bermenit-menit aku tak mengatakan apapun. Bukan aku tidak mau
menghibur dan menguatkan Emilia, tetapi menurutku seseorang yang baru saja
menerima hal besar dalam hidupnya, butuh waktu untuk mencerna. Aku yakin, cepat
atau lambat Emilia akan memahaminya. Dia pasti tahu langkah apa yang akan
diambil.
[Bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar