“Dhek, lihat tempat sabun
gak?”
“Tempat sabun?”
“Iya tempat sabun yang
putih itu, yang bisa di tempel di dinding kamar mandi.” Tanya Joni, mendekati
istrinya yang sedang nyapu lantai.
“Yang sudah nggak lengket
itu ya?” Tanya Mirna, istrinya
“Ya, iya. Yang mana lagi
coba?”
“Aku buang mas…”kata Mirna
kemudian menggigit bibir.
“Apa? Kamu buang?!”
Mirna mengangguk.
“Kamu ini gimana sih? Itu
kan masih bisa digunakan, kenapa kamu buang?”
“lah. Aku pikir sudah
nggak ada gunanya, dari pada berserakan ya aku buang aja. Maaf ya, mas…”
“Makanya lain kali jangan asal buang sana buang sini.
Sudah berapa kali sih aku peringatkan. Setiap benda itu punya nilai guna,
meskipun dia sudah dekil atau rusak.”
Mirna diam, matanya
berkaca-kaca.
“Mas marah ya?”
“Ya.”
“Masa sih mas, gitu aja marah.”
“Karena kamu.membuatku kesal.”
“Emang penting banget ya, benda itu.”
Dan air mata Mirna mulai
jatuh. Ya, Nangis lagi? Kok begitu saja nangis sih? Batin Joni, Dia
masih saja heran setiap kali melihat istrinya menangis.sedikit-sedikit
nangis. Masa ngilangin barang juga nangis, kan yang salah dia, lagian yang
merasa kehilangan aku? Heran deh dengan wanitaku ini. Apa memang wanita paling
kaya air mata ya? ucap Joni, tentu saja di dalam hati. Karena kalau dia
benar-benar mengucapkan kata-kata itu pasti tangis istrinya semakin
menjadi-jadi.
Joni diam. Dibuang?
Oh my God. No! Dengan rasa jengkel Joni terus mencari-cari, di
kardus-kardus. Di bawah rak-rak. Bagaimana mungkin barang sebagus itu dibuang?
“Nggak ada ya?” Tanya
Mirna sambil membungkuk ke sana, membungkuk ke sini. Ikut mencari. Gawat, pasti
suaminya akan marah. Dia ingat benar kalau barang itu sudah di buangnya. Dia
pernah berusaha memasangnya di kamar mandi tapi tidak berhasil. Tempat sabun
itu hanya sebentar lengket di dinding. Dan belum sempat Mirna keluar dari kamar
mandi, sudah terdengar bunyi grubak. Dan tempat sabun itu jatuh. Dan setelah
berkali-kali jatuh Mirna membuangnya begitu saja ke tempat sampah.
Dan bagi Joni? Tentu saja
itu sangat menjengkelkan. Dia suka - bahkan senang dengan istrinya - yang rajin bersih-bersih, menata rumah
menjadi rapi dan enak di pandang. Tapi yang tidak dia sukai adalah kalau tangan
–bagi Joni - “jail” Mirna sudah mulai
membuang barang ini dan itu. Setidaknya barang-barang yang menurut Joni masih
bisa di pakai.
Pernah suatu hari koleksi
tempat polpennya yang sudah habis di buang begitu saja, padahal bagi Joni benda
itu masih bisa di belikan isi. Tali-tali raffia juga dibuang, padahal – bagi
Joni – benda seperti itu harusnya di simpan kalau butuh sewaktu-waktu bisa
digunakan. Dan lagi…botol-botol minuman yang akan Joni gunakan menanam bunga
juga dikasihkan tukang sampah.
Lain waktu Mirna
memberikan Koran-koran bekas pada penjual sayur.
“Apa? Koran-koran itu
sudah tidak ada? Padahal kan masih bisa di kliping beritanya. Kamu tahu nggak
sih? aku belum menggunting gimana hebohnya Zidane dapat kartu merah di piala
dunia 2006. Padahal itu berita terakhirnya bermain bola. Trus…bagaimana
mengharu birunya tim Irak menjadi juara di piala asia. Tabloitku tentang
olahraga yang memuat berita tentang Beckham juga kamu buang? Ya ampun, Mirna, Mirna...”
“Tapi…mas…itu kan koran
lama…sudah…bulukan..”
“Tapi? Tidak ada
tapi-tapian!”
“Maaf, ya mas…” Kata Mirna
dengan mata yang berkaca-kaca. Menyesal? Tentu saja. Dia tidak menyangka kalau
suaminya akan semarah itu. Padahal koran-koran itu sudah menggunung di pojok
dapur bertahun-tahun dan sebagian sudah terkena bocoran air hujan berkali-kali.
Lain waktu ketika kaca helm Joni pecah di jalan,
Joni menyuruh Mirna memasukkan pecahannya ke dalam tas Mirna. Dan
ketika Joni mencarinya Mirna justru bilang, “Memangnya pecahan helm sekecil itu
masih mau dipakai lagi? Kan helmnya sudah dekil, mas?”
“Jadi kamu hilangin pecahan helm itu?.”
“Aku lupa mas, aku nggak ingat.”
“Pyek! Aku sudah bilang sama kamu, simpan pecahan itu!
Suatu hari aku akan lem lagi dan cat lagi helmku biar bagus.”
“Tapi, mas,”
“Kamu selalu saja begitu.”
“Dorr! Ini dia…!”
Mirna memberikan pecahan
helm itu. Joni tersenyum. Hmm…, nampaknya Mirna sudah mulai tahu nilai guna
suatu benda. Pikir Joni. Ya, memang menurut Joni barang-barang bekas itu jangan
buru-buru dibuang. Ambil dulu manfaatnya, jadilah orang yang kreatif. Joni
masih ingat pelajaran di SD tentang membuat ketrampilan dari barang-barang
bekas. Dan Joni mendapat nilai sembilan koma lima.
Tapi bagi Mirna, pecahan
kaca helm sekecil itu, mana helmnya sudah dekil tidak kelihatan warna aslinya?
Masih mau di cat? Masih mau dipakai? Bukankah suaminya sudah beli helm yang
baru. Dan Mirna hanya menggeleng-geleng dengan kebiasaan suaminya itu.
“Itu apa?” Kali ini Joni melihat istrinya membawa karung
besar.
“Oh…ini sampah mas.”
“Kok banyak sekali?”
“Iya, kotak-kotak susunya Dela. Dari pada numpuk menuhi
dapur mau aku buang aja.” Kata Mirna sambil melangkah keluar.
“Tunggu!”
“Kenapa, mas?”
“Kotak-kotak susunya jangan asal di buang itu kan bisa di
buat mainan untuk Dela.”
“Mau dibuat apalagi?”
“Sudahlah, kapan-kapan kalau ada waktu aku bikin sesuatu
yang bagus.”
“Tapi ini sudah kena kotoran ikan, kena sambal…lagian
kan, mas selalu sibuk, mana sempat”
“Yah…kamu ini, payah. Ya sudah lain kali jangan dibuang
lagi ya?”
“Pokoknya kalau menuhi dapur dan bikin sampah ya akan aku
buang.”
Karena Mirna yang suka seenaknya membuang-buang barang yang dalam pandangan Joni masih memiliki nilai guna, maka Joni menjadikan pojok belakang rumahnya sebagai tempat penyimpanan barang-barang bekas. Joni merasa bahwa dia harus menyelamatkan barang-barang itu dari tangan “jail” istrinya. Dan mereka sepakat. Mirna juga berjanji tidak akan mengganggu dan menyentuh barang-barang koleksi suaminya.
Karena Mirna yang suka seenaknya membuang-buang barang yang dalam pandangan Joni masih memiliki nilai guna, maka Joni menjadikan pojok belakang rumahnya sebagai tempat penyimpanan barang-barang bekas. Joni merasa bahwa dia harus menyelamatkan barang-barang itu dari tangan “jail” istrinya. Dan mereka sepakat. Mirna juga berjanji tidak akan mengganggu dan menyentuh barang-barang koleksi suaminya.
Jas hujan bekas, Joni
pikir hanya bolong sedikit masih bisa di tambal dan di buat gonta-ganti kalau
hujan. Sepatu, sandal putus…menurutnya suatu hari pasti berguna, bahkan
sebatang dahan bambu kering pun bisa untuk mengambil benda-benda yang nyangkut
di atas genteng, pot pecah bisa disambung lagi. Celana panjang yang sobek
bawahnya bisa di potong di jahit dan jadilah celana pendek yang bagus.CD-CD
bekas bisa dibikin hiasan, batu besar bekas galian sumur, suatu hari nanti
kalau sudah punya taman bisa dicat dan ditaruh di taman. Dan masih ada banyak
barang yang diselamatkan Joni dari pandangan istrinya
* * *
Joni baru saja sampai di kantor ketika HPnya bergetas. My
love, hmm, istrinya, ada apa pagi-pagi telpon?
“Mas…mesin pompa air bekas itu di mana?”
“di bawah lemari dapur?”
“Masih mau dipakai nggak?”
“Masih. Kenapa?”
“Ada tetangga sebelah yang butuh mas.”
“Masih, masih mau aku serviskan dan masih bisa dipakai
lagi, buat ganti kalau sewaktu-waktu pompa air yang satunya rusak.”
“Tapi, mas…aku sudah terlanjur bilang boleh kalau di
minta…”
“Bilang aja, mau aku pakai lagi.”
“Tapi aku gak enak mas.”
“Gak enak gimana? itukan milik kita ya terserah kita dong
mau kita apakan?”
“Tapi…” Joni mulai mendengar isak istrinya
“Lho, kok kamu malah
nangis?.”
“Dikasihkan aja ya mas.
Soalnya aku nggak enak bilang sama orangnya. Masa aku harus bilang mau dipakai.
Kan itu sudah rusak parah.”
“Terserah kamu!” Joni mulai kesal.
“Boleh nggak?”
“Terserah!”
“Kok terserah, aku kan jadi bingung. Trus aku bilang
apa?”
“Terserah kamu mau bilang apa?”
“Nggak enak mas, sama tetangga sendiri, toh itu barang
bekas.”
“Karena itu barang bekas, kenapa dia nggak beli aja yang
baru, yang baru juga nggak mahal, dan lagi pula dia juga orang kaya.”
“Ya, tapi aku gak bisa ngomongnya…dikirain kita pelit
mas, masa barang bekas sudah rusak aja nggak boleh diminta”
Joni diam.
‘Mas…” Mirna terisak lagi. Joni mematikan telepon. Kalau
sudah nangis istrinya akan menghabiskan banyak pulsa jika tidak segera
dimatikan.
MAS…
Mirna mengirim SMS,
merajuk…
Terserah kamu.
Balas Joni, kemudian dia
mulai menyalakan komputer dan berkutat dengan angka-angka. Dan Mirna? Berulang kali dia harus menyusun
kata-kata untuk menemui tetangganya.
* * *
“Mas hari ini kerja bersih-bersih yuk.”
Seperti biasa dihari
minggu Keluarga Joni menghabiskan separuh pagi untuk jalan-jalan, membaca
Koran, minum kopi dan sarapan. Tapi kali ini Mirna menawarkan Sesutu yang lain.
“Ok!”
“Aaaauuuu…!” Baru saja Joni meneguk kopi terakhirnya dia sudah dikejutkan
suara Mirna yang lebih dulu mulai bersih-bersih.
“Tikuusss…!”
“Keluarga tikus…!”
“Tikus, ya, tikus! Tutup semua pintu!”
Mirna, dengan wajah pucat
dan tubuh gemetar menutup pintu. Joni lari kebelakang dan menemukan beberapa
tikus mencoba berlari dan sembunyi. Joni membuka tumpukan museum barang-barang
bekasnya. Dan mahkluk-mahkluk belum berbulu itu bercicit-cicit banyak sekali.
“Waaa!” Joni mundur kebelakang.
“Barang-barangku dibuat sarang tikus?!”
“Apa mas? Hih…anak-anak tikus? Segitu banyaknya? Sudah
berapa lama mereka beranak pinak di sini?” Mirna bergidik dan mundur ke
belakang.
Joni segera bergerilya
mengusir tikus-tikus itu. Bahkan dia mengambil dua ekor kucing liar yang ada di
depan rumahnya untuk mengusir tikus-tikus itu. Tapi justru kucing-kucing itu
hanya diam saja.
“Ya Tuhan. Barang-barangku? Semua hancur?
Tercabik-cabik?”
Pagi itu mereka
benar-benar bekerja keras untuk membersihkan tikus-tikus dan kotoran yang
berbau menyengat.
“Coba kalau mas membiarkan aku membersihkan baju-baju itu
dan memberikan pada yang membutuhkan,. Coba kalau jas hujan yang bolong
lututnya itu di kasihkan pemulung, mungkin sampai sekarang masih berguna. Dan
lihat! Pompa air itu membusuk penuh karat. Mas bisa memperbaiki? Mau mas buat
apa? Kalau saja itu dipakai orang dia akan tetap memiliki nilai guna tinggi.
Sekarang, nilai guna apa yang bisa diambil dari barang-barang itu, mas?”
Joni diam.
“Nilai guna suatu barang itu akan ada jika barang-barang
itu bisa diambil manfaatnya, bisa digunakan sebagaimana mestinya, dan digunakan
oleh yang membutuhkan bukan disimpan sampai membusuk begini?”
Mirna yang biasanya tidak banyak bicara kini di telinga
Joni berubah mengoceh seperti burung.
“Mas, tahu nggak, aku dilanda tidak enak berhari-hari
gara-gara pompa air ini. Karena aku harus menjaga perasaanku, perasaan
tetanggaku, dan perasaan suamiku. Memberi jawaban yang tidak menyinggung
tetanggaku dan tidak menjelekkan suamiku. Tapi nyatanya? Hanya begini endingnya?”
Mirna diam,
cemberut. Joni diam, anaknya yang baru tiga tahun justru berteriak, “Tikuss…!”
“Mana?”
“Itu di punggungnya papa…”
“Huaa…!!!” Joni berjingkat-jingkat sambil mengibaskan
tangannya. Mirna menahan tawa. Dalam hati dia berterima kasih pada tikus-tikus
yang datang tanpa diundang itu. Dia berharap dengan kejadian ini suaminya akan
berubah.
* * *
Suatu pagi, 22nop07/09:33
hehehehe...pengen jitak joni.xixixi...
BalasHapuskereeen. ihihihi jadi ngaca. kalau itu kebiasaan ku mba. ga mau buang barang2 bekas, sayang. pdhl ngga diapa-apakan juga.
BalasHapusKeren mbak. Hidup pemulung ! Mereka adalah sahabatku yang rutin mampir ke rumah minta barang bekas ...hehehe.
BalasHapusHoreeee...makasih Mbak Anik udah mo dijitakin hihi, Mbak Windi ati2 ada penghuninya, Mbak Amalia ayo kbar pompom :D
BalasHapuscerpenmu tak pernah hilang cerita hewannya:D
BalasHapusAhaha...ya meksipun jadi cerita tikus :D
HapusKayak suamiku dan kakak iparku yang suka ngumpulin barang bekasnya hingga jadi sarang tikus. Kadang bikin tengsi tinggi dan adu otot sama suamiku...karena aku ngga bisa-an liat barang bekas yg ngelumbruk tanpa manfaat gitu numpuk..mending dibuang kalo ngga dimanfaatin segera, duuh kok jadi curhat ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ
BalasHapusWaaaah...klo saya klo barang2 orang ngelembruk gak bisa betah, padahal barang sendiri berantakan :D
HapusMakasih Mbak udah mampir :)
pas adegan tikusnya aku ikut geli mbak :D
BalasHapusKemarin ada tikus masuk beneran lewat talang :D
Hapus