Sumarti terpaku di depan jendela.
Matanya menatap nanar ke jalanan. Bocah-bocah berteriak, menggiring bola ke
lapangan. Dua balita berkejaran disuapi ibunya. Lalu, sepasangan suami istri tertawa-tawa di atas motornya.
Matanya menganak sungai. Lalu pecah. Air menggarisi pipinya yang kusam. Harusnya dia menjadi bagian dari mereka. Atau
setidaknya, tak menatap iri, setelah menunggu selama tigaratus sembilan puluh sembilan hari.
* * *
Wanita
mana yang ingin menikah di penjara? Wanita mana yang impiannya mengikrarkan janji sakral di langsungkan di balik tembok tahanan? Tanpa pesta, tanpa tamu undangan. Tidak ada bukan?
Begitupun
Sumarti. Meski dia hanya wanita desa sederhana, yang biasa-biasa saja, dia
juga tidak pernah mengharapkan pernikahan sucinya berlangsung di
penjara. Hari yang dia angankan penuh senyum nyatanya, justru menjadi awal hari-hari penuh air mata.
Tidak
terlalu muluk impian Sumarti. Dia ingin menikah, menjadi istri yang sholehah,
menjadi ibu yang baik, dan menantu yang baik. Dia tidak menginginkan hingar
bingar musik atau pesta yang meriah. Baginya ada penghulu, ada saksi dan doa
dari saudara-saudaranya adalah kado yang sangat istimewa.
Namun, kenyataan berbicara lain. Tepat satu hari, sebelum pernikahannya, Wardoyo dijemput polisi. Dia menjadi tersangka pengedar dan pengguna narkoba.
Apa
yang bisa diperbuat Sumarti? Apa yang hendak dikatakan wanita itu? Selama ini,
dalam pandangan Sumarti, Wardoyo adalah orang yang baik, yang dia cintai dan
juga mencitainya.
“Setelah aku dapat pekerjaan, aku
akan segera melamarmu Ti. Kita akan menikah dan kamu akan hidup bahagia
selama-lamanya. Aku sangat mencintaimu Ti. Kamu harus yakin, bahwa kamu akan
selalu bahagia bersamaku. Aku tidak akan pernah membiarkan sedikitpun kamu
menangis. Aku akan selalu membuatmu tersenyum.”
Sumarti belum pernah mendengar kalimat semanis itu.
Dia kepayang, tidak pernah sedikitpun tidak percaya dengan kata-kata Wardoyo.
Pun, ketika suatu hari Wardoyo datang dengan senyum, mengabarkan bahwa lelaki itu mendapat pekerjaan. Sumarti melambung. Apalagi hari- hari berikutnya dia menyaksikan Wardoyo lewat depan rumahnya pergi bekerja dengan motor barunya. Sumarti selalu mengiringinya dengan doa.
Namun nyatanya. Belum lagi sebuah
akad diikrarkan. Belum juga Sumarti sah menjadi istri Wardoyo. Sumarti telah
menangis, hati Sumarti telah terluka. Sumarti merasa dibohongi, merasa ditipu
oleh orang yang selama ini sangat dia cintai.
Namun orang tua Sumarti menyakinkan kalau Wardoyo tidak bersalah. Lelaki itu pasti bebas. Pernikahan harus tetap dilakasanakan. Karena, bagi keluarga Wardoyo, hari pernikahan yang telah ditetapkan pantang dibatalkan. Dan, meski hatinya remuk, sekali lagi Sumarti percaya.
Namun orang tua Sumarti menyakinkan kalau Wardoyo tidak bersalah. Lelaki itu pasti bebas. Pernikahan harus tetap dilakasanakan. Karena, bagi keluarga Wardoyo, hari pernikahan yang telah ditetapkan pantang dibatalkan. Dan, meski hatinya remuk, sekali lagi Sumarti percaya.
Mereka menikah di penjara.
“Besok aku akan bebas Ti,
percayalah. Aku ndak salah kok.”
“Aku percaya Mas, njenengan tidak
akan memberikan makanan yang tidak halal
untuk keluargamu,” ucap Sumarti seusai akad.
Dia pulang dengan wajah mendung. Tidak ada malam pertama yang kata temen-temennya indah. Bulan madunya lebih pahit dari daun pepaya yang sering diarebus.
Dia pulang dengan wajah mendung. Tidak ada malam pertama yang kata temen-temennya indah. Bulan madunya lebih pahit dari daun pepaya yang sering diarebus.
Dan, ketika Wardoyo benar-benar
terbukti bersalah dan difonis hukuman satu tahun satu bulan. Sumarti masih
bisa bangkit, berusaha tegar. Semua adalah ujian, hanya cobaan. Batinnya. Tidak
ada yang tidak pernah jatuh di dunia ini, dan dia memaafkan Wardoyo.
Wanita itu menganam hari sendiri, merenda
kesabaran sendiri. Meski kadang harus menulikan telinga dari gunjingan orang
tentang suaminya. Sumarti tetap tegak. Dia yakin setelah Wardoyo keluar dari
penjara, lelaki itu akan berubah. Dia bersedia menerima apa adanya suaminya.
Satu hari. Satu minggu. Satu
bulan. Satu tahun. Hari-hari penantian Sumarti.
Dia menatap kalender di dinding. Sumarti mengetuk angka yang dilingkari. Besok. Besok, semuanya akan berakhir.
***
Hari terkikis. Tinggal menunggu hitungan jam saja bagi Sumarti untuk bertemu dengan orang yang
dia rindui.
Tapi,
satu jam yang lalu takdir bicara lain. Aimatanya bercucuran seketika. Dia merasa tulang-tulangnya dilucuti. Sia-sia sudah keteguhan dan kesabarannya selama ini. Kabar yang ditangkap telinganya, seperti petir yang memekakkan.
“Ti, suamimu tak akan kembali.” Kang Parmin datang dari kelurahan dengan membawa selembar Koran.
“Apa?”
“Ti, suamimu tak akan kembali.” Kang Parmin datang dari kelurahan dengan membawa selembar Koran.
“Apa?”
“Lihat!” Parmin menyodorkan koran kusut ke hadapan Sumarti, “Ini jenenge bojomu, Ini juga fotone
bojomu, dia termasuk delapan orang yang membuat pabrik narkoba di rutan. Dia tidak akan pulang besok Ti, hukumannya akan bertambah panjang. Dan...”
Detik berikutnya, Sumarti, tidak mendengar lagi apa yang di katakan kang Parmin. Wanita itu tersungkur tidak sadarkan diri. Tetangganya geger. Menggotong Sumarti dan menggosoknya dengan balsem. Semua menatap prihatin.
Detik berikutnya, Sumarti, tidak mendengar lagi apa yang di katakan kang Parmin. Wanita itu tersungkur tidak sadarkan diri. Tetangganya geger. Menggotong Sumarti dan menggosoknya dengan balsem. Semua menatap prihatin.
* * *
Sumarti
masih termangu di depan jendela. Jalanan senyap. Matahari
sudah sejak tadi lenyap di bukit barat. Satu dua bintang muncul. Dan sepotong
bulan memancar cahaya samar.
Kalau saja dulu dia menuruti
kata-kata kang Parmin, kakak semata wayangnya. Barangkali kejadiannya tidak akan
seperti ini? Sumarti berandai-andai.
“Menikahlah dengan Yasin, Ti. Dia
menanyakanmu. Dia itu jujur, pekerja tekun, meskipun hanya sebagai buruh
tani. Aku yakin Yasin bertanggung jawab,” pinta Parmin waktu
itu.
“Tapi aku tidak suka sama Yasin kang. Menurutku dia terlalu pendiam.” Sumarti menolak.
“Jadi kamu tetap akan menikah dengan Wardoyo?”
“Mas Wardoyo juga orang yang baik. Dia itu katanya pernah kuliah tapi mau mencintai aku, wanita desa yang hanya lulusan SD. Aku pengin anak-anak kami nanti menjadi anak yang pintar dan sekolah sampai tinggi.”
“Kamu yakin dengan pilihanmu,Ti?”
“Aku sangat mencintai mas Wardoyo.”
“Aku bukan tidak setuju. Aku hanya
ingin yang menjadi suamimu adalah orang yang bisa menjadi imammu, membimbingmu
di dunia, sekaligus menggandengmu sampai syurga.”
“Aku percaya mas Wardoyo bisa,
kang.”
Sumarti menyaksikan Parmin, laki-laki itu, yang menjadi wali baginya --setelah mereka yatim piatu-- hanya diam dengan keputusannya.
Dan Wardoyo? Lelaki yang dia harapkan bisa membahagiakannya?
“Tunggu aku ya Ti, aku akan segera kembali untuk membahagiakanmu.”
Begitulah ucap Wadoyo setelah akad nikah dulu, saat Sumarti mencium tangannya
dari balik jeruji besi.
Sumarti menyeka air mata yang merembesi
wajah kusamnya. Semua peristiwa itu, berjejalan memenuhi kepalanya. Dia menganjur napas panjang. Mendorong sesak di dadanya.
Setelah semua yang diterima Sumarti, masihkan dia sanggup untuk menunggu lagi? Wanita itu bukan saja merasa beban memenuhi pundaknya, namun juga memberati langkahnya.
Bukan, bukan masalah waktu. Bukan juga karena hatinya berpaling. Tapi wanita itu, merasa tak yakin lagi, kalau Wardoyo bisa menjadi imam yang baik untuknya.
Bagaimana bisa, Sumarti menunggu tangan Wardoyo menggandengnya sampai syurga, seperti yang di harapkan Parmin, kakaknya. Sementara Wardoyo terus menerus menciptakan borgol untuk lengannya sendiri.
Setelah semua yang diterima Sumarti, masihkan dia sanggup untuk menunggu lagi? Wanita itu bukan saja merasa beban memenuhi pundaknya, namun juga memberati langkahnya.
Bukan, bukan masalah waktu. Bukan juga karena hatinya berpaling. Tapi wanita itu, merasa tak yakin lagi, kalau Wardoyo bisa menjadi imam yang baik untuknya.
Bagaimana bisa, Sumarti menunggu tangan Wardoyo menggandengnya sampai syurga, seperti yang di harapkan Parmin, kakaknya. Sementara Wardoyo terus menerus menciptakan borgol untuk lengannya sendiri.
Aku rindu kamu, Mas Wardoyo.
Aku menunggumu selama empat ratus hari.
Tapi untuk menantimu lagi? Aku tidak sanggup.
Aku memang mencintaimu, Mas.
Tapi aku merasa, kamu tidak pernah mencintaiku.
Maafkan aku mas.
Aku menunggumu selama empat ratus hari.
Tapi untuk menantimu lagi? Aku tidak sanggup.
Aku memang mencintaimu, Mas.
Tapi aku merasa, kamu tidak pernah mencintaiku.
Maafkan aku mas.
Sumarti.
Wanita itu - dengan rambut kusut, wajah pucat dan tangan gemetar, melipat surat yang dia tulis. Bagi Sumarti, ini keputusan besar dalam hidupnya.[]
Sidoarjo, 19 juli 2011
Wah, hebat nih mba Brin bisa nembus Ummi... aku belum pernah bisa, lho.... :D
BalasHapusItu karena Mbak Leyla nggak kirim kan? :)
HapusIni lagi ngumpulin naskah2 aja biar gak tercecer...pada ilang soalnya...