Rabu, 20 Juni 2012

Pintu yang Selalu Terbuka (dimuat di majalah Ummi)


Sardi menatap langit hitam yang menempurungi bumi. Ia kembali menggantungkan tanya ke angkasa, meski tak ada bulan, meski tak ada bintang. Musim hujan membuat benda-benda langit itu sembunyi di balik awan.

            Kentongan berbunyi duabelas kali di kejauhan. Namun lelaki itu tak juga menguap. Separuh malam-malamnya selalu ia habiskan di depan rumah, di bawah pohon sawo sambil memandang ke ujung jalan yang gelap. Berharap ada sosok yang datang, memanggilnya “Kang aku pulang” dan memeluknya dengan rindu yang tumpah. Sosok yang amat dicintainya, sosok yang membuatnya tentram setiap kali di sampingnya, memeluknya, bahkan aroma keringatnya sekalipun.

            Tapi itu dulu.

Kini sosok itu pula yang menyeret sebagian malam-malamnya  tanpa memicingkan mata. Membuat separoh jiwanya mati rasa. Membuat setengah semangatnya hilang. Membuat barisan iganya kelihatan. Membuat tulang rahangnya terpahat jelas.

Lastri. Sosok itu, yang telah pergi beberapa musim, meninggalkan ia dan Bagas, buah pernikahan mereka.

Lelaki itu telah mencari ke Wonogiri, ke tempat biasanya orang-orang kampung buruh di sawah-sawah, tapi tak ada Lastri di sana. Ia juga mencari ke Surabaya, ke pabrik-pabrik. Namun setiap kali ratusan orang keluar dari pintu gerbang pabrik,  Lastri tidak ada di antara mereka.

Sardi juga pernah ke Jakarta. Barangkali, Lastri ada di sana, seperti orang-orang desanya yang sukses kerja  di ibu kota. Namun lelaki itu semakin bingung, ke sudut manakah mencari Lastri di kota yang tidak pernah tidur itu? Pada akhirnya, ia memilih pulang, setelah uang saku dari hasil menjual sepetak sawahnya habis.

"Lastri, Lastri...." Lelaki itu selalu menyebut nama istrinya, disusul embusan napas yang panjang. Penyelasan datangnya memang belakangan. Kini, ia merasa lagu-lagu campursari perihal lelaki yang ditinggal pergi untuk mencari tambahan beli terasi seolah mengejeknya.

Memang tidak dipungkiri kalau kerjanya sebagi buruh  tani sering kali pas-pasan. Kadang bahkan kurang. Apalagi Bagas mulai masuk sekolah. Meski sekolah negeri gratis tetap saja jajan harus membayar.

Kepergian Lastri belum pernah memberi hasil apa pun pada kehidupan rumah tangga mereka. Bahkan ada semakin menganga di hati Sardi, setelah  puluhan bulan Lastri tidak mengirim kabar.

Penyesalah, harga diri yang hilang dan rasa bersalah seperti sulur-sulur liar membelit dirinya. Meski kadang ia menghibur diri, kalau selama ini toh ia bukannya tidak pernah berusaha. Selama ini lelaki itu selalu membanting tulang, dari ladang satu ke ladang lain. Berusaha bekerja sebaik-baiknya agar tenaganya kembali dipakai.

Hanya saja memang harus ia akui, penghasilannya tak cukup untuk memenuhi semua permintaan Lastri. Bagaimana bisa ia mengabulkan keinginan Lastri, setelah pinjam uang arisan untuk membeli sofa belum terbayar, istrinya itu minta kredit sepeda motor. Meski alasannya biar mudah mengantar Bagas sekolah. Biar mudah pergi ke mertua. Biar gampang pergi ke pasar.

Sardi tidak bisa menyanggupi.

Dan melepaskan Lastri adalah pilihan. Lebih tepatnya, Sardi tidak punya pilihan lain.

“Aku pasti baik-baik saja, Kang. Yu Mini juga kerja ke kota, dan berhasil bukan? Bahkan rumahnya diganti batu bata. Bagas pasti senang kalau aku berhasi. Kalau sudah gajian aku akan kirim pulang.”

“Aku saja yang pergi.”

“Nanti sawah sepetak kita tidak keurus. Lagipula aku bisa ngerjain apa di rumah?”

Sisa-sisa percakapan di kepala Sardi memudar. Malam telah menangkup sepi. Tak ada siapa pun di ujung jalan.

Lelaki itu bangkit setelah beberapa kali menggaruk tangan dan kakinya yang di serbu nyamuk. Awas sempurna menutul langit, dan gerimis jatuh satu-satu. Sardi berdiri, menatap ke ujung jalan sekali lagi, sebelum melangkah ke dalam rumah.  Ia sengaja membiarkan pintunya terbuka, agar dari tempatnya berbaring ia bisa melihat jika ada yang muncul dari sana.

“Mak... Mak...”

Sardi menoleh ke arah Bagas. Membenahi selimut garis-garis yang tersingkap. Hampir tiap malam pula bocah itu selalu memanggil ibunya. Lelaki itu mengusap rambut anaknya yang kasar. Dan segera saja, dadanya seperti ditusuki puluhan duri.

Kadang ia begitu kuwalahan menghadapi Bagas. Terutama urusan sekolah. Sering kali Bagas pulang dengan marah-marah karena diminta tinggal sebentar untuk mengulang. Bimbingan tambahan dari gurunya justru dirasakan sebagai beban. Pernah Bagas mendapat catatan panjang. Nilai-nilai yang kurang. Usil menggangu teman. Tugas-tugas yang jarang diselesaikan, atau beberapa soal yang dikerjakan asal-asalan.

Sardi menghirup napas panjang, mengembuskan lewat mulut, kemudian mulai membaringkan tubuhnya.  Ia memejam, tetapi banyak hal menjejali kepalanya.

Menjelang subuh ia baru terlelap sebentar, kemudian bangun dengan kepala berat dan badan pegal-pegal. Hawa dingin membuatnya enggan beranjak. Tetapi ia harus ke dapur, memasak sarapan dan menyiapkan keperluan sekolah Bagas.

Hari-hari belakangan ini tidak ada pekerjaan di ladang. Panen masih beberapa minggu lagi. Artinya tidak ada orang yang membutuhkan tenaganya. Dan berati juga ia harus pandai-pandai mengatur pengeluaran.

Tidak mudah makan enak dengan harga murah. Tentu saja dia bisa makan apa saja. Singkong bakar. Nasi sambal. Tetapi Sardi tak mau memberi asupan yang asal kepada Bagas. Sudah cukup hari-hari bocah itu tanpa ibunya, jadi ia ingin memberikan makanan yang layak.

Meski di awal-awal kepergian Lastri masakannya lebih sering gagal. Telur dadar keasinan. Ikan asin yang gosong.  Nasi yang terlalu keras, atau di lain hari terlalu lembek. Tapi makin hari, kemampuan di dapurnya semakin terasah. Hanya saja Sardi merasa waktunya habis di dapur. Ia sering berangkat ke ladang kesiangan. Atau pulang terlambat, dan tahu-tahu hari berganti sementara baju-baju kotor belum dicuci.

“Kok Emak lama banget ya, Pak?” Lelaki itu tersentak. Suapan terakhirnya seperti berhenti di kerongkongan. Dia meneguk air dari kendi tanah sebelum tersenyum –mencoba tersenyum—kepada anaknya.

“Sebentar lagi pasti pulang.”

“Sebentar lagi terus!”

“Ya... karena sebentar lagi.”

“Kemarin kata Bapak juga sebentar lagi.”

“Iya.”

“Itu bukan sebentar. Aku bosan.”

Rasanya adalah gulungan jerami mendesak-desak dada Sardi. Percakapan seperti ini, bukan hanya sekali dua kali. Bahkan hampir setiap kali mereka makan.

“Segera. Sudah siang.”

Lelaki itu berdiri, manaruh botol minum ke tas Bagas, menjejalkan PR yang semalam mereka kerjakan. Ia merasa lega ketika Bagas tidak merengek lagi tentang emaknya. Ditatapnya bocah itu yang berlari-lari kecil mengejar temannya.

Tadi Sardi sempat melihat baju seragam Bagas dipenuhi titik-titik noda hitam. Setelah kehujanan tempo hari, ia terlambat  mencucinya. Tertumpuk baju-baju lain di sampiran samping rumah dalam keadaan basah. Sepatu Bagas juga sudah jebol bagian samping.

Namun uangnya memang harus ia simpan. Selain itu, Sardi berjanji akan membuat selamatn kecil-kecilan jika Lastri pulang. Memasak nasi uduk dan ayam panggang, misalnya. Ia membayangkan Lastri akan takjub melihat keterampilannya memasak kini. Aatau barangkali Lastri mengajaknya jualan nasi uduk di pasar sebagai usaha baru? Tapi kapan Lastri pulang? Sardi menganjur napas panjang.

Dalam diam, ia memberesi sisa keriuhan pagi di dapurnya, diteruskan dengan mencuci dan membersihkan halaman. Tidak tidak mau saat Lastri datang rumah seperti tidak berpenghuni.

Seharian Sardi berbenah. Membabat tanaman liar, memperbaiki pagar, mencabuti rumput, hingga matahari di atas kepala, dan suara Bagas mengejutkannya.

“Kok rumahnya bersih sekali, Pak?”

“Kita harus siap-siap kalau sewaktu-waktu emakmu datang.”

“Emak mau pulang?”

“Iya… pulang....” Sardi menjawab gamang.

“Kapan?”

“Mungkin sebentar lagi.”

“Wah…berarti benar kata haji Jamal, kalau kita rajin doa, pasti Gusti Allah akan mengabulkan. Bagas juga selalu berdoa agar emak segera pulang. Bapak juga doa kan?”

Sardi mengangguk ragu. Lelaki itu  tersenyum getir. Tak sanggup menatap mata Bagas yang penuh harap. Dia mengalihkan pandangannya ke ujung jalan, berharap ada sosok yang datang. Namun hingga matahari menancap di bukit barat, hingga burung hantu bernyanyi, dan kelelawar mengepakkan sayapnya, bahkan hingga kentongan di kejauhan berbunyi dua belas kali. Tak ada sosok yang muncul di sana. Hingga ia harus kembali memasuki rumahnya tanpa menutup pintunya.

Ya, hari ini Lastri tidak datang, mungkin besok, atau besoknya lagi, atau besoknya lagi. Mungkin sebentar lagi.

***

Pagi masih berkabut ketika Sardi membuang air sisa mencuci piring keluar rumah. Tidak lupa dia menyempatkan memandang ke ujung jalan yang remang. Dia berharap ada sosok yang muncul.

Dan benar, ada sesuatu yang bergerak-gerak di sana. Semakin dekat. Semakin jelas. Lelaki itu mengusap kedua matanya. Memastikan ketajaman penglihatannya. Hingga sosok itu kini nyata di hadapannya.

Lelaki itu menggigil, ia ingin berteriak namun suaranya seperti tercekat di kerongkongan. Ia ingin berlari namun kakinya seperti menancap di bumi.

Sosok itu diam, beberapa depa darinya. Sosok yang sangat dikenalnya, dirindukannya. Sesaat mereka beku. Dua pasang mata bertatap, berkaca-kaca.

“Lho? Emak? Emak pulang!” Tiba-tiba Bagas memecah keheningan. Seperti tertarik magnit Bagas berlari menubruk sosok yang dipanggilnya emak.

Bersamaan dengan itu, sebuah suara kembali terdengar. Tangisan bayi dari gendongan emaknya.

Air mata deras menggarisi pipi Lastri. Bibirnya bergetar.  “Maaf, Kang...."

Sardi masih terpaku, sosok yang dinantinya kini telah berada di hadapannya. Sosok yang amat dicintai, dirinduinya. Bahkan ia tidak pernah menutup pintu rumahnya. Ya, sosok itu benar-benar nyata. Dtang dari ujung jalan yang remang, membawa oleh-oleh untuk mereka, seorang bayi mungil yang menangis.

Beratus malam ia membuka pintu rumahnya, baru kini ia disergap pertanyaan, apakah ia akan menutupnya? Bahkan menguncinya?

Wanita di hadapannya masih istrinya, karena ia tidak pernah menceraikannya. Namun bayi yang ada di gendongannya? Anak siapa?[] 


Sidoarjo,juni 05.
Di muat di majalah UMMI Nopember 2005

24 komentar:

  1. Aduh, Mb jadi ingin beli novelnya..

    BalasHapus
  2. ending nya gantung ya mba..tapi all of bagus kisah dan ceritanya :)

    BalasHapus
  3. aku punya Majalahnya :) sukaaa deh

    BalasHapus
  4. Wah endingnya bikin nyeseeeek...
    Bagus mb Shab. Tulisanmu selalu lembut mbak. like it

    BalasHapus
  5. nafas langsung sesak di ending .... huhuhu
    makasih mbak ....

    BalasHapus
  6. Cerita bagus...bahasanya enak

    BalasHapus
  7. Cerita bagus...bahasanya enak

    BalasHapus
  8. Cerita bagus...bahasanya enak

    BalasHapus
  9. Bagus, endingnya bikin orang berkhayal sendiri. Inilah nama nya sastra yang bagus dan orisinil...ha ha ha sok tau amay ya saya....

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...