Bicara tentang lebaran? Tentu
saja tidak lepas dari pulang kampung. Dan itu membuat saya selalu rindu pada
kampung halaman. Pada hawa sejuknya, pada pohon-pohon pinus yang saling
berbisik dengan aroma khas, juga pada keramahan penduduknya.
Ramadhan dan lebaran di kampung saya, menjadi
saat yang ditunggu-tunggu oleh para orang tua. Karena pada bulan inilah
anak-anak mereka yang merantau ke kota akan datang. Meski hanya beberapa hari
di rumah tapi itu cukup untuk menjadi obat rindu bagi keluarga. Karena biasanya
lebaran hari ke tujuh, mereka akan kembali ke kota lagi.
Lebaran juga membuat orang-orang kampung saya, terutama ibu-ibu menjadi orang
yang paling sibuk sekampung. Bahkan tidak jarang ibu-ibu yang meriang, pusing
tujuh keliling karena harus memikirkan lebaran yang segera datang. Tentu saja
karena tiba-tiba para ibu ini harus pinter-pinter mengatur anggaran belanja
rumah tangga. Beli baju buat anak-anak, beli jajan-jajan buat suguhan tamu
nanti dan tentu saja belanja bahan-bahan masakan untuk acara kauman.
Kauman adalah salah satu tradisi yang paling membuat ibu-ibu sibuk di
hari terakhir ramadhan. Bagimana tidak? acara kauman ini sebenarnya adalah
acaranya bapak-bapak. Karena yang diundang hanya bapak-bapak. Tapi bapak-bapak
sepertinya tidak akan seribet ibu-ibu. Karena kalau bapak-bapak kan tinggal di
undang, datang dan makan. Lah, kalau ibu-ibu ya yang ribet dari pagi-pagi buta
sehabis sahur sampai jelang maghrib. Mereka sibuk menyiapkan berbagai hidangan
untuk kauman. Mulai dari nasi dan segala lauk-pauknya, serta jajanan dan
minuman. Yang semua itu membuat ibu-ibu menghabiskan satu hari penuh di dapur.
Tidak hanya itu, bahkan setelah acara kauman selesaipun ibu-ibu masih sibuk
memberesi alat-alat makan dan sisa-sisa makanan bekas kauman.
Dulu, di kampung saya acara kauman itu diselenggarakan serentak sehari
menjelang hari raya idul fitri, atau di malam lebaran. Di kampung saya
acara kauman ini, diadakan per blok atau wilayah. Ah jangan dikira seperti
blok-blok perumahan di kota-kota ya. Blok di kampung saya itu, seperti ini,
misalnya blok seberang kali ada sepuluh rumah, ya mereka mengadakan secara
bergantian di sana. Atau blok di lereng pegunungan, blok pinggir-pinggir jalan
dan lain sebagainya.
Nah di
blok atau wilayah saya itu ada sebelas rumah, memanjang ke atas bukit. Yang
paling beruntung menurut saya adalah yang rumahnya pertama kali di datangi.
Karena semua suguhannya pasti di makan dan tidak sia-sia. Lah, yang terakhir?
Bisa dibayangkan deh, makan bergilir ke sebelas rumah dalam satu waktu.
Yah…makanan hanya di ambil lauknya atau…kalau tidak ya di makan sebagai syarat
saja, alias mencicip sedikit makanan di piring dan tidak dihabiskan.
Maka, berlomba-lombalah ibu-ibu memasak, agar mendapat
kunjungan pertama kali. Tapi…ternyata itu tidak menyelesaikan masalah. Karena,
saking inginnya di kunjungi pertama kali, ada bapak-bapak menyuruh
istrinya untuk segera menyelesaiakan masakanya dan mengundang tetanggakan
sehabis sholat ashar. Mungkin niatnya sih, biar menunggu buka puasa. Tapi
ternyata itu juga tidak efektif. Karena kalau hanya menunggu di satu rumah
nanti bisa kelamaan dan menghabiskan waktu. Maka, begitulah, meskipun di
datangi pertama kali, tetap saja, semua suguhan tidak di makan jika belum
waktunya buka puasa. Kalau sudah begitu tentu
saja yang paling beruntung adalah rumah yang didatangi saat buka puasa tiba.
Karena para undangan pasti akan segera melahap makanan yang disuguhkan. Ya,
jadi apa yang dilakukan para ibu seharian penuh itu seperti hanya mendapat
capek saja. Karena ibu-ibu bisanya akan termangu-mangu di dapur memandangi sisa
makanan menggunung yang dengan susah payah mereka masak.
Maka, suatu malam,sambil
menikmati buah nangka di depan tungku yang hangat, saya, mamak dan bapak
membicarakan tradisi kauman di kampung kami itu. Ya, apapun namanya, kalau hal
itu terus berjalan, maka rasanya akan banyak makanan yang mubazir di
malam lebaran.Apalagi tidak semua orang mempunyai dana lebih untuk di gunakan
acara kauman itu. Ada orang yang dananya pas-pasan atau mungkin justru kurang
untuk membeli hidangan kauman. Tapi karena malu atau sungkan sama tetangga maka
di paksakan untuk menyajikan yang terbaik meskipun harus hutang sana-sini.
“Gimana kalau kaumannya di bawa ke masjid
saja, pak? Jadi konsepnya buka puasa bersama gitu. Makan ringan atau minum dulu,
setelah itu sholat maghrib berjamaah, baru di teruskan makan berat,” saya
mengucapkan saran pelan-pelan.
“Nah, itu ide yang bagus,”
sahut bapak.
“Jadi, kita tidak menghilangkan
kauman. Tapi tempatnya saja yang beda pak. Kalau biasanya di rumah-rumah, maka
dipindah ke masjid-masjid. Toh, niatnya tetap sama, syukuran karena bisa
menjalankan puasa ramadhan, kan?”
Maka begitulah, dengan
bismillah, kami memulai sesuatu yang baru. Dengan pelan-pelan, bapak
menyampaikan idenya kepada orang-orang. Beberapa orang nampak masih bingung
dengan ide bapak. Dan sampai di malam lebaran tidak ada satupun orang yang
mengikuti ide bapak itu. Malah idenya dibilang ide gila. Bapak dengan senyum mengundang
tetangga-tetangga untuk buka puasa bersama di masjid. Ada yang cuek, ada
yang menanggapi antusias, dan ada juga yang menolak dengan tegas. Tentu saja,
karena ide bapak ini dianggap menentang tradisi nenek moyang. Bahkan ada
tetangga yang mewanti-wanti hal itu bisa mendatangkan keburukan. Kami
sekeluarga sih, tawakal ‘alallah saja.
Saat pertama kali bapak membawa
hidangan kauman ke masjid, orang-orang dari wilayah lain pun juga
terheran-heran. Tapi anak-anak kecil justru suka. Karena mereka bisa buka
bersama di masjid. Dan dengan cepat berita tentang bapak menentang tradisi
malam lebaran segera tersebar. Kami bersikap biasa saja, kami jawab dengan apa
adanya, mencari yang terbaik diantara yang baik. Kami jelaskan juga sisi
positipnya yang lebih banyak. Jika kauman diadakan di masjid, maka bisa sholat
magrib berjamaah, makanan tidak sia-sia. Selain itu pekerjaan ibu-ibu bisa
lebih ringan. Dan setelah buka bersama bisa diteruskan sholat isya
berjamaah dan takbiran.
Tapi, tetap saja semua itu
masih menjadi pro dan kontra. Ada yang bilang bahwa mereka lebih sreg
mengadakan kauman di rumah. Kata mereka lagi, masalah makanan yang sia-sia itu
tergantung kepada niatnya. Dan ada juga yang bilang kalau tidak diadakan
di rumah maka leluhurnya tidak akan kebagian. Ah…
Tahun berikutnya, tahun
berikutnya dan tahun berikutnya lagi, beberapa orang mulai ikut membawa makanan
ke masjid. Namun beberapa rumah meskipun sudah membawa makanan ke masjid,
tetap saja mengadakan sesajen (menata makanan di sudut rumah atau di kamar,
yang katanya sebagai sesaji kalau roh para leluhur pulang). Ini memang
menyedihkan, meskipun untuk hal ini, Alhamdulillah di keluarga kami tidak
pernah melakukannya, bahkan sejak nenek buyut masih ada.
Kini setelah berjalan beberapa tahun, hampir semua
orang di kampung kami, membawa makanan mereka ke masjid. Menunggu buka bersama,
sholat maghrib berjamaah dan buka bersama. Kebanyakan ibu-ibu menyukai acara
seperti ini. Karena tentu saja pekerjaan lebih ringan. Selain itu tidak terlalu
banyak makanan sia-sia. Kalaupun tersisa biasanya akan habis dimakan ketika
malam, saat orang-orang takbiran.
Begitulah, tradisi lama itu
akhirnya bersolek dan bergeser ke tradisi baru. Alhamdulillah sampai
sekarang nampaknya kebisaan bersajen semakin jarang. Dan untuk yang mau
mengundang tetangganya, maka mereka mengundang secara bergilir di hari-hari
bulan ramadhan untuk buka bersama.
Postingan ini dalam rangka Lomba Blog Pojok Pulsa:
Pojok Pulsa - Pulsa Elektrik - Pulsa Murah - Voucher Game Online.
Mau Pulsa Gratis? Follow: @pojoktweet | Facebook Page Pojok Pulsa | Pojok Pulsa Google Plus Page
Kirain Kauman yg nama daerah di Klaten itu, mba...
BalasHapustradisi yg unik, bisa diangkat jg ke dalam cerpen, mba.
Memang mubadjir ya.... tp bisa mengeratkan tali silaturahim.
Oya, itu bannernya belum dipasang.
Beneran Mbak...makanan tuh numpuk banget, ada yang sampai berhutang dan mengeluh tiap mau bikin kauman. Masjid jadi sepiii kadang adzan isya telat.
HapusEh itu bannernya di samping Mbak...
tulisan mbak brina keren.ide memindahkan makan2 ke masjid jg keren.jd mirip ruahan ya mbak:D
BalasHapusmampir ke aku ya mbak:
http://dongeng-naura.blogspot.com/2012/08/mudik-lebaran-paling-mendebarkan.html
Maturnuwun Mbak...ya begitulah di kampungku:)
HapusSudah mampir...ikut degdegan kejaran pesawat :D
Seru ya.. moga menang mbak
BalasHapusDi Sragen juga ada dukuh Kauman lho.. Di Jogja juga. kirain ini td tentang nama daerah, idem mbak Ela..
Halo Jeng...waah ternyata banyak daerah yang ada namanya Kauman ya. Sidoarjo, Ponorogo juga ada. makasih da mampir ya :)
HapusWah baru tahu nih tradisi kauman ^_^
BalasHapusIya Mbak...begitulah di kampung saya...
Hapusbaru tahu tradisi ini, beneran deh kirain kauman di Jogja tuh....:)
BalasHapusHohoho...semua pada ngira nama kota :)
HapusDi tegal juga ada kampung namanya kauman. Letaknya di belakang masjid agung. Moga menang ya mbak :)
BalasHapuswah moment yang seru. ika gak ngerti dengan tradisi begitu. di jawa memang masih kental ya mbak tradisinya. nice post mbak. moga menang ya
BalasHapusMirip Kauman nama daerah ya... Aku baru tahu kalo dulu tradisi ini nggak ada, perasaan pernah liat tayangan acara sejenis disebuah daerah di jawa udah dilakukan rame2 di pelataran masjid...jadi makanannya dijejer panjang biar bisa makan rame2..itu beda ya Shabbrina?
BalasHapusSelalu ada kesan sendiri dengan suasana itu....
BalasHapus