Selasa, 07 Agustus 2012

KAUMAN


Bicara tentang lebaran? Tentu saja tidak lepas dari pulang kampung. Dan itu membuat saya selalu rindu pada kampung halaman. Pada hawa sejuknya, pada pohon-pohon pinus yang saling berbisik dengan aroma khas, juga pada keramahan penduduknya.

             Ramadhan dan lebaran di kampung saya, menjadi saat yang ditunggu-tunggu oleh para orang tua. Karena pada bulan inilah anak-anak mereka yang merantau ke kota akan datang. Meski hanya beberapa hari di rumah tapi itu cukup untuk menjadi obat rindu bagi keluarga. Karena biasanya lebaran hari ke tujuh, mereka akan kembali ke kota lagi.

             Lebaran juga membuat orang-orang kampung saya, terutama ibu-ibu menjadi orang yang paling sibuk sekampung. Bahkan tidak jarang ibu-ibu yang meriang, pusing tujuh keliling karena harus memikirkan lebaran yang segera datang. Tentu saja karena tiba-tiba para ibu ini harus pinter-pinter mengatur anggaran belanja rumah tangga. Beli baju buat anak-anak, beli jajan-jajan buat suguhan tamu nanti dan tentu saja belanja bahan-bahan masakan untuk acara kauman.

             Kauman adalah salah satu tradisi yang paling membuat ibu-ibu sibuk di hari terakhir ramadhan. Bagimana tidak? acara kauman ini sebenarnya adalah acaranya bapak-bapak.  Karena yang diundang hanya bapak-bapak. Tapi bapak-bapak sepertinya tidak akan seribet ibu-ibu. Karena kalau bapak-bapak kan tinggal di undang, datang dan makan. Lah, kalau ibu-ibu ya yang ribet dari pagi-pagi buta sehabis sahur sampai jelang maghrib. Mereka sibuk menyiapkan berbagai hidangan untuk kauman. Mulai dari nasi dan segala lauk-pauknya, serta jajanan dan minuman. Yang semua itu membuat ibu-ibu menghabiskan satu hari penuh di dapur. Tidak hanya itu, bahkan setelah acara kauman selesaipun ibu-ibu masih sibuk memberesi alat-alat makan dan sisa-sisa makanan bekas kauman.

             Dulu, di kampung saya acara kauman itu diselenggarakan serentak sehari menjelang hari raya idul fitri, atau di malam lebaran. Di kampung saya  acara kauman ini, diadakan per blok atau wilayah. Ah jangan dikira seperti blok-blok perumahan di kota-kota ya. Blok di kampung saya itu, seperti ini, misalnya blok seberang kali ada sepuluh rumah, ya mereka mengadakan secara bergantian di sana. Atau blok di lereng pegunungan, blok pinggir-pinggir jalan dan lain sebagainya.

 Nah di blok atau wilayah saya itu ada sebelas rumah, memanjang ke atas bukit. Yang paling beruntung menurut saya adalah yang rumahnya pertama kali di datangi. Karena semua suguhannya pasti di makan dan tidak sia-sia. Lah, yang terakhir? Bisa dibayangkan deh, makan bergilir ke sebelas rumah dalam satu waktu. Yah…makanan hanya di ambil lauknya atau…kalau tidak ya di makan sebagai syarat saja, alias mencicip sedikit makanan di piring dan tidak dihabiskan.
           

Maka, berlomba-lombalah ibu-ibu memasak, agar mendapat kunjungan pertama kali. Tapi…ternyata itu tidak menyelesaikan masalah. Karena, saking inginnya di kunjungi pertama kali,  ada bapak-bapak menyuruh istrinya untuk segera menyelesaiakan masakanya dan  mengundang tetanggakan sehabis sholat ashar. Mungkin niatnya sih, biar  menunggu buka puasa. Tapi ternyata itu juga tidak efektif. Karena kalau hanya menunggu di satu rumah nanti bisa kelamaan dan menghabiskan waktu. Maka, begitulah, meskipun di datangi pertama kali, tetap saja, semua suguhan tidak di makan jika belum waktunya buka puasa. Kalau sudah begitu tentu saja yang paling beruntung adalah rumah yang didatangi saat buka puasa tiba. Karena para undangan pasti akan segera melahap makanan yang disuguhkan. Ya, jadi apa yang dilakukan para ibu seharian penuh itu seperti hanya mendapat capek saja. Karena ibu-ibu bisanya akan termangu-mangu di dapur memandangi sisa makanan menggunung yang dengan susah payah mereka masak.

 Maka, suatu malam,sambil menikmati buah nangka di depan tungku yang hangat, saya, mamak dan bapak membicarakan tradisi kauman di kampung kami itu. Ya, apapun namanya, kalau hal itu terus berjalan, maka rasanya  akan banyak makanan yang mubazir di malam lebaran.Apalagi tidak semua orang mempunyai dana lebih untuk di gunakan acara kauman itu. Ada orang yang dananya pas-pasan atau mungkin justru kurang untuk membeli hidangan kauman. Tapi karena malu atau sungkan sama tetangga maka di paksakan untuk menyajikan yang terbaik meskipun harus hutang sana-sini.

 “Gimana kalau kaumannya di bawa ke masjid saja, pak? Jadi konsepnya buka puasa bersama gitu. Makan ringan atau minum dulu, setelah itu sholat maghrib berjamaah, baru di teruskan makan berat,” saya mengucapkan saran pelan-pelan.
“Nah, itu  ide yang bagus,” sahut bapak.
“Jadi, kita tidak menghilangkan kauman. Tapi tempatnya saja yang beda pak. Kalau biasanya di rumah-rumah, maka dipindah ke masjid-masjid. Toh, niatnya tetap sama, syukuran karena bisa menjalankan puasa ramadhan, kan?”

 Maka begitulah, dengan bismillah, kami memulai sesuatu yang baru. Dengan pelan-pelan, bapak menyampaikan idenya kepada orang-orang. Beberapa orang nampak masih bingung dengan ide bapak. Dan sampai di malam lebaran tidak ada satupun orang yang mengikuti ide bapak itu. Malah idenya dibilang ide gila. Bapak dengan senyum mengundang  tetangga-tetangga untuk buka puasa bersama di masjid. Ada yang cuek, ada yang menanggapi antusias, dan ada juga yang menolak dengan tegas. Tentu saja, karena ide bapak ini dianggap menentang tradisi nenek moyang. Bahkan ada tetangga yang mewanti-wanti hal itu bisa mendatangkan keburukan. Kami sekeluarga sih, tawakal ‘alallah saja.

Saat pertama kali bapak membawa hidangan kauman ke masjid, orang-orang dari wilayah lain pun juga  terheran-heran. Tapi anak-anak kecil justru suka. Karena mereka bisa buka bersama di masjid. Dan dengan cepat berita tentang bapak menentang tradisi malam lebaran segera tersebar. Kami bersikap biasa saja, kami jawab dengan apa adanya, mencari yang terbaik diantara yang baik. Kami jelaskan juga sisi positipnya yang lebih banyak. Jika kauman diadakan di masjid, maka bisa sholat magrib berjamaah, makanan tidak sia-sia. Selain itu pekerjaan ibu-ibu bisa lebih ringan. Dan setelah buka bersama  bisa diteruskan sholat isya berjamaah dan takbiran.

 Tapi, tetap saja semua itu masih menjadi pro dan kontra. Ada yang bilang bahwa mereka lebih sreg mengadakan kauman di rumah. Kata mereka lagi, masalah makanan yang sia-sia itu tergantung kepada niatnya. Dan ada  juga yang bilang kalau tidak diadakan di rumah maka leluhurnya tidak akan kebagian. Ah…

 Tahun berikutnya, tahun berikutnya dan tahun berikutnya lagi, beberapa orang mulai ikut membawa makanan ke masjid. Namun beberapa rumah  meskipun sudah membawa makanan ke masjid, tetap saja mengadakan sesajen (menata makanan di sudut rumah atau di kamar, yang katanya sebagai sesaji kalau roh para leluhur pulang). Ini memang menyedihkan, meskipun untuk hal ini, Alhamdulillah di keluarga kami tidak pernah melakukannya, bahkan sejak nenek buyut masih ada.

Kini  setelah berjalan beberapa tahun, hampir semua orang di kampung kami, membawa makanan mereka ke masjid. Menunggu buka bersama, sholat maghrib berjamaah dan buka bersama. Kebanyakan ibu-ibu menyukai acara seperti ini. Karena tentu saja pekerjaan lebih ringan. Selain itu tidak terlalu banyak makanan sia-sia. Kalaupun tersisa biasanya akan habis dimakan ketika malam, saat orang-orang takbiran.

Begitulah, tradisi lama itu akhirnya bersolek dan bergeser ke tradisi baru. Alhamdulillah  sampai sekarang nampaknya kebisaan bersajen semakin jarang. Dan untuk yang mau mengundang tetangganya, maka mereka mengundang secara bergilir di hari-hari bulan ramadhan untuk  buka bersama.

 Tapi meskipun tradisi kauman itu sudah berubah wajah, sehari menjelang lebaran di kampung kami, suasana tetap sama dari jaman saya masih kecil hingga sekarang. Datanglah ke kampung kami  menjelang malam lebaran, dan bersiaplah mencium aroma wangi kue apem dari dapur-dapur rumah. Anda juga akan melihat anak-anak kecil yang berlarian riang gembira karena esok hari lebaran.

14 komentar:

  1. Kirain Kauman yg nama daerah di Klaten itu, mba...
    tradisi yg unik, bisa diangkat jg ke dalam cerpen, mba.
    Memang mubadjir ya.... tp bisa mengeratkan tali silaturahim.
    Oya, itu bannernya belum dipasang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beneran Mbak...makanan tuh numpuk banget, ada yang sampai berhutang dan mengeluh tiap mau bikin kauman. Masjid jadi sepiii kadang adzan isya telat.
      Eh itu bannernya di samping Mbak...

      Hapus
  2. tulisan mbak brina keren.ide memindahkan makan2 ke masjid jg keren.jd mirip ruahan ya mbak:D

    mampir ke aku ya mbak:
    http://dongeng-naura.blogspot.com/2012/08/mudik-lebaran-paling-mendebarkan.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maturnuwun Mbak...ya begitulah di kampungku:)
      Sudah mampir...ikut degdegan kejaran pesawat :D

      Hapus
  3. Seru ya.. moga menang mbak
    Di Sragen juga ada dukuh Kauman lho.. Di Jogja juga. kirain ini td tentang nama daerah, idem mbak Ela..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Jeng...waah ternyata banyak daerah yang ada namanya Kauman ya. Sidoarjo, Ponorogo juga ada. makasih da mampir ya :)

      Hapus
  4. Wah baru tahu nih tradisi kauman ^_^

    BalasHapus
  5. baru tahu tradisi ini, beneran deh kirain kauman di Jogja tuh....:)

    BalasHapus
  6. Di tegal juga ada kampung namanya kauman. Letaknya di belakang masjid agung. Moga menang ya mbak :)

    BalasHapus
  7. wah moment yang seru. ika gak ngerti dengan tradisi begitu. di jawa memang masih kental ya mbak tradisinya. nice post mbak. moga menang ya

    BalasHapus
  8. Mirip Kauman nama daerah ya... Aku baru tahu kalo dulu tradisi ini nggak ada, perasaan pernah liat tayangan acara sejenis disebuah daerah di jawa udah dilakukan rame2 di pelataran masjid...jadi makanannya dijejer panjang biar bisa makan rame2..itu beda ya Shabbrina?

    BalasHapus
  9. Selalu ada kesan sendiri dengan suasana itu....

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...