“Aku ingin ikut kerja yu Mur, Kang.”
“Tidak!!!”
“Tidak?” Aku menatapnya
tak mengerti. Belum pernah dia membentakku seperti itu.
“Lebih baik aku
kelaparan, dari pada hidup harus menadahkan tangan di jalanan!”
“Kau bisa saja mengatakan seperti itu, Kang?
Tapi aku butuh makan? Anakmu juga butuh makan. Kita telah menjadi kere sejak
menjejakkan kaki di kota ini. Apa itu belum cukup membuka matamu terbuka?
Hah?!”
“Tini?!”
“Apa?! Mau menyuruhku
bersabar lagi? Mau bilang kalau ini hanya sementara?!” Aku mendekat. “Berapa
lama kau bilang sementara, Kang? Sepuluh tahun?! Dua puluh tahun?!”
“Ayo jawab! Jangan hanya
diam?!”
“Sabarlah, Tin. Aku sedang
berusaha,”ucapnya sambil berjalan ke pojok ruangan, meraih topi di cantolan. “Jaga
saja anak-anak, aku kerja dulu.”
“Kau selalu begitu,
Kang?!” aku memburunya, berdiri tepat di hadapannya. “Selalu menghindar setiap
kali aku mengajakmu membicarakan masa depan!” ucapku serak,
“Bukan menghindar. Aku
hanya tak mau kita terus bertengkar…”
Kutampik tangannya yang meraih pundakku. “Tak mau bertengkar?” Air mataku mulai mengalir, “atau pengecut?!” aku berkacak pinggang.
Kutampik tangannya yang meraih pundakku. “Tak mau bertengkar?” Air mataku mulai mengalir, “atau pengecut?!” aku berkacak pinggang.
“Pengecut apa, Tin?”
“Apa namanya kalau bukan
pengecut?” Aku terisak. “Setiap kali aku memulai bicara, kau hanya diam! Atau
buru-buru pergi! Kau tak pernah tahu Kang, seperti apa anak-anak di rumah saat
kau tak ada! Menangis, merengek, minta jajan ini, itu.”
“Jangan ajari mereka
jajaaan. Beri saja nasi biar kenyang!”
“Apa?! enak sekali kau
bicara Kang? Kau tidak merasa bagaimana susahnya mengurus tiga anak, karena kau
selalu pergi pagi dan pulang malam!” ucapku beradu dengan tangis anakku yang
terbangun.
“Ini demi kau dan
anak-anak, Tin. Aku bukan pergi untuk bersenang-senang, harusnya kau tahu itu!” Suaranya mulai meninggi.
“Demi kami? Mana
buktinya?! Mana?!”
Dia menarik nafas
panjang, menggeleng berkali-kali, lalu pergi.
Aku tak ingat pasti kapan
pertama kalinya kami bertengkar. Kapan pertama kalinya kang Juri, suamiku
membentakku. Dan kapan pertama kalinya aku berkata kasar padanya.
Yang kuingat, enam tahun
lalu kami datang ke kota ini. Berhari-hari kami hidup seperti gelandangan
karena kang Juri tidak segera mendapat pekerjaan. Lalu kang Juri memutuskan
untuk menjadi pemulung. Kami tinggal di perkampungan kumuh yang padat. Menempati
sebuah rumah petak berukuran 3x2,5m. Beratap seng dengan lubang- lubang di
sana-sini, dan berdinding potongan-potongan triplek yang disambung sekedarnya.
“Sabar ya, Tin. Aku
janji, ini hanya sementara.”
Hanya sementara. Itulah
janji yang diucapkan kang Juri. Aku percaya kami bisa melalui kesulitan kami.
Namun enam tahun, bukan waktu yang sebentar untuk terus bersabar. Tak ada
perubahan dalam hidup kami. Kecuali dua kali kehamilanku berturut-turut.
Sehingga rumah kami yang sempit terasa penuh ditempati lima kepala.
Sering aku hanya menelan
getir ketika berbincang dengan beberapa tetanggaku.
“Makanya kamu bekerja, Tin.
Dari pada pengangguran gini,” ucap Yu Mur suatu hari.
“Kang Juri tidak
mengijinkan, Yu…”
“Tak mengijinkan, kalau semua kebutuhanmu terpenuhi sih ndak
masalah. Lah ini? membiarkanmu terlantar. Gimana sih jalan pikiran suamimu itu?”
Ya, mungkin benar ucapan
yu Mur. Jangankan dia, aku yang bertahun-tahun menjadi istrinya saja, masih
juga tidak bisa memahami jalan pikiran kang Juri. Dia lebih banyak diam dan
memilih menghindar.
Sering aku berpikir,
salahkah keputusanku dulu memilihnya menjadi suamiku? Benar ternyata, kalau
sebuah rumahtangga tak bisa hanya di bangun dengan pondasi cinta.
Cinta? Di mana letaknya?
Aku bahkan tak tahu lagi apa sebenarnya aku masih mencintainya? Mendengar
kata-katanya yang sama setiap hari, yang selalu menyuruhku bersabar, bersabar,
dan bersabar, membuatku begitu muak. Sering aku bertanya, apa yang dia lakukan
seharian di luar sana?
“Jangan melamun, Tin.”
Aku menoleh ke arah suara itu. Yu Mur datang mendekatiku.
“Banyak anak itu banyak
rezeki.”
“Maksudnya, Yu?”
“Jakarta ini keras, Tin.
Anak-anak harus diajari hidup yang kuat. Mereka harus bisa bertahan. Sudah
berkali-kali kukatakan Yuni dan Puji itu bisa mendatangkan rezeki, percayalah.”
Aku diam, mengelus kepala
Ninis yang kembali tidur di gendonganku. Sepertinya, aku memang harus melakukan
sesuatu, tanpa atau dengan seizin kang Juri.
Maka, diam-diam aku
mengikuti Yu Mur bekerja. Dia ajarkan padaku beberapa hal. Memakai pakaian yang kumal,
membiarkan bibir kering. Dan tidak mengusap wajah yang berkeringat.
“Jangan kau sisir rambut
anakmu. Biarkan wajahnya belepotan ingus. Karena dengan seperti itu, orang akan
merasa kasihan.” Begitu ucap yu Mur.
Awalnya aku merasa seperti
orang dungu. Namun bahagia rasanya, melihat rupiah demi rupiah terkumpul. Meski
beberapa kali aku harus teriak, karena yu Mur membawa Puji dan Yuni menyelinap di antara mobil-mobil di dekat
lampu merah.
Kucoba melupakan
pertengkaran dengan kang Juri tadi pagi. Sengaja kuhidangkan makanan istimewa.
Makanan dari hasil keringat kami. Nasi putih dengan ayam goreng.
“Wah, makan enak nih…”
kata kang Juri sambil memandang sepotong ayam di piringnya.
“Enak, Pak. Tadi ibu beli
ayam…” ucap Yuni dengan mata berbinar.
“Tadi kami kerja Pak.
Gampang banget. Banyak orang baik di jalan raya yang memberi kami uang.”
“Appaaa?!”
Suara kang Juri membuatku
tersentak. Air yang kutuangkan ke gelas tumpah. Ditaruhnya kembali piring yang
sudah di tangan. Rahangnya mengeras. Dia mendekatiku dengan bola mata yang
menonjol keluar.
“Apa aku sudah tidak
layak untuk percaya padamu lagi, Tin?!” Dia mengucapkan kalimat itu dengan
setengah berbisik. Namun kedua tangannya begitu kuat mencengkeram pundakku.
“Jawab, Tin!” Aku merasakan
hembusan nafasnya di wajahku. Tak bisa lagi kubedakan sakit yang manakah yang
membuat air mataku menderas. Sakit hatiku atau sakit pundakku oleh cengekeraman
tangannya. Aku ingin berteriak. Namun belum sempat aku bersuara dia telah
melepaskan cengkeramnya. Lalu melangkah pergi sambil menggaruk kepalanya dengan
kasar.
Kupandangi wajah
anak-anakku yang basah oleh air mata. Ingus mereka sudah hampir menyentuh
bibir. Tangan-tangan mungil itu tak lagi menyentuh makanan. Mata-mata yang semula
berbinar kini redup menyimpan ketakutan.
“Makanlah,Nak…, ayo
makan.” Kusodorkan kembali piring-piring melamin ke pangkuan Puji dan Yuni.
Namun mereka hanya menggeleng dengan air mata yang semakin menderas. Beberapa
detik kemudian, mereka telah menghambur ke pelukanku. Kudekap mereka erat-erat.
Isak kami beradu.
Sepanjang malam itu aku
dan kang Juri saling diam. Bahkan hingga pagi, kami tetap tak saling bicara.
Kang Juri melangkah pergi tanpa sepatah katapun. Lelaki macam apa itu? Makiku
dalam hati. Aku menghela nafas dalam. Inilah saatnya. Semua harus berakhir. Dan
aku yang akan mengakhiri.
Kuambil tas kumalku. Tas
yang sama saat kami datang ke Jakarta enam tahun yang lalu. Dengan hati seperti
diiris kumasukkan satu persatuan pakaian kami. Lalu kubangunkan anak-anakku
pelan-pelan.
“Kita akan ke mana, Bu?” tanya Puji.
“Kita akan mudik, Nak. Ke
rumah simbah di kampung.”
“Bapak?” pertanyaan Yuni membuatku terdiam
sejenak. Dan sebisa mungkin aku tersenyum padanya, “bapak masih kerja.”
Kutatap kembali
sudut-sudut rumah kami. Beberapa kenangan berkelebat. Namun aku tahu, aku harus
kuat. Lalu aku berpamitan pada tetangga-tetanggaku. Ada yang mengatakan
prihatin. Ada yang menyuruhku bersabar. Dan ada pula yang mengatakan agar
aku bercerai saja.
“Pulanglah ke ibumu, Tin.
Tak ada gunanya kamu ikuti suami macam Juri. Kamu ini cantik, masih banyak
laki-laki yang siap menjadi suamimu.”
Sesungguhnya, aku tak
yakin sepenuhnya akan keputusanku. Namun aku sudah tak punya pilihan lain. Dengan gamang aku mengajak ketiga anakku menuju
stasiun. Kubeli tiket dengan harga paling murah setelah bertanya berkali-kali.
“Tin?!”
Aku menoleh pada suara
yang sangat kukenal. Kami baru saja duduk di peron.
“Bapaaaak…!” Yuni dan
Puji berteriak.
“Kang Juri?!”
“Bapak minta maaf, Nak…,”
Kang Juri memeluk Puji dan Yuni.
”Aku minta maaf, Tin. Aku
sungguh-sungguh minta maaf.” Kang Juri menatapku dengan mata merah, lalu
kalimat-kalimat permintaan maaf dan penyesalam meluncur dari bibirnya. Aku tak
tahu harus berkata apa. Air mataku mengalir deras. Sungguh, sejak aku
meninggalkan rumah, aku terus berharap, ada yang mengejarku. Ada sebuah tangan
kokoh yang menahan langkahku.
“Ayo kita naik,” ajak
kang Juri sambil menggendong Yuni dan Puji.
“Tiketnya….” Aku menunjuk
selembar tiket di tanganku.
“Aku sudah membeli empat
tiket, Tin. Satu kursi tidak akan cukup untuk kita berlima.”
Aku berjalan mengikuti
langkah panjang kang Juri. Mencari bangku kereta yang sesuai dengan tiket di
tangannya.
“Aku minta maaf kalau
selama ini, aku begitu kasar dan keras kepadamu,” ucapnya setelah anak-anak
tidur. Kereta telah jauh meninggalkan Jakarta.
“Selama ini aku
menyembunyikan sesuatu darimu….”
“Sesuatu?” aku menatap
mata kang Juri.
“Separoh dari
penghasilanku aku tabung di bank, Tin. Aku sengaja tak mengatakan padamu. Kau
tahu kan, tidak mudah menyimpan di rumah. Jika ada tetangga yang hutang tidak
enak kalau tidak memberi. Tapi kalau dihutangi…uangnya sulit kembali….”
“Kang Juri, kenapa kau
tak mengatakan sejak dulu? Kalau dari awal kau terbuka padaku, mungkin
hari-hari kita tak dipenuhi pertengkaran.”
“Aku minta maaf, Tin.”
“Aku yang minta maaf
padamu, Kang…aku sering berkata-kata kasar padamu.”
“Aku menyayangi kalian. Aku tak ingin membiarkan kalian menjadi korban
keraskan hidup di Jakarta. Dan aku butuh waktu untuk mewujudkan itu.”
Kutatap wajah kang Juri.
“Aku sudah berencana
membuka usaha…atau kembali bertani dan….”
Kereta terus melaju
membelah malam. Kusandarkan kepalaku pada pundak kang Juri. Lelaki yang hampir
tiap hari kucaci, lelaki yang sering kukatakan pengecut, lelaki yang kupikir
tak pernah mencintaiku.Lelaki yang telah membuktikan cintanya, dan memenuhi
janjinya dengan caranya sendiri.
Sidoarjo 8
februari 2012
Meleleh hati ini. Keren, Mbak Brien :)
BalasHapusMakasih Mbak, sudah mampir :)
HapusMemang begitulah seorang lelaki....
BalasHapusLelaki yang peduli dgn cintanya..
Kadang tidak sperti kelihatannya
Terima kasih sudah mampir dan membaca :)
Hapussuka banyak percakapannya :)
BalasHapuskereen banget cerpennya mbaaakk.... pengen bisa nulis kayak gini...
BalasHapusTerima kasih Mbak Heny sudha berkenan baca :)
BalasHapusAyo Rosa. Makasih ya sudah mampir :)