Hujan mengguyur sejak semalam. Langit kelabu dan aroma kayu bakar menguar dari tungku dapur.
Jenny menatap api yang berderak-derak. “Kau terlihat gelisah, Max?”
Jenny menatap api yang berderak-derak. “Kau terlihat gelisah, Max?”
“Hari ini, aku tak bisa memberimu
hadiah apapun,” Max menambah bunga pinus
di atas bara, hingga membentuk gundukan kecil yang menciptakan asap.
Tak banyak penghasilan tahun ini.
Hujan yang tinggal lebih lama, membuat bawang-bawang di kebun mereka membusuk.
“Kau tak perlu merasa bersalah.”
“Sepanjang pernikahan kita,
kurasa aku hanya bisa memberimu penderitaan.”
“Itu hanya perasaanmu saja. Tak
memberi hadiah itu bukan kesalahan. Kebersamaan kita adalah hadiah yang tak bisa
tergantikan.”
Max dan Jenny saling pandang,
lalu keributan kecil membuat mereka sama-sama berpaling.
“Kupikir mereka butuh kehangatan,”
kata Max sambil mengangkat kardus dari sudut dapur.
“Kau masih ingat? Tahun lalu, di
hari yang sama, kita menyelamatnya induk beruang yang terjebak. Dan kemarin
mereka lahir di sini.” Jenny menatap makhluk yang bertumpuk di dalam kardus.
Setelah Max pensiun dari jabatannya
sebagai wali kota, dia membangun pondok kayu di hutan itu. Sesuai janjinya
ketika kampanye, kalau dia tidak bisa memperbaiki ekonomi kota, dia akan menyerahkan seluruh kekayaannya. Max
telah berjuang selama masa jabatannya. Namun kebocoran keuangan yang seperti
lubang-lubang tikus itu tidak berhasil diatasinya.
Kini, tahun-tahun itu telah berlalu.
Max dan Jenny hidup bersama cinta mereka, menyatu dengan alam.
awwww....coooo cweeeetttttt
BalasHapusMakasih Mbak Ria, udah mampir :)
HapusAah.. Cerita ini dalem banget maknanya.. :)
BalasHapusMax juga pemimpin yang menepati janji..
Kerenn!
Mbak, makasih dah mampir. Eh ayo kita cari mereka...ihihihi
Hapusmakasih Mbak sudah mampir :)
BalasHapuspak max dan bu jenny tinggal dimana?
BalasHapusdi hutaaan, ayo kita cariii :D
HapusSuwun Mbak dah mampir :)