Puasa dan Langit

Ramadhan ini, Zaid mulai puasa sampai magrib.

Tidak lagi mengeluh-ngeluh seperti saat kelas satu yang sibuk menunggu jarum jam bergeser. Tidak lagi marah-marah karena lapar atau haus.

Awalnya kami ngobrol dulu, mau puasa setengah hari atau puasa full sampai magrib. Zaid milih puasa sampai magrib.

Bahkan saat pulang sekolah jam dua dan panas, dia tetap bertahan dengan puasanya.

Saat adeknya yang belum bisa dibilangin makan dan minum semaunya sendiri di dekatnya, dia hanya bilang, “Urfa bikin aku pengen.”

“Zaid mau?” tanya saya.

“Enggaklah, kan puasa.”

Saat ikut bapaknya jalan-jalan ke Surabaya seharian nyari kos buat sepupunya, dia tetap ikut, dan janji nggak akan ngeluh capek dan haus. Dan dia menepati janji, bapaknya yang tanya, “Zaid mau minum?”

“Enggaklah, kan puasa.”

Lagi, kalau waktunya masak dia pasti ikutan di dapur. Ikut ngaduk, ikut ngiris. Lalu bilang, “Baunya enak.”

Saya iseng tanya, “Mau makan sekarang?”

“Enggaklah, kan puasa.” Seperti biasa dia jawab sambil senyum-senyum.

“Iya, ditahan ya, bentar lagi magrib.”

“Tapi aku heran, kenapa ya kalau nggak ramadhan tuh langitnya cepet gelap, tapi kalau ramadhan, langitnya terangnya berlama-lama.” Dan kalimat itu beberapa kali diucapkan.

:) :) :)