Senin, 04 Mei 2015

[Cerpen] JON dimuat di Harian Metro Riau, 3 Mei 2015


“Aku akan nikah, An…”
Andita  baru saja memarkir sepedanya di bibir pantai.  Lalu melangkah tanpa sandal jepit, membiarkan telapak kakinya menyentuh pasir. Dihirupnya dalam-dalam aroma khas laut yang sedikit amis. Tangannya merentang sambil memandangi deretan pegunungan kapur  yang memantulkan cahaya matahari.

“An…”

Suara itu membuatnya memutar kepala, mengalihkan pandangan dari  beberapa surfer pemula yang sedang berlatih, “Apa?” tanyanya pendek, kemudian  berbalik dan berlari meninggalkan sosok yang hanya terpaku menatapnya.

 “Aku mau menikah.”

Kali ini suara itu begitu dekat di sampingnya. Andita memutar tubuh dan menemukan lelaki tinggi besar itu melempar kepalan-kepalan pasir ke laut. Tadinya, gadis itu mengira, kalau lawan bicaranya hanya bergumam tidak jelas seperti biasanya. Tapi, ternyata lelaki itu memburunya dan mengulangi kata-kata yang sama.

“Nggak lucu, Jon.” Andita menggeleng, lalu meninggalkan lelaki itu,  agak ketengah dan mulai berkejaran dengan ombak lagi.

Menikah?

Tak urung, kata itu terngiang kembali di telinga Andita. Sejak kapan Jon berpikir hal itu? Tanya Andita dalam hati. Gadis mana yang telah membuatnya jatuh hati? Tepatnya gadis mana yang bisa jatuh cinta pada Jon? Kenapa lelaki itu tidak pernah cerita padanya? Bukankah terakhir kali waktu Andita bertanya apakah Jon punya pacar atau tidak, lelaki itu hanya tertawa dan menggeleng? Lalu sekarang Jon akan menikah?

“An!”

Gadis itu menoleh, Jon menatapnya serius.

“Kita pulang!”

Bahkan, kini lelaki itu sudah menaiki sepedanya, sambil menuntun sepeda Andita lengkap dengan sandal jepit di masing-masing stanknya.

 “Tapi kita baru datang, Jon.” Andita berteriak. Tiga orang lelaki yang lewat membawa Boogie boards melihat ke arah mereka sambil tersenyum.

“Jon?”

Jon tidak menjawab, bahkan tidak menoleh kepada gadis itu. Pelan-pelan dia mengayuh sepeda unta tuanya menuju ke bibir pantai, tanpa melihat lagi ke belakang. Andita belum bisa mengakhiri keheranannya, dan mau tidak mau dia harus segera mengejar lelaki itu.

“Jon, kamu bercanda kan? Kamu tidak pernah bercerita sebelumnya? Kenapa kamu diam saja? Jon!”

Dan sepanjang jalan itu, Jon tidak berbicara sama sekali. Andita tak pernah menyangka, itu adalah terakhir kalinya mereka pergi ke pantai bersama-sama. Esoknya, esoknya dan esoknya lagi Jon selalu punya alasan setiap diajak ke pantai.

“Aku sibuk.”

“Aku harus bekerja untuk bekal berumah tangga.”

Dan Andita merasa benar-benar kehilangan Jon.

***

“Mungkin kamu jatuh hati padanya?”

“Tidak mungkin.”

“Tapi kenapa kamu terus memikirkannya?”

“Karena  hidup tidak adil buat dia?”

“Adil menurut siapa?”

“Menurutku. Dia sangat baik, tak seharusnya dia menikah dengan gadis itu.”

“Menurutmu dia harus menikah dengan siapa? Denganmu?”

“Tentu saja tidak.”

“Nah, kamu egois, An! Kamu pikir, bahagia itu kamu yang menilai, padahal dia yang merasakan bukan?”

Masih terngiang percakapannya dengan Palupi, yang ujung-ujungnya justru menuduh dia jatuh cinta pada Jon. Jatuh cinta? Gadis itu tersenyum sambil menggeleng, mengumpulkan pasir dengan kedua tangannya hingga membentuk gundukan kecil.

                                                                        ***
            Namanya Sarjono. Hanya Andita yang memanggilnya Jon, dengan alasan terdengar lebih keren. Mereka dekat sejak kecil. Bapak Jon yang kerja serabutan, seringkali diminta mengolah ladang sayur orangtua Andita di bantaran sungai Grindulu.

Tapi Andita dan Jon semakin dekat ketika berada di kelas yang sama. Jon, yang enam tahun lebih tua dari Andita, seharusnya sudah lulus sekolah dasar ketika mereka bertemu di kelas empat.

“Jono si bongsor.”

“Jono si otak udang.”

“Jono si penunggu bangku sekolah.”

“Jono. Jono. Jono si bodoh.”

Begitulah anak-anak lain memanggil Jon. Dan Andita akan berteriak paling kencang kepada mereka.

“Tidak usah dilawan. Aku memang bodoh kan?” Biasanya Jon akan tersenyum dan menepuk bahu Andita.

“Kamu tidak bodoh, Jon, hanya kurang rajin,” tukas Andita.

“Semua cara sudah kucoba, An. Aku pernah tidak tidur sehari semalam untuk menghafal. Hasilnya aku ketiduran di kelas dan malah kena hukuman kan?”

Pada akhirnya, Jon menyerah. Dia meninggalkan bangku sekolah tanpa selembar ijazah.

“Aku bisa bekerja apa saja yang tak perlu ijazah. Bertani. Nelayan. Pandai besi. Kuli.” Begitu kata Jon ketika keputusannya keluar dari sekolah mendapat omelan panjang lebar dari Andita.

“Kata emak, meski otakku bebal. Tapi Tuhan memberiku kelebihan. Tubuhku tinggi besar. Aku kuat dan…tampan.”

Jon mengucapkan kata terakhir dengan percaya diri. Lalu disambut tawa Andita yang terbahak-bahak.

Biasanya mengenangkan hal itu akan membuat Andita tersenyum-senyum sendiri. Namun kali ini, dia hanya bisa menghela napas panjang. Barangkali, karena kelebihan yang dimiliki Jon itulah sehingga seseorang  mau dijodohkan dengan Jon. Awalnya Andita berpikir begitu. Namun, yang membuat dia sangat kecewa dan marah, karena Jon harus menikahi gadis itu, untuk menutupi sebuah aib yang tak pernah diperbuatnya.

***
            “Kamu mencintainya?”
            Andita kembali menemui Jon, di bantaran sungai yang memisahkan rumah mereka.

Lelaki itu sibuk dengan mencabuti rumput-rumput di antara tanaman kacang.

            “Tolong pikirkan lagi keputusanmu, Jon.” kata Andita.  “Kamu berhak bahagia. Menikah dan hidup dengan orang yang kamu cintai.”

            “Bayangkan, Jon, kamu akan menjadi ayah dari bayi yang bukan anakmu.” Kalimat itu hampir saja meluncur dari bibir Andita, namun dia buru-buru membungkam mulutnya, karena tiba-tiba Jon berdiri, meninggalkan rimbun tanaman kacang dan mendekatinya.

            “Aku tidak apa-apa An,” ucapnya sambil tersenyum.

            Andita tak bisa menebak bagaimana perasaan Jon di balik senyumnya itu.

Lalu Jon duduk di samping Andita, dan sambil memandang ke seberang sungai, lelaki itu berucap pelan.

“Tidak semua kayu menjadi perabotan. Kadang-kadang.  Menjadi arang. Ada juga. Yang, menjadi abu. Arang bisa menjadi api. Abu  bisa menyuburkan tanaman.”

Andita ternganga. Dia pernah menulis ucapan ulang tahun dengan kalimat itu, dua tahun lalu, ketika Jon genap berusia dua puluh empat tahun.

“Asal niat kita baik, karena Gusti Allah, apapun yang kita lakukan. Allah akan memberi balasan yang baik kan?” ucap Jon lagi.

Lalu, lelaki itu tersenyum, sambil merogoh saku celananya. Mengeluarkan dompet coklat tua yang kempes.

“Aku menghafalnya seperti pelajaran.” Jon mengeluarkan lipatan kertas.

Andita berkaca-kaca. Itu adalah kertas ucapan darinya. Dan Jon tak hanya menghapal tulisan di dalamnya, namun juga masih menyimpannya.

Tapi Jon tak lagi berkata-kata. Seperti sore-sore sebelumnya, percakapan mereka tak bisa selancar dulu. Jon kembali sibuk dengan pekerjaannya, meninggalkan Andita yang termangu sendiri.
***

            Beberapa hari setelah percakapan itu, Jon benar-benar menikahi seorang gadis yang kabarnya telah berbadan dua. Di tempat mereka tinggal, hampir semua berita cepat menyebar.

            Ada orang-orang yang mengatakan bahwa Jon beruntung. Dengan menikahi gadis itu, dia bisa mendapatkan ladang sayur yang luas. Namun, banyak juga yang menyayangkan dan prihatin terhadap Jon, karena lelaki itu hanya dimanfaatkan saja.

            Andita pernah diam-diam mengintai Jon dari kejauhan. Matanya berkaca-kaca menyaksikan lelaki itu  sibuk bekerja di bawah matahari  yang membakar kulitnya.

“Tidak semua kayu menjadi perabotan. Kadang-kadang.  Menjadi arang. Ada juga. Yang, menjadi abu. Arang bisa menjadi api. Abu  bisa menyuburkan tanaman.”

Ucapan Jon menggema di dalam kepala Andita.

“Semoga kau bahagia Jon,” ucap gadis itu sambil berlalu.[]

7 komentar:

  1. Keren mbak aku suka cerpennya, aku mau baca cerpen lainnya ada nggak mbak di blog mbak ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih ya sudah baca :)
      Ada cerpen lain di menu cerpen :)

      Hapus
  2. Sedih...! Aku harus belajar mengurai kata sederhana menjadi bermakna. Makasih adik cantik!

    BalasHapus
  3. Duh.... gerimis aku membacanya mbak.
    ........
    Blognya cantik..... adem

    BalasHapus
  4. hua.. endingnya bikin saya sad.
    mbak ini bikin tulisan terakhirnya ngena.
    Kapan aku bisa seeprti mbak? hehee.. banyak belajar dari mba...

    BalasHapus
  5. bagus bener cerpennya, terus semangat ya buat bikin cerpen lainnya :)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...