Ketika
aku menerima amplop coklat itu, dan membaca siapa pengirimnya, serangkaian
peristiwa muncul dan berputar ulang di kepalaku. Seperti film pendek, membawa
ingatanku terlempar ke masa lalu.
***
Hari itu, adalah hari terakhir mengenakan
seragam abu-abu putih. Aku merenung di pantai sendirian, ketika seorang cowok
tiba-tiba berdiri di sampingku. Mengagetkan, dan membuatku gemetaran.
“Jangan
takut,” ucapnya, “aku hanya ingin minta maaf.”
Waktu
itu aku bersiap untuk lari. Tapi dengan sigap dia menangkap pergelangan
tanganku.
“Lepaskan!”
aku berteriak parau, sambil sekuat tenaga menarik tanganku. Berharap ada
pengunjung datang dan mendengarku.
“Baiklah.
Tapi kumohon jangan lari.”
Aku
mundur waspada.
“Maafkan
aku, Lin. Tentang kejadian dulu.” Suara
itu lunak. Dengan raut yang sangat berbeda ketika peristiwa itu terjadi. “Tidak
sepantasnya aku melakukan itu sama kamu.”
Masih
kuingat dengan jelas, beberapa bulan sebelumnya. Saat jam istirahat kedua, di
depan pintu kelas. Dengan mata kepala kusaksikan Andri melakukan pelecehan
kepada beberapa temanku. Menarik-narik baju dan mencubiti sekitar pinggang mereka yang lewat di depannya hingga
menangis.
“Kamu
sudah gila ya, Ndri? Kurang ajar kamu! Cowok nggak punya sopan santun!” Teriakku
waktu itu sambil berkacak pinggang di hadapannya.
“Apa
urusanmu?! Mereka saja diam. Emang masalah buatmu? Hah!”
“Heh!
Aku berhak membela mereka. Memangnya kamu rela, kalau ibumu, atau saudara
perempuanmu diperlakukan begitu sama laki-laki?”
“Banyak
mulut kamu! Mau sok jagoan?” Andri mendekat, menyeret salah satu bangku paling
depan dengan kasar lalu mendorongnya ke arahku.
“Apa
maumu?!” Andri menatapku dengan rahang
mengeras. Matanya merah. Sementara tangannya terus mendorong meja, hingga aku
terjepit di pojok kelas. Perutku terasa sangat nyeri terdesak meja. Aku benar-benar tak bisa bergerak.
“Minta
maaf sama mereka atau kulaporkan ke kepala sekolah!” teriakku bercampur isakan.
“Hahaha,
sok ngancam. Tapi cengeng! Kamu pikir aku nggak tega sama kamu?!” Andri
berteriak. Tangan kananku meraih tiang bendera di pojok kelas. Namun belum
sempat aku mengayunkan ke arahnya, beberapa anak cowok memegangi Andri lalu
mengajaknya duduk. Sementara teman-teman cewek menggandengku menuju kelas.
Sejak
saat itu, kami saling menghindar. Aku selalu merasa ngeri setiap kali dari jauh
menangkap basah dia menatapku. Jadi,
ketika sore itu kami berhadapan berdua saja, nyaliku sungguh merasa ciut.
Meskipun yang terucap dari bibirnya, jelas-jelas kata permintaan maaf.
“Lin, aku sungguh minta maaf. Ampuni aku, Lin.”
Aku
tak peduli apapun yang dikatakan Andri. Waktu itu, aku hanya berpikir,
bagaimana caranya aku bisa lari. Kulirik sepedaku yang tergeletak beberapa
meter. Aku mundur beberapa langkah lalu meraih sepedaku, menaikinya dengan
gemetar dan mengayuh sekuat tenagaku.
“Lina,
tunggu!”
Aku
menoleh sekilas ke belakang, Andri mengejar. Aku terus mengayuh sekuat tenaga,
dan menghentikan sepedaku tak jauh dari bengkel yang kelihatan ramai.
Andri
turun dari sepedanya. Lalu berdiri di depanku. Kedua tangannya memegangi stangku.
“Lin,
aku tahu, berat bagimu untuk memaafkan aku. Ya aku memang keterlaluan. Aku
emosi waktu itu. Selama ini aku selalu berkelahi dengan cowok-cowok. Aku merasa
terhina saat kamu menegurku. Aku benar-benar ingin memukulmu waktu itu. Kamu
satu-satunya cewek yang berani melawanku padahal aku tahu, kamu sama sekali tak punya keahlian beladiri. Tapi
tahukah kamu? Sampai sekarang aku tak bisa melupakan peristiwa itu. Aku tak
bisa melupakan bagaimana wajahmu yang berlinang air mata saat terjepit antara
bangku dan tembok. Aku benar-benar minta maaf, Lin.”
“Ya.”
Hanya itu yang kuucapkan, untuk serentetan kalimat Andri yang panjang. Tanpa
memandangnya, aku bersiap mengayuh sepedaku. Andri melepaskan tangannya dari
stangku. Dengan bibir rapat tanpa suara, aku meninggalkannya.
“Terima
kasih, Lin!”
Aku
tak menoleh. Terus mengayuh sepedaku.
Itu
lima tahun lalu. Dan sejak kejadian itu kami tak pernah bertemu lagi. Hingga
hari ini, suratnya sampai di tanganku.
Aku menganjur napas panjang, kemudian menyobek
bagian ujungnya. Isinya sebuah majalah remaja. Selembar pesan tertempel di sampulnya.
Buka halaman 41
Aku segera membukanya. Rubrik Kenangan
tak Terlupakan. Kubaca judulnya: Gadis
dengan Mata Berkaca-Kaca, penulis: Andri.
Dengan
manahan napas aku membaca satu halaman yang bercerita tentang peristiwa
perkelahian kami dan penyesalannya. Lalu di akhir ceritanya tertulis,
“Untuk gadis mungil
yang sok berani. Aku sungguh minta maaf. Jika ada peristiwa yang kekal di
memory jangka panjangku, adalah perkelahian itu, dan kata-katamu. Terima kasih…”[]
so sweeeeeeettt
BalasHapus
Hapusmakasih Jeng sudah mampir :)
Duh mbk miris aku sama kisah ini. Hiks
BalasHapusBegitulah, Mbak...
HapusMakasih dah mampir :)
Hmmm....kenangan yg manis2 gimanaa gituu
BalasHapusHaha manis2 serem? 😃
HapusHmmm....kenangan yg manis2 gimanaa gituu
BalasHapus