Minggu, 21 Februari 2016

Bingkisan Masa Lalu [Dimuat Minggu Pagi 19 Februari 2016]




Ketika aku menerima amplop coklat itu, dan membaca siapa pengirimnya, serangkaian peristiwa muncul dan berputar ulang di kepalaku. Seperti film pendek, membawa ingatanku terlempar ke masa lalu.
***
 Hari itu, adalah hari terakhir mengenakan seragam abu-abu putih. Aku merenung di pantai sendirian, ketika seorang cowok tiba-tiba berdiri di sampingku. Mengagetkan, dan membuatku gemetaran.
“Jangan takut,” ucapnya, “aku hanya ingin minta maaf.”
Waktu itu aku bersiap untuk lari. Tapi dengan sigap dia menangkap pergelangan tanganku.
“Lepaskan!” aku berteriak parau, sambil sekuat tenaga menarik tanganku. Berharap ada pengunjung datang dan mendengarku.
“Baiklah. Tapi kumohon jangan lari.”
Aku mundur waspada.
“Maafkan aku, Lin. Tentang kejadian dulu.”  Suara itu lunak. Dengan raut yang sangat berbeda ketika peristiwa itu terjadi. “Tidak sepantasnya aku melakukan itu sama kamu.”
Masih kuingat dengan jelas, beberapa bulan sebelumnya. Saat jam istirahat kedua, di depan pintu kelas. Dengan mata kepala kusaksikan Andri melakukan pelecehan kepada beberapa temanku. Menarik-narik baju dan mencubiti sekitar  pinggang mereka yang lewat di depannya hingga menangis.
“Kamu sudah gila ya, Ndri? Kurang ajar kamu! Cowok nggak punya sopan santun!” Teriakku waktu itu sambil berkacak pinggang di hadapannya.
“Apa urusanmu?! Mereka saja diam. Emang masalah buatmu? Hah!”
“Heh! Aku berhak membela mereka. Memangnya kamu rela, kalau ibumu, atau saudara perempuanmu diperlakukan begitu sama laki-laki?”
“Banyak mulut kamu! Mau sok jagoan?” Andri mendekat, menyeret salah satu bangku paling depan dengan kasar lalu mendorongnya ke arahku.
“Apa maumu?!”  Andri menatapku dengan rahang mengeras. Matanya merah. Sementara tangannya terus mendorong meja, hingga aku terjepit di pojok kelas. Perutku terasa sangat nyeri terdesak meja. Aku  benar-benar tak bisa bergerak.
“Minta maaf sama mereka atau kulaporkan ke kepala sekolah!” teriakku bercampur isakan.
“Hahaha, sok ngancam. Tapi cengeng! Kamu pikir aku nggak tega sama kamu?!” Andri berteriak. Tangan kananku meraih tiang bendera di pojok kelas. Namun belum sempat aku mengayunkan ke arahnya, beberapa anak cowok memegangi Andri lalu mengajaknya duduk. Sementara teman-teman cewek menggandengku menuju kelas.
Sejak saat itu, kami saling menghindar. Aku selalu merasa ngeri setiap kali dari jauh  menangkap basah dia menatapku. Jadi, ketika sore itu kami berhadapan berdua saja, nyaliku sungguh merasa ciut. Meskipun yang terucap dari bibirnya, jelas-jelas kata permintaan maaf.
 “Lin, aku sungguh minta maaf. Ampuni aku, Lin.”
Aku tak peduli apapun yang dikatakan Andri. Waktu itu, aku hanya berpikir, bagaimana caranya aku bisa lari. Kulirik sepedaku yang tergeletak beberapa meter. Aku mundur beberapa langkah lalu meraih sepedaku, menaikinya dengan gemetar dan mengayuh sekuat tenagaku.
“Lina, tunggu!”
Aku menoleh sekilas ke belakang, Andri mengejar. Aku terus mengayuh sekuat tenaga, dan menghentikan sepedaku tak jauh dari bengkel yang kelihatan ramai.
Andri turun dari sepedanya. Lalu berdiri di depanku. Kedua tangannya memegangi stangku.
“Lin, aku tahu, berat bagimu untuk memaafkan aku. Ya aku memang keterlaluan. Aku emosi waktu itu. Selama ini aku selalu berkelahi dengan cowok-cowok. Aku merasa terhina saat kamu menegurku. Aku benar-benar ingin memukulmu waktu itu. Kamu satu-satunya cewek yang berani melawanku padahal aku tahu, kamu  sama sekali tak punya keahlian beladiri. Tapi tahukah kamu? Sampai sekarang aku tak bisa melupakan peristiwa itu. Aku tak bisa melupakan bagaimana wajahmu yang berlinang air mata saat terjepit antara bangku dan tembok. Aku benar-benar minta maaf, Lin.”
“Ya.” Hanya itu yang kuucapkan, untuk serentetan kalimat Andri yang panjang. Tanpa memandangnya, aku bersiap mengayuh sepedaku. Andri melepaskan tangannya dari stangku. Dengan bibir rapat tanpa suara, aku meninggalkannya.
“Terima kasih, Lin!”
Aku tak menoleh. Terus mengayuh sepedaku.
Itu lima tahun lalu. Dan sejak kejadian itu kami tak pernah bertemu lagi. Hingga hari ini, suratnya sampai di tanganku.
 Aku menganjur napas panjang, kemudian menyobek bagian ujungnya. Isinya sebuah majalah remaja. Selembar pesan tertempel di sampulnya.
Buka halaman 41
            Aku segera membukanya. Rubrik Kenangan tak Terlupakan. Kubaca judulnya: Gadis dengan Mata Berkaca-Kaca, penulis: Andri.
Dengan manahan napas aku membaca satu halaman yang bercerita tentang peristiwa perkelahian kami dan penyesalannya. Lalu di akhir ceritanya tertulis,
“Untuk gadis mungil yang sok berani. Aku sungguh minta maaf. Jika ada peristiwa yang kekal di memory jangka panjangku, adalah perkelahian itu, dan kata-katamu. Terima kasih…”[]

7 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...