Rabu, 10 Februari 2016

Surat Kumal di Saku Kemeja [Cerpen Nova 28 Juni 2015]



Dua musim  yang lalu, sehari setelah Tanjung membaca surat dari Marini, dia membuat keputusan besar dalam hidupnya. Melaut. Setelah berkali-kali keluar masuk kerja dengan alasan tidak cocok, tidak kerasan, hingga alasan untuk lebih konsentrasi membuat puisi.

“Anak gadis mana yang membuatmu mengakrabi ombak?” tanya bapaknya sambil memperbaiki jaring di buritan. Tanjung tak menjawab. Memandang ombak Samudera Hindia yang besar, pikirannya justru terbang pada Lelaki Tua-nya Ernets Hemingway di The Old Man and the Sea.

Hanya sejenak, karena tatkala dia meraba ke dalam saku kemejanya, surat kumal itu masih tersimpan di sana. Sepucuk surat dari Marini, yang membuatnya berpikir keras sepanjang malam.

***
            Tanjung yang baik.

Begitulah, Marini memulai isi suratnya.

Subuh masih lama saat kutulis surat ini. Di luar, suara pukulan pada tiang listrik  terdengar dua kali. Tapi aku sudah terjaga sejak kentongan berbunyi dua belas kali disusul  kokok ayam jantan  ibu kos yang terkantuk-kantuk.
Pertama-tama, aku…sungguh minta maaf, perihal suratku. Mungkin saat kau membacanya, aku sudah berada dalam bis, meninggalkan kota ini. Aku pulang ke desa. Bapak yang menyuruhku, dan aku tak bisa menolak.

Marini pergi?
Ada yang  bergemuruh di dada Tanjung. Lalu ledakan perasaan menimbulkan rasa panas sekaligus nyeri yang menjalari tubuhnya. Lelaki itu meremas surat di tangannya kemudian memasukkan ke dalam saku kemeja.

Dia membutuhkan jeda yang amat lama, ketika memaksakan diri untuk meneruskan membaca.

Kau tahu bukan, satu-satunya alasan kenapa aku masih bertahan di kota ini, adalah kau. Jika akhirnya aku pergi, ya, alasan itu sudah tak kuat lagi kujadikan sebagai pegangan.
Lalu, perihal lamaranmu itu…
Seperti juga yang pernah kukatakan dulu. Aku sudah bicara dengan orangtuaku. Bapak tidak bertanya seberapa luas sawah ladangmu. Bapak tidak bertanya, dari keturunan mana kedua orangtuamu. Keluargaku, sebagaimana yang kuceritakan kepadamu, adalah orang-orang yang tidak mempermasalahkan hal-hal seperti itu.

Marini, gadis lulusan SMA dari pegunungan Pakis Baru, yang tinggal tak jauh dari Monumen Jenderal Sudirman itu, datang ke kota Pacitan. Sebuah  kota kecil di ujung barat daya Jawa Timur, untuk bekerja sebagai penjaga toko buku dekat alun-alun. Ketika itu, mereka berpapasan di jembatan Arjowinangun, di atas sungai Grindulu yang airnya mulai surut. Gadis itu menatap ban sepedanya yang bocor pada  hari pertama kerjanya.

Tanjung, yang hendak berangkat mengamen di bus jurusan Pacitan-Solo, mengantarnya ke bengkel, tak jauh dari pasar Arjowinangun.

“Kenapa mau kerja di toko buku?” tanya Tanjung, saat mereka menunggu roda di tambal.

“Kata pemiliknya, selain dapat gaji, aku boleh baca sepuasnya.”

“Hanya itu?”

Gadis itu tak menyembunyikan senyumnya, yang dalam sajak Tanjung disebut sebagai senyum bunga celodia. Spontan saja pertemuan mereka melahirkan kata-kata dalam kepala Tanjung.
Besoknya, besoknya, besoknya lagi, dan besoknya lagi, Tanjung tak pernah melewatkan untuk mampir ke toko tempat Marini bekerja. Bukan untuk membeli buku atau koran, tapi untuk bertemu dengan gadis pemilik senyum celodia itu.
Hingga pada musim berikutnya, Tanjung yakin perihal perasaan yang semakin tumbuh di hatinya.


//Marini yang baik.
Selama ini, aku merasa ada  satu keeping dari hidupku yang hilang.
Bukan benar-benar hilang. Hanya saja, masih belum kutemukan.
Oh tidak begitu, tidak benar-benar belum kutemukan.
Hanya saja aku butuh waktu untuk menjemputnya.
Dan tahukah kau, Marini? kepingan itu adalah dirimu
Bersediakah kau, melengkapinya  untukku?
Bersediakah kau menikah denganku suatu hari nanti, Marini?
Bersediakah kau bersetia padaku hingga kelak kuucapkan akadku?//

Begitulah, cara Tanjung mengungkapkan perasaaannya. Marini memang tidak menolak. Namun gadis itu membawa sajak Tanjung kepada Bapaknya. Dan ketika bapak Marini menantangnya untuk bertemu, nyali lelaki itu justru menciut.
“Maksudku bukan sekarang. Tunggu tabunganku cukup.” Begitu ucapnya.
Tapi Tanjung tak pernah memberi kepastian, kapan tabungannya akan cukup. Marini memang tak pernah terang-terangan menuntutnya. Namun, gadis itu tetap membahas juga di dalam suratnya.

Bagi bapak, mempunyai anak gadis laksana meletakkan satu kaki di syurga dan satu kaki di atas neraka.Tak mudah  menyerahkan tanggung jawab perihal anak gadisnya, pada orang yang tak pernah dikenalnya. Jadi, begitu kukatakan aku dekat dengan seseorang, bapak menginginkan pertemuan. Bapak ingin membuktikan kesungguhanmu, Dia memintamu datang. Agar kau lihat sendiri bagaimana keluarga kami. Agar tak ada penyesalan di kemudian hari.
Namun, jawaban apa yang aku dapatkan? Kau, justru memberikan puisimu, agar aku sabar menunggumu. Kalimat-kalimat sama, yang kadangkala sulit kupahami maknanya.
Sehingga semakin ke sini, aku semakin menyadari. Barangkali orangtuaku benar. Kau tak pernah sungguh-sungguh terhadap aku. Kau hanya sosok yang berupa kata-kata. Bagaimana aku dapat bertahan dengan cinta yang hanya menjelma sebagai sajak-sajak saja?

Kalimat itu, seperti hantaman kedua, yang mengenai tepat di ulu hati Tanjung. Dia gemetar, namun terus bertahan membaca surat itu.

Sesungguhnya, aku masih ingin percaya padamu, Tanjung. Masih ingin berada di kota kecil ini, menjaga toko buku dan lapak koran, lalu melihatmu berteriak, “Puisiku dimuat!” Tapi, kupikir semua sudah cukup. Kejarlah impianmu. Penghargaan-penghargaan yang kau impikan. Ke Ubud. Khatulistiwa. DKJ. Apalagi? Kau tak perlu terbebani untuk datang kepadaku. Aku juga tidak akan berjanji untuk menunggumu. Kau dan aku, sebaiknya selesai hingga di sini saja.

Waktu itu, Tanjung termangu. Lama. Bercak air mata pada surat Marini yang panjang, serupa tusukan duri yang menghujam dalam-dalam. Marini telah menentukan pilihannya. Dan Tanjung tak punya alasan menyalahkan keputusan itu. Nyatanya, memang benar. Cintanya, baru bisa dia buktikan dalam bentuk kata-kata saja.

Berkali-kali Tanjung meremas surat kusut dalam genggaman, sebelum akhirnya menjadi penghuni saku kemejanya yang kini beraroma laut.

Tanjung tahu, berapa gaji Marini sebagai penjaga toko. Sementara gadis itu harus membayar kamar kos dan mencukupi makan setiap hari. Tanjung yakin, bahkan gadis itu pulang tanpa tabungan.

Pelan-pelan ada lubang dalam hatinya, yang semakin lama semakin menganga. Lalu, sesuatu seakan menguap dari sana. Menjauh, meninggalkannya.

Apakah Marini pergi dengan melepaskan namanya? Atau gadis itu masih menyimpan harapan kepadanya? Tanjung menggeleng. Barangkali, justru yang dibawa Marini adalah luka yang digoreskannya secara diam-diam. Mungkin ceritanya akan berbeda jika Tanjung tak pernah mengungkapkan perasaannya.

Pada akhirnya, semua tergantung lelaki itu. Apakah dia akan menunggu waktu yang menjawabnya? Atau justru dia mempunyai keberanian untuk memberikan jawaban pada waktu? Apakah dia akan membuktikan kesungguhan cintanya. Ataukah justru akan mendukung keyakinan gadis itu bahwa dirinya hanya menjadikan Marini sekumpulan kata-kata saja?

-Karena cinta adalah ketika kau siap mengatakan kita
Bukan lagi aku dan kamu-

Tanjung tersenyum getir. Kalimat itu mulai bermunculan dalam kepalanya, serupa huruf-huruf yang berjejalan. Memang selalu begitu. Semua hal, tentang Marini, seperti benih-benih kata yang berkecambah tiada henti.

Dan, lelaki itupun membuat keputusan. Dia mengikuti jejak bapaknya, yang dulu enggan ia lakukan. Menjadi nelayan. Tanjung melaut. Mengumpulkan ikan-ikan. Menabung rupiah demi rupiah. Menciptakan sajak-sajak di atas gelombang.

***

Itu dulu, dua penghujan yang lalu. Kini, Tanjung menyusuri jalan bebatuan di antara pohon pinus. Langkah membawanya ke kampung halaman Marini. Tekadnya bulat. Bahkan jikapun orangtua Marini, memintanya mengucapkan akad saat itu juga. Dia telah siap.

“Marini?”
Seorang membalikkan pertanyaannya, ketika dia mencaritahu perihal gadis itu.
“Dia sudah lama pergi Mas.”
“Kemana Pak?”
“Ikut orangtuanya transmigrasi ke Kalimantan. Nah, itu bekas rumahnya. Tanahnya sudah dijual.”

Tanjung mengikuti telunjuk lelaki di depannya, sebuah ladang singkong dan alang-alang yang meninggi. Dia meremas surat kumal yang menghuni saku kemejanya. Dalam waktu yang lama, lelaki itu membatu. Kini, harus kemana lagi dia mencari gadis itu?[]
Sidoarjo Oktober 2014

11 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Aduhh sakiit
    aku harap mereka bisa bertemu

    BalasHapus
  3. aku baru baca cerpen ini. aduh ... ulu hatiku linu. sungguh.
    membacanya kala malam dan sendirian.

    BalasHapus
  4. aku baru baca cerpen ini. aduh ... ulu hatiku linu. sungguh.
    membacanya kala malam dan sendirian.

    BalasHapus
  5. baru liat judul aja, aku langsung semangat untuk membacanya. cerpen yang keren kak. kunjungi juga blog aku kak riyansanjay.blogspot.com

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...