Dua
musim yang lalu, sehari setelah Tanjung
membaca surat dari Marini, dia membuat keputusan besar dalam hidupnya. Melaut. Setelah
berkali-kali keluar masuk kerja dengan alasan tidak cocok, tidak kerasan,
hingga alasan untuk lebih konsentrasi membuat puisi.
“Anak gadis mana yang membuatmu mengakrabi ombak?”
tanya bapaknya sambil memperbaiki jaring di buritan. Tanjung tak menjawab. Memandang
ombak Samudera Hindia yang besar, pikirannya justru terbang pada Lelaki Tua-nya
Ernets Hemingway di The
Old Man and the Sea.
Hanya sejenak, karena tatkala dia meraba ke dalam
saku kemejanya, surat kumal itu masih tersimpan di sana. Sepucuk surat dari
Marini, yang membuatnya berpikir keras sepanjang malam.
***
Tanjung
yang baik.
Begitulah, Marini memulai isi suratnya.
Subuh masih lama
saat kutulis surat ini. Di luar, suara pukulan pada tiang listrik terdengar dua kali. Tapi aku sudah terjaga
sejak kentongan berbunyi dua belas kali disusul
kokok ayam jantan ibu kos yang
terkantuk-kantuk.
Pertama-tama, aku…sungguh
minta maaf, perihal suratku. Mungkin saat kau membacanya, aku sudah berada
dalam bis, meninggalkan kota ini. Aku pulang ke desa. Bapak yang menyuruhku,
dan aku tak bisa menolak.
Marini pergi?
Ada yang
bergemuruh di dada Tanjung. Lalu ledakan perasaan menimbulkan rasa panas
sekaligus nyeri yang menjalari tubuhnya. Lelaki itu meremas surat di tangannya
kemudian memasukkan ke dalam saku kemeja.
Dia membutuhkan jeda yang amat lama, ketika
memaksakan diri untuk meneruskan membaca.
Kau tahu bukan,
satu-satunya alasan kenapa aku masih bertahan di kota ini, adalah kau. Jika
akhirnya aku pergi, ya, alasan itu sudah tak kuat lagi kujadikan sebagai
pegangan.
Lalu, perihal
lamaranmu itu…
Seperti juga
yang pernah kukatakan dulu. Aku sudah bicara dengan orangtuaku. Bapak tidak
bertanya seberapa luas sawah ladangmu. Bapak tidak bertanya, dari keturunan
mana kedua orangtuamu. Keluargaku, sebagaimana yang kuceritakan kepadamu,
adalah orang-orang yang tidak mempermasalahkan hal-hal seperti itu.
Marini, gadis lulusan SMA dari pegunungan Pakis Baru,
yang tinggal tak jauh dari Monumen Jenderal Sudirman itu, datang ke kota Pacitan.
Sebuah kota kecil di ujung barat daya
Jawa Timur, untuk bekerja sebagai penjaga toko buku dekat alun-alun. Ketika itu,
mereka berpapasan di jembatan Arjowinangun, di atas sungai Grindulu yang airnya
mulai surut. Gadis itu menatap ban sepedanya yang bocor pada hari pertama kerjanya.
Tanjung, yang hendak berangkat mengamen di bus jurusan
Pacitan-Solo, mengantarnya ke bengkel, tak jauh dari pasar Arjowinangun.
“Kenapa mau kerja di toko buku?” tanya Tanjung, saat
mereka menunggu roda di tambal.
“Kata pemiliknya, selain dapat gaji, aku boleh baca
sepuasnya.”
“Hanya itu?”
Gadis itu tak menyembunyikan senyumnya, yang dalam
sajak Tanjung disebut sebagai senyum bunga celodia.
Spontan saja pertemuan mereka melahirkan kata-kata dalam kepala Tanjung.
Besoknya, besoknya, besoknya lagi, dan besoknya
lagi, Tanjung tak pernah melewatkan untuk mampir ke toko tempat Marini bekerja.
Bukan untuk membeli buku atau koran, tapi untuk bertemu dengan gadis pemilik
senyum celodia itu.
Hingga pada musim berikutnya, Tanjung yakin perihal
perasaan yang semakin tumbuh di hatinya.
//Marini yang
baik.
Selama ini, aku
merasa ada satu keeping dari hidupku
yang hilang.
Bukan
benar-benar hilang. Hanya saja, masih belum kutemukan.
Oh tidak begitu,
tidak benar-benar belum kutemukan.
Hanya saja aku
butuh waktu untuk menjemputnya.
Dan tahukah kau,
Marini? kepingan itu adalah dirimu
Bersediakah kau,
melengkapinya untukku?
Bersediakah kau
menikah denganku suatu hari nanti, Marini?
Bersediakah kau
bersetia padaku hingga kelak kuucapkan akadku?//
Begitulah, cara Tanjung mengungkapkan perasaaannya.
Marini memang tidak menolak. Namun gadis itu membawa sajak Tanjung kepada
Bapaknya. Dan ketika bapak Marini menantangnya untuk bertemu, nyali lelaki itu
justru menciut.
“Maksudku bukan sekarang. Tunggu tabunganku cukup.”
Begitu ucapnya.
Tapi Tanjung tak pernah memberi kepastian, kapan
tabungannya akan cukup. Marini memang tak pernah terang-terangan menuntutnya.
Namun, gadis itu tetap membahas juga di dalam suratnya.
Bagi bapak,
mempunyai anak gadis laksana meletakkan satu kaki di syurga dan satu kaki di
atas neraka.Tak mudah menyerahkan
tanggung jawab perihal anak gadisnya, pada orang yang tak pernah dikenalnya.
Jadi, begitu kukatakan aku dekat dengan seseorang, bapak menginginkan pertemuan.
Bapak ingin membuktikan kesungguhanmu, Dia memintamu datang. Agar kau lihat
sendiri bagaimana keluarga kami. Agar tak ada penyesalan di kemudian hari.
Namun, jawaban
apa yang aku dapatkan? Kau, justru memberikan puisimu, agar aku sabar
menunggumu. Kalimat-kalimat sama, yang kadangkala sulit kupahami maknanya.
Sehingga semakin
ke sini, aku semakin menyadari. Barangkali orangtuaku benar. Kau tak pernah
sungguh-sungguh terhadap aku. Kau hanya sosok yang berupa kata-kata. Bagaimana
aku dapat bertahan dengan cinta yang hanya menjelma sebagai sajak-sajak saja?
Kalimat itu, seperti hantaman kedua, yang mengenai tepat
di ulu hati Tanjung. Dia gemetar, namun terus bertahan membaca surat itu.
Sesungguhnya,
aku masih ingin percaya padamu, Tanjung. Masih ingin berada di kota kecil ini,
menjaga toko buku dan lapak koran, lalu melihatmu berteriak, “Puisiku dimuat!” Tapi,
kupikir semua sudah cukup. Kejarlah impianmu. Penghargaan-penghargaan yang kau
impikan. Ke Ubud. Khatulistiwa. DKJ. Apalagi? Kau tak perlu terbebani untuk
datang kepadaku. Aku juga tidak akan berjanji untuk menunggumu. Kau dan aku,
sebaiknya selesai hingga di sini saja.
Waktu itu, Tanjung termangu. Lama. Bercak air mata
pada surat Marini yang panjang, serupa tusukan duri yang menghujam dalam-dalam.
Marini telah menentukan pilihannya. Dan Tanjung tak punya alasan menyalahkan
keputusan itu. Nyatanya, memang benar. Cintanya, baru bisa dia buktikan dalam
bentuk kata-kata saja.
Berkali-kali Tanjung meremas surat kusut dalam
genggaman, sebelum akhirnya menjadi penghuni saku kemejanya yang kini beraroma
laut.
Tanjung tahu, berapa gaji Marini sebagai penjaga
toko. Sementara gadis itu harus membayar kamar kos dan mencukupi makan setiap
hari. Tanjung yakin, bahkan gadis itu pulang tanpa tabungan.
Pelan-pelan ada lubang dalam hatinya, yang semakin
lama semakin menganga. Lalu, sesuatu seakan menguap dari sana. Menjauh,
meninggalkannya.
Apakah Marini pergi dengan melepaskan namanya? Atau gadis
itu masih menyimpan harapan kepadanya? Tanjung menggeleng. Barangkali, justru
yang dibawa Marini adalah luka yang digoreskannya secara diam-diam. Mungkin
ceritanya akan berbeda jika Tanjung tak pernah mengungkapkan perasaannya.
Pada akhirnya, semua tergantung lelaki itu. Apakah
dia akan menunggu waktu yang menjawabnya? Atau justru dia mempunyai keberanian
untuk memberikan jawaban pada waktu? Apakah dia akan membuktikan kesungguhan
cintanya. Ataukah justru akan mendukung keyakinan gadis itu bahwa dirinya hanya
menjadikan Marini sekumpulan kata-kata saja?
-Karena cinta adalah
ketika kau siap mengatakan kita
Bukan lagi aku dan
kamu-
Tanjung tersenyum getir. Kalimat itu mulai
bermunculan dalam kepalanya, serupa huruf-huruf yang berjejalan. Memang selalu
begitu. Semua hal, tentang Marini, seperti benih-benih kata yang berkecambah
tiada henti.
Dan, lelaki itupun membuat keputusan. Dia mengikuti
jejak bapaknya, yang dulu enggan ia lakukan. Menjadi nelayan. Tanjung melaut.
Mengumpulkan ikan-ikan. Menabung rupiah demi rupiah. Menciptakan sajak-sajak di
atas gelombang.
***
Itu dulu, dua penghujan yang lalu. Kini, Tanjung
menyusuri jalan bebatuan di antara pohon pinus. Langkah membawanya ke kampung
halaman Marini. Tekadnya bulat. Bahkan jikapun orangtua Marini, memintanya
mengucapkan akad saat itu juga. Dia telah siap.
“Marini?”
Seorang membalikkan pertanyaannya, ketika dia
mencaritahu perihal gadis itu.
“Dia sudah lama pergi Mas.”
“Kemana Pak?”
“Ikut orangtuanya transmigrasi ke Kalimantan. Nah,
itu bekas rumahnya. Tanahnya sudah dijual.”
Tanjung mengikuti telunjuk lelaki di depannya,
sebuah ladang singkong dan alang-alang yang meninggi. Dia meremas surat kumal
yang menghuni saku kemejanya. Dalam waktu yang lama, lelaki itu membatu. Kini,
harus kemana lagi dia mencari gadis itu?[]
Sidoarjo
Oktober 2014
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAduhh sakiit
BalasHapusaku harap mereka bisa bertemu
biar disusul transmigrasi haha
Hapusaku baru baca cerpen ini. aduh ... ulu hatiku linu. sungguh.
BalasHapusmembacanya kala malam dan sendirian.
Duuh, maaaf, 😃 makasih dah baca Kak 😊
Hapuskak ajarin dong cara nulis cerpen yang bagus
HapusYang penting nulis dulu :)
Hapusaku baru baca cerpen ini. aduh ... ulu hatiku linu. sungguh.
BalasHapusmembacanya kala malam dan sendirian.
baru liat judul aja, aku langsung semangat untuk membacanya. cerpen yang keren kak. kunjungi juga blog aku kak riyansanjay.blogspot.com
BalasHapusTerima kasih sudah baca :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus