“Gadis bertopi merah itu
lagi?” Gumam Henis. Ini yang ke tujuh kalinya dia melihat gadis itu. Berdiri di
seberang jalan sambil melihat ke arah toko ibunya lama sekali.
Awalnya, Henis mengira
gadis itu berhenti hanya menunggu kendaraan lewat untuk menyeberang. Namun
ternyata tidak. Bahkan saat jalanan di depannya sepi, gadis bertopi merah itu
hanya diam. Sambil bibirnya sedikit bergerak-gerak lalu pergi.
Tapi ternyata, keesokan
harinya gadis itu selalu melakukan hal yang sama. Wah jangan-jangan anak itu
mau mencuri! Pikir Henis khawatir. Henis bertekad tidak akan lengah. Bahkan,
dia bersiap cerita ke ibunya agar waspada.
Henis biasa membantu
ibunya menjaga toko sepulang sekolah. Toko kecil ibunya menjual
macam-macam jajanan. Es lilin, mainan-mainan, pita, jepit rambut juga bando. Kadang
dia jaga toko sambil membaca, kadang sambil mengerjakan PR.
Namun, sejak menyadari
gadis bertopi merah itu selalu berdiri di depan tokonya, Henis menjadi tidak
konsentrasi belajar sebelum gadis itu lewat. Jangan-jangan gadis bertopi merah itu bermaksud jahat. Jangan-jangan mau mencuri. Pikir Henis.
Bahkan pernah, Gadis kecil
bertopi merah itu senyum-senyum sendiri memandangi tokonya.
Kemarinnya bahkan mengepalkan tangan lalu lari, seperti pemain sepak bolak yang
baru saja mencetak gol.
“Permisiii…” Henis tersentak. Kini, gadis
bertopi merah itu berdiri tepat di depan etalase tokonya.
“Kk…kamu?!” Henis
gemetar. Gadis itu tersenyum.
“Kamu yang sering berdiri
di seberang jalan itu kan?” tanya Henis berusaha tenang. Namun dia bisa
mendengar dengan jelas kalau suaranya gemetar.
“Iya,” jawab gadis itu. Senyumnya
bertambah lebar. “Aku mau membeli bando
yang ada hiasannya bunga mawar itu.”
“Beli?!” Mata Henis
membesar.
“Iya.” Gadis bertopi
merah mengangguk. “Sudah beberapa hari ini aku mengumpulkan uang untuk membeli
bando itu.” Gadis bertopi merah mengeluarkan uang dari dalam sakunya. “Semoga
saja sekarang sudah cukup.”
“Kau mengumpulkan uang
dari mana?” Henis penasaran.
“Aku bekerja mengupas
bawang di warung bakso dekat pasar. Agar aku semangat, aku selalu memandangi
bando itu sebelum kerja.” Gadis bertopi merah tertawa.
“Owh… ” Henis
mengangguk-angguk.
“Jadi, berapa harganya?”
“Itu, ada di bungkusnya.”
Henis menunjuk kertas harga warna kuning yang tertempel di plastik pembukus
bando. “Tujuh ribu delapan ratus.”
“Lima…enam, tujuh…delapan
ratus.” Gadis bertopi merah meletakkan uang kertas kumal dan koin di atas
etalase. “Waah…uangku masih sisa. Sekalian bungkus kadonya ya? Yang warna biru
itu yang gambar bunga lili.”
“Untuk kado?” tanya
Henis.
“Iya, untuk sahabat
penaku di desa. Dulu dia memberiku topi merah ini dari uang hasil kerjanya
mencari pasir di sungai. Jadi, aku pun ingin memberikan sesuatu dari hasil
kerjaku sendiri.”
“Wah, keren banget kamu,”
puji Henis dengan kagum. Ternyata gadis bertopi merah itu bukan pencuri seperti
dugaannya. Dalam hati, Henis juga merasa malu karena telah berburuk sangka.
“Terima kasih ya sudah
belanja di sini,” ucap Henis.
“Sama-sama.” Gadis
bertopi merah tersenyum lebar. “Namaku Lili,” dia menyebut namanya sambil
mengulurkan tangan.
Henis dan Lili bersalaman. Sejak saat itu mereka menjadi teman.[]
maniiiiiiiiisssss
BalasHapusMakasiiiiiiiiih :)
HapusIni berapa cws, Kak? Agaknya tidak terlalu panjang. Pesan yang manis.
BalasHapusWaduh, lupa. Sekitar 1300, kayaknya Mbak. Makasih yaa 😊
HapusKeren Mbak Sbarina. ^_^ Pesannya itu, lho. suka banget
BalasHapusMakasih ya, Hana, sudah baca 😊
HapusMenarik. Selamat ya, mbak. Terima kasih sudah diposting. Kebetulan sedang belajar menulis cernak. :)
BalasHapusMakasih, Mbak. Semoga lancar yaa, cernaknya 😊
HapusSingkat, renyah dan berkesan lama :)
BalasHapusMakasih Mas Irvan 😊
HapusSelalu cetar idenya. Anti mainstream, persahabatan pengupas bawang dan pencari pasir
BalasHapusEhehehe, suwun Mbak Tatit 😊
Hapus